Feeds:
Posts
Comments

Archive for the ‘Hizbut Tahrir Indonesia’ Category

Akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono angkat bicara soal terorisme, sebelumnya lewat jubir presiden Julian A Pasha menyatakan bahwa presiden SBY sudah mengetahui perihal penangkapan Abu Bakar Ba’asyir melalui Kapolri di hari Senen (9/8). Plus tepisan kalau penangkapan tersebut bukan intruksi dari SBY. Kemudian saat Presiden SBY rapat kabinet di Sekretariat Negara mengingatkan kasus terorisme tidak bisa dikaitkan dengan agama maupun politik. Ia menegaskan terorisme merupakan kejahatan yang terkait dengan hukum. “Saya tak pernah membawa terorisme ke dalam arena politik, karena bukan politik. Juga tidak membawa terorisme ke arena agama, karena terorisme bukan ajaran agama,” kata SBY di Gedung Sekretariat Negara, komplek Istana Negara, Jakarta, Selasa (10/8).

Dan SBY mempercayakan kepada penegak hukum untuk menangani dengan cara tepat,profesional, akuntabel, dan dapat dijelaskan kepada publik. Bahkan menambahkan bahwa masalah ini sensitif dan sering melahirkan salah paham diantara masyarakat terhadap apa yang dilakukan penegak hukum.

Rasanya kelewat wajar kalau sebagian orang mengkritik sikap SBY, ambigu bahkan ada yang katakan lebay. Dalam kasus terorisme, masih terekam beberapa jejak sikap SBY yang ditampilkan dihadapan publik yang menunjukkan ambiguitasnya. Menjelang Pemilu Presiden di tahun 2009 silam,SBY mengomentari peristiwa bom di JW Marriott dan The Ritz Carlton, 17 Juli 2009.

SBY mengatakan secara eksplisit, dirinya termasuk salah satu target incaran penembakan oleh kelompok yang ingin menggagalkan pemerintahan yang demokratis. “Berdasarkan laporan intelijen, ada upaya yang sistematis menggagalkan kelangsungan pemerintahan yang demokratis ini,” ungkap SBY merespon tragedi pengeboman di kawasan Mega Kuningan 17 Juli 2009.

Hal yang sama sebelum penangkapan orang-orang yang diduga teroris dan kemudian disusul penangkapan ustad Abu Bakar Ba’asyir, SBY juga mengeluh menyatakan dirinya menjadi sasaran kelompok teroris. “Saya dapat laporan tadi malam dari jajaran pengamanan, ada di antara anak bangsa yang punya niat tidak baik yang sekarang ada di sekitar Ciwidey,” ujarnya, Sabtu (8/8).

Di tahun 2010, tepatnya di bulan Mei presiden SBY juga mengeluarkan pernyataan terkait kasus terorisme juga. Dalam keterangan persnya di Bandara Halim Perdanakusumah, Senin (17/5/2010) sebelum bertolak ke Singapura dan Malaysia Presiden SBY menegaskan tujuan dari para teroris adalah mendirikan negara Islam.

Padahal, menurut SBY, perdebatan tentang pendirian negara Islam sudah rampung dalam sejarah Indonesia. Aksi teroris juga bergeser dari target asing ke pemerintah. Ciri lain, menurut Presiden, para teroris menolak kehidupan berdemokrasi yang ada di negeri ini. Padahal, demokrasi adalah sebuah pilihan atau hasil dari sebuah reformasi. Karena itu menurut presiden keinginan mendirikan negara Islam dan sikap anti demokrasi tidak bisa diterima rakyat Indonesia.

Di satu sisi kita memang bisa menyaksikan keberanian pihak Polri luar biasa untuk menangkap kesekian kalinya ustad Abu Bakar Ba’asyir, sebagian pihak menganggap tentu langkah ini dengan pertimbangan matang dan tidak gegabah. Terutama ketika Polri merasa memiliki bukti (data) yang meyakinkan untuk kembali menjerat ustad ABB.Dan menjadi beban moral yang sangat besar kiranya kalau kali ini mengulangi kegagalan, tidak bisa membuktikan didepan pengadilan melalui penuntut kejaksaan terbaiknya bahwa ustad ABB terbukti seperti yang disangkakan.

Jika mampu untuk itu, tidak menutup kemungkinan ustad Abu Bakar Ba’asyir akan dikenakan hukuman penjara seumur hidup atau hukuman mati. Dijangkauan pasal berlapis UU Terorisme. Yakni, pasal 14 jo pasal 7, 9, 11, dan atau pasal 11 dan atau pasal 15 jo pasal 7, 9, 11, dan atau pasal 13 huruf a, huruf b, huruf c UU No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Ancaman maksimalnya hukuman mati.

Jika ini sukses, maka bisa dipastikan pemerintah AS, Australia, Singapura dan sekutu AS lainya mengulum senyum dan memberi warning kalau tugas kontra-terorisme tidak boleh berhenti sampai disitu.

Di sisi lain yang tidak bisa di abaikan, bahwa selama ini narasi tentang terorisme datangnya dari sepihak (polri).Lebih khusus datang dari Den88, dan wabil khusus lagi di sana ada satgas anti teroris di luar “struktur” yang dikendalikan oleh Gories Mere sekalipun saat ini dia ada di BNN (Badan Narkotika Nasional).

Dan di sinyalir karena persahatan Gories Mere dengan Karni Ilyas (TV One) yang menyebabkan dalam isu terorisme TV yang satu ini masuk barisan terdepan untuk news update berita.Oleh karena itu, pada konteks ini meniscayakan penanganan kasus terorisme ini diduga sarat rekayasa, seperti pada kasus-kasus besar yang menghantam institusi Polri.

Misalkan pada kasus rekening gendut beberapa jendral polri, century gate, markus, dan semisalnya.Maka kalau sudah seperti ini, yang salah bisa benar dan sebaliknya serta dalih tuduhanpun bisa direka-reka berdasarkan paradigma subyektif yang dimiliki polri dalam melihat kasus terorisme ini.

Lebih-lebih jika kontra-terorisme adalah proyek yang berkelindan didalamnya kepentingan asing dan dijadikan ajang menunjukkan “prestasi” dan mencari dana atau langkah pengalihan isu oleh para “komprador” asing dan kelompok opurtunis lokal.

Oleh karena itu perlu kiranya SBY menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut, sekiranya betul bahwa isu terorisme adalah murni kejahatan dan masuk diranah hukum. Dan terorisme bukan persoalan politik, juga bukan masalah agama.

Pertama; kalau ada pernyataan penangkapan ustad Abu Bakar Ba’asyir bukan intruksi SBY sebagai presiden, maka artinya ada distorsi dalam penegakan hukum. Aneh jika Presiden menyatakan terkejut dengan penangkapan Abu Bakar Ba’asyir, padahal Densus berada di bawah kendali Polri dan Kapolri bertanggung jawab langsung kepada presiden. Jadi Densus bekerja untuk siapa?

Sementara dari tahun 2003-2009 Polri sudah menangkap lebih dari 500 orang dalam kasus terorisme. Dan dimasa pemerintahan SBY banyak orang mati sekitar 40 orang dieksekusi dengan cara “ekstra judicial killing”. Dan minim sekali suara yang berteriak untuk mengatakan ini adalah “kedzaliman” atau pelanggaran HAM. Para penggiat HAM juga setengah hati, menyikapi soal korban proyek kontra-terorisme ini.

Kedua; bukankah kontra-terorisme telah SBY adopsi menjadi salah satu prioritas 100 hari kerja pemerintahannya? Diupayakan lahirnya blueprint penanganan secara koprehensif, yang terbaru dengan dibentuknya BNPT(Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) melalui Peraturan Presiden no 46 tahun 2010 yang SBY tanda tangani 16 Juli lalu. Sekaligus ini bukti implementasi komitmen SBY yang pernah dibicarakan bersama Obama presiden AS tentang terorisme.

Kalau sudah seperti ini, apakah sebagai presiden tidak tahu menahu bagaimana langkah demi langkah, tahapan demi tahapan yang akan dioperasikan institusi terkait yang notabene-nya semua dibawah kendali presiden? Bahkan kita yakin, target-target antara dan puncak target dari proyek kontra-terorisme SBY juga mengetahui. J ika tidak, maka SBY itu presiden atau anak buah siapa?

Ketiga; jika presiden SBY menyatakan kasus terorisme tidak ada relevansinya dengan persoalan politik atau tidak akan menggeret ke ranah politik. Lantas, kenapa juga membicarakan tentang motif “negara Islam” dan terancamnya “demokrasi” dalam konteks ini? Kelompok yang dicap teroris hendak mendirikan negara Islam, dan SBY sendiri memberikan prespektifnya bahwa wacana negara Islam bagi Indonesia sudah menjadi sejarah masa lalu?

Begitu juga, tentang ancaman kelompok tersebut terhadap kelangsungan demokrasi, atau di sesi lain SBY menempatkan dirinya sebagai obyek yang terancam dan pernah mengkaitkan kelompok terorisme terhadap kelangsungan pemilu di tahun 2009. Ambigu bukan?atau mungkin ada tafsiran lain tentang politik versi presiden SBY?

Keempat; kalau SBY menjelaskan kasus ini adalah kejahatan dan tidak terkait dengan agama.Maka ada pertanyaan penting, kenapa SBY tidak pernah menegur insan media yang sedemikian rupa membangun opini dan persepsi masyarakat secara kontinyu dan simultan yang menstigmatisasi Islam dengan teroris? Contoh terbaru Upaya membangun stigma negatif terhadap Islam.

Salah satunya tampak dari pemberitaan detik.com dengan judul : Penggerebekan Teroris di Bandung, Ditemukan Lembaran Kertas Arab Gundul Soal Hijrah dan Jihad. Detik.com (8/8) melaporkan dalam mobil milik Fahri, yang ditangkap Densus 88 karena diduga teroris, ditemukan ceceran kertas berisi tulisan arab gundul, antara lain soal kumpulan fatwa Ibnu Taimiyyah soal jihad, hijrah, dan dakwah.

Lebih lanjut dilaporkan, ceceran kertas itu ada yang berupa tulisan tangan dan berupa print out, dengan beragam ukuran. Semua berisi tulisan arab gundul. Terdapat empat lembar kertas print out arab gundul merupakan kumpulan fatwa Ibnu Taimiyyah soal jihad, hijrah, dan dakwah. Hal ini merupakan upaya membangun citra negatif terhadap syariah Islam.

Contoh lain, mantan PM Inggris Tony Blair, di hadapan Konggres Partai Buruh pernah menyatakan Islam sebagai ideologi iblis (BBC News, 16 Juli 2005) dengan ciri-ciri : (1) ingin mengeliminasi Israel ; (2) menjadikan syariat Islam sebagai sumber hukum ; (3) menegakkan khilafah ; (4) bertentang dengan nilai-nilai liberal.

Hal senada direkomendasikan Cheryl Benard. Usulannya ada beberapa ide yang harus terus menerus diangkat untuk menjelekkan citra Islam : prihal demokrasi dan HAM, poligami, sanksi kriminal, keadilan Islam, minoritas, pakaian wanita, dan kebolehan suami untuk memukul istri. (Civil democratic Islam, partners , resources, and strategies, the Rand Corporation )

Dan apakah presiden SBY tidak pernah merasa adanya fakta pengkambing hitaman Islam dan kaum muslimin dalam persoalan ini? seharusnya SBY sadar, betapa umat Islam di Indonesia nyaris tidak bisa memberikan pembelaan, bahkan menerima kekalahan (apologis) dengan istilah teroris itu yang identik dengan; orang berjenggot, celana cingkrang, gamis, cadar, jidat hitam, orang yang sering aktif kemasjid, pengajian-pengajian kecil (usroh/halqoh/liqo’), pesantren, atau aktifis yang mengusung penegakkan syariat dalam koridor negara, atau ketika menempatkan AS adalah musuh Islam.Ini peran media, jelas-jelas mengkaitkan agama dengan isu teroris.

Lebih jauh, kalau mau jujur, bukankah ketika pihak penegak hukum dan lebih khusus Den88 atau satgas anti teror lainya ketika melakukan pemetaan (maping) tentang ancaman baik dalam kontek global atau lokal (Indonesia) maka kesimpulanya adalah Islam sebagai ancaman? Lebih spesifik Islam Ideologis, atau gerakan-gerakan dan kelompok-kelompok yang mengusung Islam sebagai ideologi. Lantas bagaimana bisa SBY mengatakan bahwa perkara terorisme tidak terkait agama? Sangat aneh bukan?

Kelima; di institusi yang terkait dengan proyek kontra-terorisme dibawah kementerian PolHukam terlihat paradigma yang dibangun ketika berbicara tentang terorisme selalu dikaitkan dengan pemahaman agama yang di anggap radikal dan fundamentalis. Karenanya perlu langkah-lengkah de-radikalisasi dengan beberapa strategi yang softh.

Misalkan dengan mengarusutamakan tokoh-tokoh Islam moderat, menggalakkan interfaith dialog (dialog antar iman), diterbitkannya buku-buku yang moderat dan merubah kurikulum pesantren atau sekolah, masih banyak strategi lainya yang semuanya dianggap bisa mempertahankan format Indonesia yang pluralis, liberal, demokratis yang berdiri diatas ideologi kapitalis-sekuler. Maka bagaimana SBY menjelaskan ini semua?

Rakyat semua ingat, sikap yang ditampilkan SBY dihadapan publik selama ini adalah mengedepankan dialog dalam menyelesaikan persoalan lantas bagaimana dengan persoalan teroris?

Beranikah SBY dialog dan debat terbuka dengan kelompok-kelompok yang di cap radikal dan fundamentalis untuk bicara problem kenegaraan dan politik secara fair dalam rangka mencari solusi terbaik untuk Indonesia? Sehingga SBY dan jajaran dibawahnya tidak selalu su’udzan dengan apa yang diperjuangkan oleh kelompok tersebut.

Sekali lagi, wajar kalau akhirnya presiden SBY dianggap sangat ambigu dalam kasus “terorisme” ini atau bahkan terkesan mau “cuci tangan”. Semoga semua pemimpin institusi yang terlibat proyek kontra-terorisme itu kalau mereka orang muslim, maka masih tersisa iman dan Islamnya, hingga sadar tidak ada satupun perkataan yang keluar dari mulut mereka kecuali ada dua Malaikat yang mencatatnya dan hisab Allah SWT adalah seadil-adil hisab.

Umat Islam Indonesia butuh pemimpin yang bisa melindungi agama dan harga dirinya,dan bukan sebaliknya; pemimpin yang jadi “hamba” dari penguasa negara-negara kafir imperialis dan mendzalimi umatnya.Wallahu a’lam bisshowab.

Read Full Post »

Krisis ekonomi yang melanda dunia saat ini bukanlah yang pertama atau yang terakhir dalam rangkaian krisis besar yang mendera dan dialami sistem kapitalisme. Sejarah kapitalisme hampir-hampir merupakan sejarah krisis. Selama 37 tahun, sejak tahun 1970 sampai tahun 2007, tercatat telah terjadi 24 krisis perbankan, 208 krisis kurs, dan 63 krisis utang!

Sebelum masuk ke detil tentang sebab krisis terakhir dan akibat-akibatnya, terlebih dahulu harus sedikit dipaparkan tentang karakter sistem ekonomi kapitalisme.

Sistem ekonomi kapitalis terkenal sebagai sistem fluktuatif dan rawan krisis. Sebab sistem ekonomi kapitalis tegak di atas asas yang tidak sehat, baik dalam asas-asasnya atau cabang-cabang ekonomi yang dibangun di atas asas-asas itu.

Asas sistem ekonomi kapitalis adalah pandangan individualis yang muncul dari akidah kompromi “pemisahan agama dari kehidupan -sekulerisme-”. Pandangan individualis di dalam sistem ekonomi membuat perancang sistem ekonomi memberi kebebasan kepada individu dalam hal kepemilikan, pengembangan kepemilikan dan pengelolaan serta pemanfaatan kepemilikan. Maka cabang-cabang ekonomi lahir dan dibangun di atas pandangan yang keliru tersebut. Di mana individu mendirikan bank ribawi raksasa bertolak dari kebebasan kepemilikan itu. Demikian pula mereka mendirikan perusahaan kapitalis raksasa. Kemudian perusahaan-perusahaan raksasa dan bank-bank raksasa itu mengendalikan pasar dan kekayaan serta melahap perusahaan-perusahaan kecil yang berdiri di jalannya, persis sebagaimana ikan paus melahap ikan-ikan kecil.

Begitulah, tirani kepemilikan individu di dalam sistem kapitalis atas kepemilikan umum dan kepemilikan negara telah merubah negara, masyarakat, dan sebagian besar kekuatan ekonomi yang ada di suatu negeri jadi tergadai di tangan segelintir orang kaya yang serakah dan monopolis.

Pandangan yang bengkok tentang hal pokok dan cabang di dalam sistem ekonomi telah menyebabkan bencana ekonomi dan kejahatan sosial di tengah kehidupan Barat. Di antaranya adalah bencana kelas, di mana masyarakat kapitalis akhirnya terbelah menjadi dua kelas, pertama kelas kapitalis yang hanya sekitar 5 % dari jumlah penduduk tetapi memiliki lebih dari 95 % kekayaan negeri. Kelas kedua, adalah kelas fakir yang mengisi 95 % dari jumlah penduduk, tetapi hanya menguasai tidak lebih dari 5 % kekayaan negeri.

Begitulah, krisis tahun-tahun terakhir ini telah melanda bank-bank dan lembaga-lembaga finansial sejak ambruknya bank Lehman Brothers dan kekuatan ekonomi besar di Eropa, Amerika, Jepang, dan China. Namun kita temukan bahwa solusi yang diberikan oleh para kepitalis dalam menyelsaikan krisis itu tidak pernah menyentuh sebab-sebab utama terjadinya krisis finansial global itu, seperti sistem ribawi perbankan, pasar keuangan, standar finansial pemerintah, hak-hak kepemilikan atas akad-akad, privatisasi aset-aset publik, struktur perusahaan dan saham… dan sebagainya. Bahkan sebagai gantinya hanya difokuskan pada upaya menjaga sistem keuangan global, melalui sejumlah langkah; yang pada kondisi terbaiknya hanya akan menunda keruntuhan sistem kapitalis secara total. Langkah-langkah itu terfokus pada penurunan tingkat suku bunga kredit sampai titik terendah sepanjang sejarah, pemotongan pajak, penerapan disiplin bagi insentif finansial, penggelontoran dana ke pasar, dan partisipasi dalam pemberian fasilitas kuantitaif (penciptaan uang dari ketiadaan). Harta-harta yang dihasilkan dengan jalan itu dipergunakan untuk membeli obligasi pemerintah, surat berharga yang mengalami tekanan, obligasi perusahaan dan saham. Pada bulan April 2010, gubernur Federal Reserve Amerika Serikat, Ben Bernanke, mengakui bahwa bank sentral telah menciptakan 103 triliun Dolar baru dari ketiadaan. Itu dilakukan dengan membeli sekuritas yang dijamin dengan agunan property (mortgage). Federal Reserve telah mendorong pasar saham di Amerika Serikat dengan jalan membeli saham-saham.

Pemerintah-pemerintah di Eropa dan Amerika bergegas melakukan intervensi bukan untuk menjamin para deposan kecil, melainkan untuk melindungi para kapitalis besar! Jadi para pembayar pajak dibebani utang yang di Amerika mencapai triliunan Dolar untuk membeli apa yang mereka sebut sebagai aset dan kredit beracun. Itu dilakukan dengan alasan bahwa ambruk dan bangkrutnya bank besar akan menyebabkan perekonomian secara keseluruhan terancam ambruk.

Krisis finansial yang melanda pasar-pasar keuangan menyebabkan kerugian 34,4 triliun Dolar (setara dengan total akumulasi poduksi nasional Amerika, Jepang, dan Eropa). Harga saham yang beredar di bursa internasional terpuruk dari 63 triliun Dolar pada tanggal 31 Oktober 2007 menjadi 28,6 triliun Dolar pada Maret 2009.

Kerugian itu diiringi oleh menurunnya kesempatan kerja. Di Amerika saja, 8,2 juta orang kehilangan pekerjaannya dan angka pengangguran mencapai prosentase tertinggi sejak depresi besar (Great Depression), yaitu mencapai 9,7 %. Meskipun pemerintah telah melakukan intervensi dengan menyuntikkan 20 triliun Dolar dalam upaya gabungan untuk mencegah kehancuran total perekonomian, namun kerugian pasar keuangan tetap berlipat ganda. Padahal dana dalam jumlah sangat besar yang disuntikkan oleh pemerintah itu adalah utang masa depan, yang pembayarannya akan menjadi beban bagi para pembayar pajak dan anak keturunan mereka pada generasi yang akan datang. Pihak yang mengambil manfaat pertama dari suntikan dana sangat besar itu adalah para pemilik bank dan perusahaan keuangan, yang pada dasarnya kerakusan dan ambisi mereka turut menjadi penyebab meletusnya krisis ini.

Selama ini gubernur Federal Reserve Amerika memutuskan bahwa pencetakan Dolar adalah semua apa saja yang perlu dilakukan oleh Bank Sentral untuk menyelesaikan suatu masalah finansial di pasar.

Orang-orang kiri dan orang-orang kanan berbeda pendapat dalam mendiagnosis sebab-sebab lahirnya krisis finansial itu. Orang kanan menilai bahwa krisis adalah bukti kesehatan dan kebugaran serta dalil selamatnya ideologi kapitalisme. Hal itu seperti yang diungkapkan oleh mantan presiden Amerika George Bush Jr dalam pidatonya pada tanggal 24 September 2009. Bush memandang bahwa krisis tidak lebih dari lompatan orang yang kebanyakan minum minuman keras dan akan segera sehat kembali dari mabuknya!

Sementara itu orang-orang kiri memandang bahwa sebab terjadinya krisis kembali pada kerakusan tanpa batas para kapitalis yang muncul dari kebijakan-kebijakan pembukaan pasar bagi spekulasi liar dalam kondisi tidak ada pengawasan yang ketat terhadap perilaku para spekulan.

Yang benar adalah bahwa kedua pihak itu telah keliru dalam mendeteksi penyakit yang sebenarnya di balik krisis paling akhir… Penyakit itu tidak lain adalah pemandangan terakhir dari kegagalan sistem kapitalis. Sistem ini pada dasarnya dibangun di atas akidah materialis yang menafikan pandangan spiritual, kemanusiaan dan moral; dan sebaliknya fokus pada pandangan kemanfaatan semata. Akidah ini dan apa yang dihasilkannya berupa tirani teori manfaat meteriil adalah yang mengantarkan para spekulan menciptakan cara-cara penipuan, yang darinya terderivasi beragam cara dan sarana di bawah judul produk keuangan derivatif yang memungkinkan mereka meraup keuntungan fantastis setiap kali tercipta gelembung pasar property!

Sesungguhnya sebab-sebab hakiki krisis itu berada di dalam jantung sistem kapitalis
Sistem kapitalis mendeskripsikan problem ekonomi bagi masyarakat secara keliru berupa masalah kelangkaan relatif, yaitu ketidakcukupan barang dan jasa terhadap kebutuhan-kebutuhan manusia. Juga keliru dalam menetapkan solusinya berupa peningkatan produksi dan menetapkan harga sebagai mekanisme pengaturannya. Para ekonom kapitalis dalam berpikir, merumuskan rencana-rencana, dan menetapkan solusi atas berbagai permasalahan, bertolak dari titik tolak yang rusak ini. Atas dasar itu ketika mencuat krisis yang sangat berpengaruh pada tahun 2008, menjadi tampak jelas kebatilan dan kerusakan teori tersebut. Para kapitalis pun terjebak dalam paradog di mana jumlah produksi banyak namun konsumsi tidak sebanding. Maka mereka melakukan langkah-langkah untuk menambah konsumsi sehingga produksi bisa tetap berlanjut!

Hal itu ditambah lagi dengan hasil dari pandangan individualis yang ditelurkan oleh sistem kapitalis dalam bentuk pendirian berbagai institusi keuangan yang hanya mementingkan penghimpunan dana dengan sarana apapun baik yang membahayakan atau memberi manfaat! Juga dengan akad-akad batil dan transaksi yang fasad. Berbagai institusi keuangan, baik bank, perusahaan finansial, perusahaan perseroan, dan bukan perseroan serta bursa saham…, selain akadnya batil pada asas, juga melakukan transaksi-transaksi yang fasad dan merusak. Berbagai institusi itu menerbitkan saham lebih besar daripada aset yang dimiliki, yaitu lebih banyak dari modalnya, karena undang-undang memperbolehkan mereka untuk menerbitkan saham sepuluh kali lipat dari jumlah modalnya. Pada beberapa kondisi lebih banyak dari itu dan didasarkan pada laporan-laporan palsu dan ilusif. Kenaikan dan penurunan harga saham di bursa tidak terkait dengan laba yang hakiki. Akan tetapi lebih banyak bersandar pada cara-cara menipu di bursa dari laporan-laporan atau berita-berita palsu tentang laba atau kerugian, dan dari spekulasi yang menjebak.

Begitu pula dari tirani kepemilikan individu itu lahir kerusakan berbagai aspek yang berkaitan dengan negara itu sendiri berupa privatisasi. Apa saja yang masuk dalam kepemilikan negara dijual. Padahal kewajiban negara adalah memelihara kepemilikan negara dan memelihara apa saja yang masuk dalam kepemilikan publik dalam bentuk yang memberikan manfaat kepada semua. Namun semua itu justru dijual kepada perusahaan swasta. Lalu perusahaan-perusahaan itu berlebihan dalam mengeruk keuntungan besar. Dampaknya, harga-harga melambung yang menjadi beban bagi masyarakat. Semua itu ditambah lagi makin terakumulasinya utang negara dan diterbitkannya obligasi pemerintah serta ketidakmampuan melunasi utang itu. Utang Amerika pada 3 Juni 2010 mencapai 13 triliun Dolar!! Dan Amerika terus mengeluarkan obligasi yang dengan itu jumlah utangnya makin menggunung. Keadaan ini bisa berperan besar menciptakan krisis setiap saat kapanpun. Adapun utang negara-negara lain, khususnya negara-negara kecil, maka utang itu telah menyebabkan kehancuran perekonomian negara-negara kecil itu disebaban terpuruknya kurs mata uang mereka, terjadinya inflasi, upah yang rendah, berhentinya proyek-proyek, masalah pengangguran, dan kontrol imperialisme.

Bencana yang terjadi di dalam sistem ekonomi kapitalis itu makin meningkat dipengaruhi oleh dua faktor yang berpengaruh pada kerusakan sistem tersebut, yaitu:

  1. Sistem ribawi dan perbankan ribawi
  2. Uang kertas fiat money.

Bank-bank ribawi yang didirikan oleh sekelompok individu orang kaya, menyediakan dana secara kontinyu dalam jumlah yang banyak melalui pungutan bunga kredit. Sebab siapapun di antara penduduk tidak bisa melakukan aktivitas di negeri kapitalis kecuali dengan jalan membuka rekening dan mengambil utang ribawi. Berikutnya bunga mengikat yang dibayarkan oleh debitor kepada bank secara otomatis akan masuk ke kantong para pemilik modal besar anggota kelompok kecil yang mengendalikan bank. Dengan begitu bunga ribawi itu merupakan sumber istimewa dan kontinyu untuk menghimpun harta tanpa perlu mengerahkan tenaga.

Adapun uang kertas fiat money, kenaikan dan penurunan kursnya terjadi karena lemahnya perekonomian negara pemilik mata uang itu, atau dari permainan negara-negara dalam kurs mata uangnya. Fluktuasi kurs secara otomatis akan menyebabkan terjadinya pertambahan dalam kekayaan individu yang ahli dalam fluktuasi kurs. Mereka itu biasanya termasuk orang kaya yang bisa mengetahui kebijakan pemerintah dalam menurunkan atau menaikkan kurs. Mereka juga memiliki ahli-ahli atau pelaksana di negara yang membuat mereka bisa mengetahui perubahan kurs itu. Melalui jalan itu kekayaan bisa terakumulasi pada sebagian orang kaya saja. Sebaliknya sebagian besar orang miskin justru mengalami kerugian. Begitu pula para deposan kecil bisa kehilangan sebagian besar dari tabungan mereka dalam kondisi kurs suatu mata uang melorot tajam. Hal itu sebabnya adalah karena sistem moneter yang ada tidak bersandar pada emas atau perak.

Kenaikan atau penurunan kurs suatu mata uang, khususnya Dolar, akan menyebabkan terjadinya krisis ekonomi. Karena perekonomian dunia telah terikat dengan Dolar. Bahkan Dolar telah menjadi cadangan devisa di banyak negara. Juga banyak negara yang mengaitkan mata uangnya dengan Dolar yang merupakan dokumen yang tidak bersandar pada emas atau perak. Atas dasar itu goncangan apapun yang terjadi pada Dolar baik secara nyata atau palsu, akan berpengaruh pada perekonomian global dan menciptakan krisis besar. Disamping, krisis kecil yang terjadi secara hampir terus menerus.

Selain itu, masalah-masalah dan krisis yang ditimbulkan oleh spekulasi terhadap berbagai mata uang itu tidak lagi hanya bersifat lokal tetapi telah melintasi batas-batas yang jauh. Khususnya jika spekulasi itu terjadi pada mata uang yang penting dalam pertukaran perdagangan antar negara seperti Dolar dan Euro. Di lapangan terdapat apa yang bisa dinamakan sebagai perang uang, seperti yang terjadi di Amerika, Eropa, China dan Jepang kemudian memuncak di Yunani!

Perang uang itu mulai terjadi pada akhir 2009 di mana kurs Dolar melorot tajam terhadap Euro sampai mendekati satu Euro untuk 1,5 Dolar. Sebab utama terpuruknya kurs Dolar adalah karena China mulai menurunkan cadangan devisanya yang berbentuk Dolar sekitar 2,4 triliun Dolar. Kemudian secara bertahap akan beralih dari Dolar ke Euro, di mana China menaikkan investasi dalam Euro hingga sekitar 25% dari total investasinya dalam Dolar. Hal itu tercermin pada keengganan secara gradual berinvestasi dalam Dolar dan dialihkan dalam bentuk Euro, sehingga Dolar terpuruk dan Euro mengalami kenaikan…

Dan karena Amerika tidak mengizinkan penurunan nilai Dolar dengan jalan itu, maka reaksi Amerika datang dengan cepat dengan melakukan tiga langkah dengan cakupan yang luas:

Pertama, Amerika Serikat mengangkat krisis utang Yunani sebagai sarana menekan Euro setelah sebelumnya AS ikut berpartisipasi menyembunyikan utang Yunani sebelum masuk ke kawasan Euro.

Amerika tidak berhenti sampai disitu. AS mulai mentranformasi krisis utang Yunani agar menjadi krisis Euro itu sendiri. Wall Street mulai menyingkirkan Euro untuk lebih memperdalam krisis Eropa. Euro terus mengalami pendarahan dari 1,6 Dolar per satu Euro pada akhir 2009 menjadi 1,26 Dolar per satu Euro saat ini. Presiden Prancis, Sarkozy, mendeskripsikan kondisi yang ada: “Kawasan Euro menapaki krisi terburuk sejak berdirinya”. Kanselir Jerman dan para pejabat Jerman lainnya menyatakan dalam banyak kesempatan selama bulan April 2010 bahwa para spekulan menyerang Euro, dan bukan krisis Yunani saja, para spekulan itulah yang ada di balik krisis yang terjadi.

Alih-alih membiarkan Eropa untuk menyelesaikan masalah yang meletus di Yunani, lembaga pemeringkat Amerika “Standar & Poor’s” justru sengaja menurunkan peringkat kredit Yunani dan Portugal pada tanggal 27 Februari 2010. Kemudian menurunkan peringkat kredit Spanyol pada tanggal 29 Februari 2010. Penurunan peringkat kredit itu meningkatkan resiko utang Spanyol dan Portugal disamping Yunani. Hal itu mendorong bank-bank kreditor menaikkan bunga terhadap Spanyol, Portugal dan Yunani. Dengan itu, segala upaya finansial Eropa tercerai berai dan resiko makin meluas membuat Euro dan perekonomian Eropa secara keseluruhan berada dalam ancaman bahaya setelah sebelumnya masalahnya hanya terbatas pada Yunani, yang bisa jadi dapat dengan mudah dikontrol oleh Eropa.

Kedua, Amerika Serikat berupaya menekan China untuk menggunakan mata uangnya dan agar mengadopsi kebijakan menaikkan kurs mata uangnya. Kenaikan kurs Yuan terhadap Dolar otomatis akan membuat produk-produk AS lebih murah bagi konsumen di China, sementara komoditas China akan menjadi lebih mahal bagi konsumen Amerika.

Ketiga, pemerintah Amerika ikut berpartisipasi dalam perang dagang menghadapi Jepang melalui merek perusahaan “Toyota”, yang merupakan perusahaan sangat penting. Tujuan dari langkah AS itu adalah untuk memaksa Jepang agar menopang Dolar dengan membeli aset-aset U.S Treasury. Dan itulah yang akhirnya terjadi. Jepang telah menaikkan penguasaannya terhadap obligasi U.S Treasury dari 11,5 miliar Dolar menjadi 768,8 miliar Dolar. Akhirnya Jepang menjadi pemilik terbesar bagi mata uang asing dari obligasi U.S Treasury.

Artinya perang mata uang telah berkontribusi dalam atribusi Dolar dan pelepasan Euro dengan menggerakkan utang Yunani. Eropa telah melakukan langkah-langkah untuk menyelamatkan Yunani dengan menyuntikkan 110 miliar Dolar ke Yunani dalam jangka waktu tiga tahun. Hanya saja langkah-langkah itu disertai syarat langkah-langkah keras dalam bentuk penghematan, penurunan belanja publik, penurunan defisit anggaran dalam waktu singkat bagi Yunani. Semua itu menyebabkan terjadinya kekacauan di Yunani.

Begitulah, sistem kapitalis mengandung benih-benih krisis ekonomi yang tersimpan di akar terdalamnya. Sistem kapitalis tidak bisa melepaskan diri dari krisis selama masih berdiri. Artinya, krisis menjadi perkara yang biasa dan terus berulang. Hanya saja yang membuat krisis pada tahun-tahun terakhir ini berbeda dari siklus krisis-krisis biasa yang muncul dari sistem kapitalis, yaitu bahwa pengaruh globalisasi dan persaingan ekonomi lokal satu sama lain membentuk perekonomian global dan membentuk pasar yang tumbuh darinya sebagai satu pasar yang besar.

Resesi besar (Great Depression) 1929 telah memberikan pelajaran untuk dibuatnya undang-undang di Amerika yang memisahkan bank komersial dengan bank investasi yang disebut Undang-Undang Bank (Glass-Steagall) 1933. Namun bank-bank yang serakah menekan bank sentral pada masa Greenspan dari tahun 1987 sampai 2004 untuk menghapus undang-undang Glass-Steagall itu dengan dalih mendukung sektor keuangan. Maka Undang-Undang Glass-Steagall itu dihapus dan diganti dengan Undang-Undang Modernisasi Jasa Keuangan pada tahun 1999 – the Financial Services Modernization Act of 1999- (dikenal sebagai UU Gramm-Leach-Bliley atau The Gramm-Leach-Bliley Act (GLBA). Undang-undang ini akhirnya menghilangkan dinding pertahanan dan membuka pintu invasi bagi bank untuk melakukan spekulasi keuangan berdasarkan gambling.

Ketika insiden itu terjadi, bank-bank telah masuk dalam perbuatan-perbuatan jahatnya, dan tenggelam di dalam krisis. Negara-negara kapitalis melakukan intervensi untuk menyelamatkannya yaitu memberi reward dan bukan sanksi! Maka bank sentral di Amerika (the Federal Reserve) dan bank sentral di Eropa membeli kredit-kredit macet (yang disebut kredit beracun) dan menyuntikkan triliunan Dolar untu mengembalikan kepercayaan antara bank besar dan perusahaan-perusahaan keuangan, untuk mencegah agar tidak ambruk dan bangkrut.

Akan tetapi, semua itu hanyalah upaya tambal sulam dalam upaya putus asa untuk menyembunyikan skala krisis finansial dan ancamannya terhadap perekonomian global. Hal itu karena kaki-kaki jaringan bank tersebar di seluruh dunia dan perjudian ekstrem di dalam apa yang disebut Big Casino menyebabkan skala transaksi keuangan derivatif mencapai lebih dari 500 triliun Dolar, padahal skala perekonomian global yang riil hanya mendekati 50 triliun Dolar.

Intinya, orang-orang bijak di Barat telah menyadari bahaya sistem buas yang tidak mengindahkan nilai-nilai apapun dalam memuaskan keserakahan tanpa batas dalam kondisi tidak ada penghalang, dan sanksi spiritual, moral, dan kemanusiaan. Satu-satunya nilai yang digunakan oleh kelompok “ikan paus” keuangan itu adalah menciptakan sebanyak-banyaknya trik dan sarana yang memungkinkan mereka memperoleh sebanyak-banyaknya harta riil dan non riil dengan biaya yang seminimal mungkin dan jika mungkin tanpa biaya.

Dunia sebelumnya telah menyaksikan pada dekade 90-an bagaimana upaya presiden Soviet Gorbachev menambal sulam sistem Marksisme hingga ambruk total, sistem yang telah mengadopsi sosialisme ilmiah. Upaya tambal sulam itu tidak mampu menyelamatkannya, akan tetapi hanya membuatnya limbung kemudian ambruk total. Itu pulalah yang akan terjadi terhadap kapitalisme. Karena tambal sulam sistem kapitalis telah melampaui asas-asas sistem itu sendiri. Di mana intervensi negara di pasar bertentangan dengan asas yang menjadi pondasi sistem kapitalis yang menyerukan kebebasan pasar.

Hanya perbedaan yang tersisa adalah bahwa bangsa Eropa Timur dan Rusia dahulu setelah mengingkari sistem Marksismenya mengharap sesuatu yang mereka anggap surga kapitalisme yang dijanjikan. Setelah tampak jelas hakikat surga itu, bahwa ternyata adalah neraka yang tidak memberi ampun, maka pertanyaan yang terus bergulir dalam kajian umat manusa adalah: apa alternatif dari sistem kapitalisme yang rusak itu?

Hingga BBC dalam presentasinya kepada pers ada tanggal 29 September 2008 mengatakan: “Setelah dua dekade ambruknya teori komunisme secara total, sekarang raksasa ekonomi Amerika mengalami pukulan mematikan dan limbung hampir ambruk! Akan tetapi pertanyaan yang wajib dilontarkan adalah: apa alternatif ekonomi global setelah amruknya sistem kapitalisme? Apakah yang akan menjadi alternatif itu adalah teori ekonomi Islam global?”

Sejak krisis sebelumnya, sebagian ekonom memandang bahwa kembali ke basis emas dalam back up uang kertas adalah perkara yang mendasar dan bahwa sistem ribawi yang diterapkan di dunia adalah asas bencana. Bank-bank sendiri telah menyadari hal itu sehingga mereka menurunkan tingkat bunga kredit sampai batas paling rendah untuk mendorong pergerakan keuangan di pasar… Di antara para intelektual itu ada yang memusatkan perhatiannya bahwa uang di dalam Islam tidak boleh kecuali menggunakan basis emas dan perak dan bahwa riba di dalam Islam merupakan kejahatan besar. Jadi di dalam Islam tidak ada riba sama sekali atas kredit yang dkucurkan. Yaitu dalam bahaa mereka: bunga nol.

Begitu pula sebagian mereka memperhatikan pengklasifikasian unik terkait kepemilikan di dalam Islam, yang terdiri dari tiga jenis kepemilikan: kepemilikan pribadi, kepemilikan negara, dan kepemilikan publik. Dan masing-masing jenis kepemilikan itu memiliki hukum-hukum yang tidak boleh dilanggar. Pada saat di mana sosialisme mengatakan bahwa kepemilikan publik bagi negara dan dimutlakkan, dan tidak ada ruang bagi kepemilikan pribadi. Semantara kapitalisme mengatakan kepemilikan pribadi dan dimutlakkan sehingga hamir tidak tersisa ruang bagi kepemilikan publik.

Adapun sikap Hizbut Tahrir terhadap krisis ekonomi global maka kami akan meringkasnya agar sesuai dengan waktu yang terbatas. Perlu diketahui bahwa kami telah menyebutkan dalam ungkapan kami ini beberapa detil tentang kerusakan kapitalisme… Detil secara keseluruhan silahkan dibaca di dalam buku kami Sistem Ekonom Islam (an-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm) yang sudah beredar luas.

Sikap Hizbut Tahrir terhadap krisis ekonomi internasional adalah sikap Hizb terhadap sistem ekonomi kapitalis yang menghasilkan krisis-krisis itu. Juga merupakan sikap Hizb terhadap kapitalisme itu sendiri yang darinya terpancar sistem ekonomi kapitalis. Berikut kami paparkan pilar-pilar sistem ekonomi Islam yang sahih yang menjadi pandangan Hizb:

Sikap Terhadap Kapitalisme
Kapitalisme merupakan ideologi batil dan rusak karena asas yang menjadi pondasi kapitalisme adalah batil dan rusak, yaitu sekulerisme, pemisahan agama dari kehidupan. Jadi kapitalisme tidak memberi hak bagi Pencipta manusia dalam hukum dan penetapan hukum. Hak membuat hukum itu dijadikan sebagai milik manusia yang lemah tidak mampu mengetahui hakikat apa yang bisa membuat baik urusan mereka. Begitulah krisis-krisis itu muncul melanda kehidupan umat manusia sebagaimana bisa disaksikan.

Sikap Terhadap Sistem Ekonomi Kapitalis
Sistem ekonomi kapitalis itu akibat dari kenyataan bahwa itu adalah buatan manusia, dan manusia itu telah sesat dan salah dalam solusinya atas permasalahan ekonomi. Di samping bahwa sistem ekonomi kapitalis itu terpancar dari ideologi kepitalisme yang rusak dan batil.

Sistem ekonomi kapitalis memandang bahwa problem ekonomi adalah kelangkaan relatif… Artinya dengan meningkatkan produksi dan membiarkan manusia bertarung untuk meraihnya sesuai daya beli mereka. Jadi pemilik modal akan hidup kenyang sementara orang miskin akan mati kelaparan.

Tambahan lagi, sistem ekonomi kapitalis telah memutlakkan kepemilikan individu. Hasilnya adalah tirani kepemilikan individu terhadap kepemilikan publik dan kepemilikan negara itu sendiri sehingga negara dan masyarakat serta sebagian besar kekuatan ekonomi yang ada di suatu negeri menjadi tergadai ditangan segelintir orang kaya monopolis dan rakus yang mengeksploitasi kebebasan kepemilikan secara mutlak. Mereka mendirikan bank-bank ribawi raksasa bertolak dari kebebasan kepemilikan. Begitu pula mereka mendirikan perusahaan-perusahaan kapitalis raksasa, nyata maupun fiktif, dan bermain-main di pasar keuangan “bursa” dengan cara-cara setan, kemudian perusahaan-perusahaan dan bank-bank itu mengendalikan pasar-pasar dan kekayaan, melahap perusahaan-perusahaan kecil yang ada di jalannya, persis seperti ikan paus yang melahap ikan-ikan kecil. Hal itu bertolak dari kebebasan pengelolaan kepemilikan, melalui kebijakan spekulasi, kontrol ekonomi dan monopoli. Semua itu bertolak dari kebebasan pengembangan harta menggunakan metode yang diinginkan oleh para kapitalis!!

Sistem Ekonomi sahih yang menjadi pandangan Hizb
Sistem ekonomi yang sahih dalam pandangan Hizb adalah sistem ekonomi Islam yang telah diturunkan oleh Allah Tuhan semesta alam. Sistem ekonomi Islam itu berdiri di atas pilar-pilar yang kuat, kokoh dan adil, yaitu:

  1. Melarang riba dan perbankan ribawi secara tegas. Karena itu adalah induk bencana dan sumber penyakit. Islam mengharamkan riba dan apa saja yang dibangun di atasnya. Sudah sangat jelas bagi setiap orang yang waras bahwa bisnis bank semuanya tegak di atas spekulasi keuangan yang dibangun di atas utang yang dikaitkan dengan riba (apa yang secara bohong mereka namakan bunga, padahal bukan bunga).
  2. Simpanan emas dan perak sebaga back up tetap bagi mata uang. Ini pada kenyataannya dapat mencegak adanya fluktuasi dalam harga kurs yang berpengaruh negatif pada kondisi ekonomi negara dan individu; karena uang itu memiliki nilai hakiki dan intrinsik. Tidak seperti uang kertas fiat money yang tidak memiliki nilai intrinsik kecuali senilai kertas dan keahlian yang dicurahkan dalam mencetaknya. Uang kertas fiat money itu adalah kertas berharga yang mengandung ketidakstabilan sesuai dengan fluktuasi ekonomi dan spekulasi pasar.
  3. Penghormatan atas hak kepemilikan dalam tiga jenisnya: kepemilikan pribadi, kepemilikan publik dan kepemilikan negara, penentuan kondisi-kondisi bagi masih-masing jenis kepemilikan itu dan hukum-hukumnya… Islam telah melindungi kepemilikan itu dari pelanggaran terhadapnya. Negara tidak boleh menguasai kepemilikan pribadi dengan jalan nasionalisasi dan semacamnya. Kebijakan privatisasi tidak boleh dimasukkan dalam apa saja yang termasuk kepemilikan publik seperti tambang, minyak bumi, dan semisalnya, energi listrik dalam pengelolaan pabrik dan semacamnya… Demikian pula tidak boleh terjadi penyalahgunaan atas kepemilikan negara oleh para pejabat… Hukum-hukum syara’ secara rinci yang mengatur kepemilikan-kepemilikan itu telah dinyatakan sesuai dengan konteksnya masing-masing.
  4. Merubah perusahaan-perusahaan perseroan (asy-syirkât al-musâhamah -dikenal sebagai PT) yang merupakan perseroan harta karena terbentuk dari pesero harta saja, dirubah menjadi perusahaan yang islami yang terbentuk dari pesero harta dan badan “tenaga”. Dengan itu kita akan menyingkirkan perolehan harta masyarakat oleh individu tanpa mengerahkan tenaga yang riil.
  5. Penghapusan pasar finansial yang di dalamnya harta dikonversi menjadi angka-angka dan laporan-laporan yang tidak memiliki cadangan pada kenyataannya. Hal itu akan membuat masyarakat menyibukkan diri dengan harta-harta riil di dalam perekonomian yang riil. Mereka tidak bertransaksi kecuali terhadap apa yang mereka miliki dan mereka saksikan.
  6. Islam tidak memandang problem ekonomi itu sebagai masalah kelangkaan relatif yaitu masalah peningkatan produksi, dan membiarkan masyarakat bersaing untuk memperolehnya sesuai kemampuan daya beli mereka, sehingga pemilik modal akan memonopoli dan kenyang sementara orang miskin mati kelaparan. Akan tetapi Islam memandang bahwa problem ekonomi adalah dalam hal keadilan pendistribusian hasil produksi kepada masyarakat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok bagi setiap individu di antara mereka, baik sandang, pangan maupun papan, dan memberi kemungkinan kepada mereka untuk bisa memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier mereka secara adil dan proporsional.

Inilah sistem ekonomi Islam. Ia merupakan hukum-hukum syara’ yang berasal dari sisi Zat yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Dia yang maha Suci yang mengetahui hakikat apayang menjadikan baik makhluk-makhlukNya

{أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ}

Ingatlah Allah Yang menciptakan itu mengetahui; dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui? (QS al-Mulk [67]: 14)

Sistem ekonomi Islam itu adalah sistem ekonomi yang sahih yang menyediakan kehidupan yang aman dan kehidupan yang baik untuk pihak yang kuat maupun yang lemah, kaya maupun miskin. Dengan sistem itu mereka semuanya akan menjadi hamba-hamba Allah yang saling bersaudara.

Sesungguhnya sistem ini adalah sistem yang akan membuat baik kondisi umat manusia. Dengan sistem selainnya, maka umat manusia akan terus berada dalam kesengsaraan dan penderitaan. Pihak yang kuat akan terus mengeksploitasi pihak yang lemah di antara mereka. Pihak yang kaya di antara mereka akan terus memperbudak orang-orang miskin dari mereka. Sehingga antar mereka akan menjadi musuh yang sengit satu sama lain… Maha Benar Allah yang Maha Agung yang telah berfirman:

Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit (QS Thaha [20]: 123-124)

Read Full Post »

Jakarta, mediaumat.com,-Sekitar 800 massa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) longmarch dari depan Istana Presiden ke Gedung Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jum’at (25/6) siang di Jakarta. Sambil mengacung-acungkan sejumlah poster, mereka menuntut agar pemerintah membatalkan kenaikan tarif dasar listrik (TDL).

Sejumlah spanduk mereka usung, di antaranya bertuliskan, Kapitalisme Terbukti Menyengsarakan, Ganti dengan Khilafah; dan Energi Milik Umat, bukan Penguasa! Kembalikan dengan Syariah dan Khilafah.

Tidak puas dengan hanya membawa spanduk ukuran biasa mereka pun membawa dua buah spanduk raksasa yang kontan saja semakin menarik perhatian sejumlah pengguna jalan yang melintas.

Spanduk raksasa tersebut bertuliskan, Khilafah akan Mengelola Listrik dengan Harga Murah; dan TDL Naik Penguasa Kian Neolib, Rakyat Makin Menjerit.

Sesampainya di Kementrian ESDM, sejumlah perwakilan disambut masuk oleh Agus Salim, Biro Hukum dan Humas Kementrian ESDM beserta jajarannya.

“Pemerintahkan menaikan TDL-kan, sudah mendapatkan persetujuan DPR, wakil rakyat,” ujar Agus Salim beralasan saat diprotes delegasi HTI.

“Memang DPR itu wakil rakyat, tetapi faktanya DPR itu tidak pro kepada kepentingan rakyat. Jadi saya tidak ingin Bapak menjawab seperti itu!” tegas Muhammad Ismail Yusanto, pimpinan delegasi.

Masih banyak jalan yang bisa ditempuh agar TDL tidak naik. Mengurangi subsidi itu bukan solusi yang tepat. Memang selintas, Pemerintah menghemat 5 trilyun dari menaikkan TDL 10 persen,tapi efeknya itu memicu kenaikan berbagai macam harga barang, daya beli masyarakat menurun, dan menambah jumlah pengangguran.

“Subsidi jangan dikurangi dong,” ujarnya. Terminologi subsidi pun sebenarnya tidak tepat. “Pemerintah itu ibarat orangtua dan rakyat adalah anak-anaknya, masa anak makan saja dikurangi, dikurangi jatahnya, orangtua macam apa itu!” ujar Ismail kesal.

“Oke, saya tahu, mestilah Menteri ESDM berkelit, bahwa kenaikan ini bukan keinginannya, tetapi keinginan Menteri Ekonomi, Menteri Ekonomi pun akan berkelit bahwa itu keinginan wapres,” ujar Jurubicara HTI itu.

Tetapi mengapa di tengah-tengah PLN sangat membutuhkan gas malah gas yang ada diserahkan kepada asing. ”Mesti ada apa-apanya ini!” selidik Ismail.

Bukankah berulang kali PLN menyatakan bahwa bila pembangkit listrik yang digunakan itu dual firing (bisa menggunakan dua macam bahan bakar) yakni minyak dan gas. “Bila pakai gas, pemerintah bukan hanya bisa menghemat 5 trilyun tetapi 50 trilyun!” ujarnya.

Tetapi mengapa PLN kekurangan pasokan gas? “Kita tahu bahwa kita produsen gas terbesar di dunia, pembangkit listrik kita mestinya bisa pakai gas, sehingga TDL tidak perlu naik, bila perlu malah diturunkan untuk meningkatkan produktivitas masyarakat!” ujarnya.

Kalau keputusan menjual 70 persen gas Donggi Senoro kepada asing itu berdasarkan kontrak, mengapa tidak dibuat kontrak yang tepat, yang menunjukkan bahwa penguasa itu melindungi dan mengayomi rakyatnya?

“Saya bukan dalam kapasitas mendukung atau tidak terhadap wapres sebelumnya, tetapi saat itu mengapa Yusuf Kalla bisa mengatakan gas Donggi Senoro 100 persen untuk kepentingan dalam negeri, tetapi wapres sekarang malah tidak?” tanya Ismail.

Kemelut TDL ini merupakan trik liberalisasi yang diinginkan negara-negara Barat untuk mengambil kekayaan alam Indonesia. “Bapak-bapak harus waspada, ini akan terus berjalan selama kapitalisme memimpin negeri ini,” paparnya.

“Maka kami mengajak Bapak-Bapak untuk memilih syariah Islam dan meninggalkan sistem yang hanya menguntungkan asing dan anteknya itu,” ajaknya.

Rakyat ini diam bukan berarti setuju dengan keputusan pemerintah. Mereka itu lelah, lelah didzalimi terus. Rakyat pun tidak dapat berharap lagi kepada DPR yang selalu pro kepada kepentingan asing dan penguasa tetapi abai terhadap hajat hidup orang banyak.

“Tadi di luar saya berbicara dengan beberapa polisi yang menjaga aksi kami, mereka juga tidak mau TDL dinaikan, tetapi para polisi itu tidak bisa protes, kami hanya menyambung lidah mereka sebenarnya,” ungkap Ismail.

Kemudian Ismail pun menjelaskan solusi Islam terkait tata cara mengelola energi dan sumber daya alam lainnya sehingga mensejahterakan seluruh rakyat.

Usai mendengar paparan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Hampara itu, Agus Salim menjanjikan bahwa akan menyampaikan pendapat yang disampaikan delegasi HTI tersebut.

Namun sayangnya Agus Salim tidak dapat memastikan kapan akan menyampaikan jawaban Menteri ESDM terkait hal itu, apalagi menyediakan waktu untuk HTI agar bisa memaparkan secara gamblang dan tuntas konsep syariah dan Khilafah Islam.

“Kami siap diminta diskusi lebih lanjut, kami siap pula ditantang untuk memberikan kejelasan konsep syariah ini. Kapan Kementrian ESDM bisanya?” tantang Ismail.[] joko prasetyo S

Read Full Post »

[Al-Islam 494] Saat ini, RUU HMPA Bidang Perkawinan sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2010 di DPR. Kemunculan RUU ini telah mengundang pro-kontra. Pasalnya, dalam RUU tersebut nyata-nyata terkandung klausul pemidanaan (kriminalisasi) bagi pelaku nikah siri, poligami dan nikah kontrak; mereka bisa diancam hukuman penjara maksimal 3 bulan dan denda 5 juta rupiah. Mereka yang pro (setuju), misalnya, adalah Ketua Mahkamah Konsitusi (MK) Mahfud MD. Alasannya, ia meyakini pernikahan bawah tangan (nikah siri) dan kawin kontrak merugikan pihak perempuan. (Jambi-independent.co.id, 15/2/10).

Sebelumnya, Ketua MUI KH Ma’ruf Amin menyatakan, “Nikah di bawah tangan kalau memenuhi syarat rukunnya itu sudah sah. Tetapi bisa juga haram,” kata Ketua MUI KH Ma’ruf Amin. Menurut KH Ma’ruf, label haram akan berlaku bila ada korban yang ditimbulkan akibat dilakukannya nikah siri. “Biasanya, korban itu adalah anak atau istri yang haknya tidak terlindungi. Mereka menjadi tidak memiliki hak waris dan sebagainya,” ujar dia (Vivanews, 16/2/10).

Sebaliknya, menurut Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam, hukuman yang pantas bagi pelaku pernikahan siri cukup dengan sanksi administratif, bukan pidana (Voa-islam.com, 15/2/10).

Mendudukkan Persoalan

Dalam kasus nikah kontrak (muth’ah), pemidanaan atas pelakunya tentu wajar belaka. Sebab, dalam pandangan syariah Islam nikah kontrak (nikah muth’ah) haram. Keharaman nikah muth’ah ini telah disepakati oleh jumhur (mayoritas) ulama.

Sebaliknya, pemidanaan atas pelaku nikah siri (termasuk poligami) tentu bermasalah.

Pertama: Selama ini nikah siri (nikah di bawah tangan) yang dipahami masyarakat adalah pernikahan yang absah secara agama tetapi tidak tercatat di lembaga pencatat pernikahan (KUA). Jika memenuhi syarat dan rukunnya secara syar’i, nikah siri model ini jelas tetap sah. Demikian pula dengan poligami yang telah memenuhi syarat-syarat sah secara syar’i. Karena itu, pemidanaan atas pelaku nikah siri (termasuk poligami) bertentangan dengan hukum syariah. Lain halnya jika kedua model praktik pernikahan itu tidak memenuhi standar syar’i.

Kedua: Pemberlakuan hukum pidana atas pelaku nikah siri (termasuk poligami) yang absah secara syar’i juga akan menimbulkan keresahan di masyarakat. Pasalnya, selama ini sebagian masyarakat telah mempraktikan kedua bentuk pernikahan tersebut selama puluhan tahun. Mereka melakukannya paling tidak karena salah satu dari empat alasan berikut: (1) alasan agama (misal: takut terjerumus ke dalam perzinaan, sementara untuk meresmikan pernikahan lewat KUA tidak mudah); (2) alasan administrasi (misal: mahalnya biaya nikah lewat KUA; sulitnya prosedur untuk poligami secara resmi [bahkan untuk PNS ada PP No. 45/1990 yang nyata-nyata mencegah mereka untuk memiliki istri lebih dari satu]); (3) alasan ekonomi (misal: banyak wanita mau dipoligami asal dipenuhi nafkahnya dan tidak dicerai); (4) alasan tradisi (misal: banyak tokoh agama [ulama/kiai/ustad], khususnya di pesantren-pesantren, yang memiliki istri lebih dari satu; selain karena memang halal secara syar’i, ada kebanggaan tersendiri bagi orangtua yang memiliki anak gadis jika putrinya itu dipersunting oleh sang tokoh karena jaminan keilmuan dan keshalihannya, selain karena status sosialnya di masyarakat).

Ketiga: Pemidanaan atas pelaku nikah siri (termasuk poligami) yang absah secara syar’i patut dipertanyakan motifnya. Pasalnya, jika alasannya karena praktik nikah siri dan poligami selama ini banyak merugikan pihak perempuan, terutama menyangkut hak-haknya di depan hukum/pengadilan (misal: sulit menuntut hak nafkah jika terjadi masalah dalam rumah tangganya, apalagi sampai terjadi perceraian; susah mendapat hak waris jika suami meninggal; sukar mendapatkan akta kelahiran bagi anak-anaknya; dll), maka yang perlu dipecahkan adalah bagaimana mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. Caranya dengan mengubah UU atau aturan yang ada yang selama ini mempersulit diperolehnya hak-hak tersebut. Misal: PP No. 45/1990 bagi PNS seharusnya dicabut. Dengan itu, saat mereka ada keinginan kuat menikah lagi, mereka bisa melakukannya secara resmi melalui lembaga Pemerintah (KUA). Dengan itu pula, mereka dengan mudah bisa mendapat akta nikah, yang selama ini dijadikan syarat untuk mendapatkan akta kelahiran bagi anak-anaknya.

Keempat: Pemidanaan atas pelaku nikah siri (maupun poligami) juga tidak proporsional, terutama jika dibandingkan dengan bencana seks bebas, baik melalui praktik zina secara terang-terangan maupun “zina siri” (diam-diam). Jelas, segala bentuk perzinaan ini telah berdampak pada problem-problem sosial pelik lainnya seperti kehamilan tak diinginkan, aborsi, penyakit menular seksual, epidemi HIV/AIDS, sampai degradasi moral remaja. Bahkan “zina siri” telah melanda para remaja. Menurut hasil survei Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), misalnya, yang mengambil sampel di 33 provinsi pada tahun 2008, diperoleh fakta bahwa 63 persen remaja usia sekolah SMP dan SMU mengaku pernah melakukan hubungan seks, dan 21 persen di antaranya pernah melakukan aborsi. Itu baru yang terungkap.

Bandingkan dengan nikah siri (yang absah menurut agama tetapi tidak tercatat di KUA), dimana laki-laki dan wanita diikat dalam sebuah ikatan luhur dan terhormat, demi mengarungi bahtera keluarga sakinah mawadah wa rahmah. Bandingkanlah, mana yang semestinya patut mendapat perhatian dan penanganan yang lebih serius? Mana di antara keduanya yang berbahaya? Mana di antara keduanya yang menyebarkan penyakit biologis dan penyakit sosiologis di tengah masyarakat? Jika para pelaku nikah siri (termasuk poligami) diancam dengan hukuman penjara, mengapa para pelaku zina terang-terangan maupun “zina siri” malah dibiarkan?

Akar Persoalan

Harus diakui, sistem kehidupan yang diterapkan di negeri ini telah sukses “memaksa” sebagian orang terjerumus ke dalam kubangan perzinaan. Sistem tersebut tidak lain berisi sekumpulan aturan dan undang-undang yang mendukung sekularisme, liberalisme dan Kapitalisme di berbagai aspek kehidupan. Lihatlah bagaimana sistem yang bekerja saat ini menghasilkan generasi para pezina, bahkan dalam usia yang sangat dini, melalui beberapa hal berikut:

1.Pendidikan sekular yang mendepak agama. Pendidikan sekular ini nyata-nyata menjadikan para remaja kita dibuat tidak matang secara intelektual, emosional apalagi spiritual. Akhirnya, mereka mudah terombang-ambing dan terjerumus ke dalam lembah maksiat, termasuk perzinaan.

2.Kemudahan mengakses sarana pornografi dan pornoaksi. Semua itu disediakan oleh raksasa industri yang menjadikan aurat dan syahwat sebagai core-business (bisnis inti) mereka dan dilegalkan Pemerintah. Para remaja terus-menerus dibombardir oleh berbagai sarana pornografi dan pornoaksi tersebut. Akibatnya, di tengah tidak adanya pegangan hidup yang kuat, hasrat seksual mereka pun tak terbendung. Saat sebagian dari mereka itu masih percaya dengan ikatan luhur pernikahan dan berniat untuk segera menikahi pasangan mereka, ironisnya pintu pernikahan dini pun ditutup rapat-rapat. Yang melanggar bisa dipidanakan. Akhirnya, mereka pun mencari jalan pintas dan aman: berzina.

3.Sanksi hukum yang longgar. Hingga hari ini, dalam KUHP kita tidak ada satu pasal pun yang mengatur pemidanaan atas pelaku zina, selama dilakukan atas dasar suka sama suka! (Padahal mana ada orang berzina dipaksa?). Intinya, zina tak lagi dianggap kriminal. Akibatnya, orang tak akan pernah merasa takut untuk melakukannya.

Sungguh, maraknya kasus “zina siri” maupun zina terang-terangan yang merusak ini lebih patut mendapatkan perhatian Pemerintah ketimbang gejala nikah siri ataupun poligami yang hanya secuil itu.

Liberalisasi Keluarga

Saat poligami dihambat, nikah siri pun dipidanakan, sementara hasrat untuk menikah lagi tak terbendung, yang terjadi adalah kemungkinan banyaknya para lelaki mencari jalan pintas dan aman. Apalagi kalau bukan berzina. Sebab, hingga saat ini memang tidak ada sanksi bagi para pezina!

Belum diberlakukannya UU HMPA yang bisa mempidanakan pelaku nikah siri saja, saat ini perzinaan demikian marak. Bagaimana jika saat sudah diberlakukan. Apalagi menurut Ustadzah Najmah Saidah dari DPP MHTI, keluarnya RUU HMPA bukan tanpa sebab. Di dalamnya terdapat ruh dan nuansa liberalisasi, yaitu CLDKHI. ”Ini merupakan upaya terselubung liberalisasi keluarga. Ini merupakan bagian dari penjajahan global oleh musuh-musuh Islam (AS) yang menginginkan hancurnya tatanan kehidupan keluarga Muslim,” ujar Ibu Najmah (Hizbut-tahrir.or.id, 6/4/09).

Skenario global ini secara sistematis dan struktural masuk melalui lembaga internasional (PBB) yang menekan negeri-negeri Muslim jajahan untuk meratifikasi konvensi-konvensi yang sarat agenda liberal seperti CEDAW dll. Selanjutnya negara menekan masyarakat dengan berbagai UU liberal.

Wahai kaum Muslim:

Ketahuilah, negeri ini tak pernah berhenti menjadi sasaran liberalisasi di berbagai bidang; baik liberalilasi agama dan pemikiran, liberalisasi ekonomi, liberalisasi politik, liberalisasi hukum Islam maupun liberalisasi sosial dan budaya. Selain itu, kini upaya liberalisasi keluarga—yang notabene menjadi ‘benteng terakhir’ pertahanan kaum Muslim—juga terus digencarkan. Salah satu pintu masuknya adalah melalui RUU Hukum Materiil Peradilan Agama (RUU HMPA) Bidang Perkawinan.

Semua upaya liberalisasi ini tidak lain merupakan bagian dari skenario kafir penjajah Barat melalui agen-agennya di negeri ini untuk menghancurkan Islam dan kaum Muslim. Karena itu, hendaklah kita selalu meyakini firman Allah SWT:

]وَلا يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا[

Mereka (kaum kafir) tidak henti-hentinya memerangi kalian sampai mereka dapat mengembalikan kalian dari agama kalian (pada kekafiran) seandainya mereka sanggup (QS al-Baqarah [2]: 217).

Allah SWT juga berfirman:

]وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ[

Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah rela kepadamu hingga kamu mengikuti agama (jalan hidup) mereka (QS al-Baqarah [2]: 120).

Selain itu, kita pun harus menyadari bahwa arus liberalisasi masuk secara struktural dan kultural. Karena itu, upaya membendungnya pun harus dilakukan secara struktural dan kultural. Di sinilah pentingnya kita untuk terus berupaya menyadarkan umat sekaligus berjuang menegakkan institusi Khilafah Islamiyah sebagai penjaga Islam sekaligus pelindung umat Islam. []

Komentar al-islam:

Pemerintah dianggap berlebihan memidanakan pelaku kawin siri (Republika, 16/2/2010).

Jelas, sementara pelaku perzinaan yang makin marak dibiarkan!

Read Full Post »

Bantahan Hizbut Tahrir Indonesia
Terhadap Permohonan Pengujian Materiil Undang-undang nomor 1/PNPS/1965
Tentang Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama
oleh Tim Advokasi Kebebasan Beragama

Sebagaimana telah diketahui, Undang-undang nomor 1/PNPS/1965 berisi tentang Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama. Undang-undang itu kini sedang dimintakan Tim Advokasi Kebebasan Beragama untuk dicabut.

Jika dicermati, undang-undang itu bagian dari upaya negara untuk melindungi warganya dari beredar dan tersebarnya penafsiran dan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyimpang terhadap pokok-pokok ajaran agama yang dianut di Indonesia. Juga, dari perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

Sebagai salah satu agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia, Islam dan umatnya termasuk di antara yang dilindungi oleh undang-undang itu. Apabila undang-undang itu dicabut sebagaimana diinginkan penggugat, maka perlindungan terhadap kesucian dan kemurnian Islam menjadi terancam. Ketika undang-undang ini masih berlaku saja, berbagai penafsiran dan praktik keagamaan yang menyimpang terus bermunculan, apalagi jika dihapus. Demikian pula dengan berbagai tindakan yang menjurus pada permusuhan, penyalahgunaan, dan penodaan terhadap Islam. Maka bisa dipastikan, jika larangan terhadap semua perbuatan itu dicabut, penyimpangan, dan penodaan terhadap Islam akan semakin marak.

Namun anehnya, dalam materi gugatannya tim penggugat juga menjadikan Islam dan realitas umat Islam sebagai dasar argumentasinya; sehingga dikesankan bahwa gugatan mereka seolah-olah sejalan atau tidak bertentangan dengan Islam. Padahal, setelah dikaji secara cermat dan mendalam, argumentasi yang digunakan penggugat ternyata banyak mengandung kelemahan, tidak berdasar, dan tidak sesuai dengan fakta. Bahkan di antara isinya mengandung unsur provokasi yang bisa menyulut konflik. Beberapa di antaranya adalah:

  1. Dalam materi gugatannya penggugat mengatakan (38a, hal. 19): Seperti dalam Islam, misalnya yang mengenal banyak aliran keagamaan: Sunni, Syi’ah, Mu’tazilah, Khawarij, dan seterusnya. Dalam satu aliran dikenal pula beragam mazhab. Setidaknya ada empat mazhab fikih dalam aliran Sunni: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Pada level teologi, Sunni bahkan terbagi pula dalam aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah. Begitu juga, penggugat menyatakan (154, hal. 53): Bahwa keniscayaan tidak tunggalnya pemahaman agama menimbulkan problematika tentang siapa otoritas yang dipakai untuk menafsirkan bahwa suatu agama telah dimusuhi, disalahgunakan, atau dinodai. Penggugat juga menegaskan (169, hal. 60): Bahwa seyogyanya dalam menyikapi perbedaan keyakinan dan/atau agama negara tetap berada di tengah dengan tidak berpihak pada salah satu ajaran/aliran/tafsir.
  2. Realitas beragamnya kelompok dan madzhab di tengah kehidupan umat Islam ini dijadikan sebagai dasar argumentasi bahwa pokok-pokok ajaran tidak memiliki ketentuan yang baku. Padahal kenyataannya tidak demikian.

    Memang benar, bahwa di tengah kehidupan umat Islam terdapat banyak madzhab seperti yang disebutkan oleh penggugat. Namun banyaknya madzhab dan kelompok di dalam Islam tidak membuat Islam itu kehilangan alat ukur untuk menilai apakah sebuah madzahab atau kelompok masih berada dalam koridor Islam atau sudah keluar darinya. Alat ukur itu tidak lain adalah al-Quran dan al-Sunnah. Sebab, keduanya merupakan sumber utama ajaran Islam, baik dalam perkara akidah -yang menjadi perkara pokok atau ushûl- maupun syariah -yang disebut sebagai perkara cabang atau furû’.

    Jika dikatakan, bukankah semua kelompok dan madzhab berhak untuk mengklaim bahwa pendapatnya diambil dari al-Quran dan al-Sunnah, mengapa masih terjadi perbedaan? Bukankah itu menunjukkan bahwa panafsiran terhadap keduanya bersifat relatif sehingga tidak bisa menafikan satu sama lain?

    Kalau ada yang berpendapat demikian, itu menunjukkan bahwa dia tidak mengetahui -atau pura-pura tidak tahu– fakta al-Quran dan al-Sunnah. Sebagai sebuah kalam (perkataan) -kaum liberal sering menyebutnya sebagai ‘teks’–, al-Quran dan al-Sunnah memang berpotensi menimbulkan beragam penafsiran. Akan tetapi tidak semua ayat al-Quran dan Hadits Nabi saw bersifat demikian. Sebab, dalâlah (penunjukan makna) dalam kedua sumber itu ada yang bersifat qath’iy (tegas dan jelas) sehingga tidak memungkinkan penafsiran lebih dari satu makna; dan ada yang bersifat zhanniy (samar dan berisi dugaan), yang membuka peluang terjadinya perbedaan. Realitas inilah yang dinyatakan oleh al-Qur’an surat Ali Imran [3]: 7, bahwa ayat al-Quran terbagi menjadi dua, yakni: ayat muhkamât dan ayat mutasyâbihât.

    Ayat muhkamât adalah ayat yang jelas makna dan penunjukannya, tidak ada kesamaran di dalamnya,[1] dan hanya mengandung satu makna[2] sehingga tidak menimbulkan perbedaan penafsiran.[3] Contohnya adalah firman Allah Swt:

    ﴾ قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ﴿

    Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa (QS al-Ikhlash [112]: 1).

    Dalâlah atau penunjukan makna ayat ini sangat jelas. Tidak bisa ditafsirkan lain kecuali bahwa Allah itu hanya satu. Jika ada yang menafsirkan ayat ini bahwa Allah Swt itu ada dua, tiga, atau, empat, maka dapat dipastikan penafsirannya telah menyimpang dari kandungan ayat ini. Demikian juga dengan firman Allah Swt:

    ﴾وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلاً﴿

    Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk (QS al-Isra’ [17]: 32).

    Berdasarkan ayat ini, zina merupakan perbuatan tercela dan dilarang. Jika ada yang menafsirkan sebaliknya, misalnya menyatakan bahwa zina merupakan perbuatan yang diperbolehkan, bahkan perbuatan terpuji dan diperintahkan, jelas merupakan penafsiran yang menyimpang.

    Sedangkan ayat mutasyâbihât adalah kebalikan dari ayat muhkamât. Ayat mutasyâbihât adalah ayat yang maknanya mengandung kesamaran dan multitafsir, sehingga dapat menimbulkan lebih dari satu kemungkinan makna.[4] Contoh firman Allah Swt:

    ﴾أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ﴿

    Atau kalian menyentuh perempuan (QS an Nisaa [4]: 43).

    Kata lâmastum di dalam ayat tersebut dipahami oleh sebagian mujtahid dengan makna haqîqiy (denotatif), yakni menyentuh dalam arti sebenarnya. Sebagaian lainnya, memahami lafadz tersebut dengan makna majâzi (konotatif), yakni berarti jima’ (bersetubuh).[5]

    Pada dalil-dalil yang bersifat zhanniy inilah ladang untuk berijtihad itu terbuka. Karena sifatnya yang multitafsir, maka perbedaan ijtihad di dalamnya masih dibolehkan, dan ditolelir oleh Islam. Dalam ranah inilah yang kemudian berkembang menjadi banyak madzhab. Semua madzhab itu, selama mendasarkan pada dalil-dalil yang mu’tabar, masih terkatagori sebagai al-madzâhib al-Islâmiyyah (madzhab Islam). Dalam konteks inilah, sebenarnya perbedaan pendapat tentang jumlah rakaat shalat Tarawih dan qunut shalat Shubuh itu berada. Anehnya, hal ini justru dijadikan alasan gugatan oleh penggugat (hal. 23).

    Hal yang sama tentu tidak berlaku pada perkara-perkara yang dibangun dari dalil yang bersifat qath’iy. Karena makna yang ditunjukkan sudah sedemikian jelas, sehingga tidak diperlukan lagi ada ijtihad di dalamnya. Tidak boleh pula terjadi perbedaan dan perselisihan dalam memahaminya. Allah Swt melarang sekaligus mengancam orang-orang yang berbeda pendapat mengenai hal-hal yang ketentuannya sudah jelas (al-bayyinât) di dalam Kitab dan Sunnah dengan azab yang berat. Allah Swt berfirman:

    ﴾وَلاَ تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُـوا وَاخْتَلَـفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ﴿

    Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat (QS Ali Imran [3]: 105).[6]

    Dalam Islam, semua perkara yang menjadi pokok agama (ushûl al-dîn) didasarkan kepada dalil yang qath’iy ini. Yang tercakup di dalamnya adalah iman kepada Allah Swt, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kiamat, dan al-qadhâ’ wa al-qadar. Maka siapa pun yang mengingkari perkara itu, seluruhnya atau sebagian, telah keluar dari Islam.

    Demikian pula dengan perkara-perkara hukum yang telah diketahui urgensinya dalam Islam (ma’lumun min ad-din bi ad-dharurah), seperti wajibnya shalat, puasa, zakat, haji, atau haramnya membunuh, berzina, mencuri, hukuman qishash bagi pembunuh, potong tangan bagi pencuri, dan sebagainya adalah termasuk perkara yang tidak memerlukan ijtihad.[7] Siapa pun yang mengingkarinya, maka terjerumus dalam kekufuran.

    Dengan demikian, meskipun di tengah umat Islam banyak madzhab dan kelompok bermunculan, dengan mudah dapat diidentifikasi dan diklasifikasi, apakah sebuah kelompok atau aliran tersebut masih berada dalam koridor Islam atau sudah darinya. Di dalam Islam telah jelas perkara apa yang harus sama, dan perkara apa yang diperbolehkan berbeda. Islam juga telah menetapkan sejumlah pemikiran dasar, baik yang tercakup dalam rukun Islam, rukun iman, maupun sejumlah pemikiran yang dinyatakan oleh dalil-dalil yang qath’iy. Jika ada kelompok yang mengklaim sebagai kelompok Islam, tetapi pandangan dan pemikirannya bertentangan dengan sejumlah pemikiran dasar di atas, maka kelompok tersebut tidak dapat dikatakan sebagai kelompok Islam.

    Bertolak dari sini, maka argumen penggugat yang menyebut bahwa banyak kelompok menyulitkan penentuan perkara mana yang termasuk dalam pokok-pokok ajaran Islam telah gugur dan harus ditolak.  Begitu juga, sangat jelas bahwa otoritas yang menentukan apakah suatu agama dimusuhi adalah ajaran agama itu sendiri, dan tentu melalui pemimpin kaum Muslim. Misalnya, al-Quran secara qath’iy menetapkan bahwa Muhammad SAW adalah Nabi dan Rasul terakhir, maka Ahmadiyah yang telah menyatakan adanya Nabi lain setelah Nabi Muhammad jelas-jelas telah menyimpang dari ajaran Islam.

    Berdasarkan hal itu, gugatan bahwa Negara harus tidak berpihak pada salah satu ajaran/aliran/tafsir termasuk ajaran/aliran/tafsir yang menodai Islam menjadi tidak relevan. Sebab, Negara mestinya harus bertindak menjaga kemurnian agama, khususnya Islam dan berpihak kepada Islam. Negara juga memberikan kebebasan kepada agama lain untuk tetap hidup. Baru dalam hal-hal yang furu’ (cabang), Negara boleh memberikan kebebasan kepada masing-masing orang untuk melaksanakan keyakinannya. Bila ada penodaan terhadap agama Islam, maka pelakunya harus dihukum oleh Negara.

    Adapun penghilangan peran Negara dalam masalah agama ini sesungguhnya merupakan ciri khas pandangan Liberal, baik di bidang ekonomi maupun agama. Pandangan seperti ini jelas bertentangan dengan Islam itu sendiri yang justru meniscayakan peranan negara, baik di bidang agama maupun ekonomi, dan tentu dalam seluruh bidang yang lain. Selain itu, juga bertentangan dengan konstitusi negara ini.

  3. Penggugat memaknai kebebasan beragama (45, hal. 27): Bahwa kebebasan ‘memeluk’ suatu agama atau keyakinan meliputi pula kebebasan memilih agama atau keyakinan, termasuk hak untuk berganti agama atau keyakinan dengan agama lainnya atau memeluk pandangan atheistik ….
  4. Pemaknaan seperti ini jelas tidak sesuai dengan asas Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari sini jelas, bahwa yang dikehendaki oleh penggugat adalah kebebasan apapun, kemunculan aliran atau agama baru apapun, termasuk kebebasan menjadi atheis. Ini adalah usulan yang akan menghancurkan sendi-sendiri Negara. Karenanya pandangan seperti ini harus ditolak dan batal.

  5. Dalam materi gugatannya penggugat mengatakan (38a, hal.19): Perbedaan pemikiran keagaaman dalam Islam tidak hanya menyangkut doktrin pinggiran (furu’iyyah), melainkan juga masalah yang lebih fundamental (ushuli). Perdebatan antara Sunni dan Mu’tazilah bahkan mengenai hubungan antara zat Allah dan sifatnya. Mu’tazilah mengatakan bahwa al-Quran itu makhluk, oleh karenanya tidak kekal. Sementara Sunni menganggapnya kekal dan melekat pada diri Allah. Begitu juga, dalam materi gugatannya penggugat menyatakan (144, hal. 51): Ahmad Bin Hambal (Tahun 241H/855), dipenjara dan disiksa karena rezim saat itu mengambil aliran Mu’tazilah sebagai aliran keagamaan resmi Negara, hal mana Ahmad bin Hambal dianggap menyimpang dari doktrin Mu’tazilah. Setelah Negara mengganti aliran keagamaan resmi, maka saat itu pula Ahmad Bin Hambal dipulihkan dari status penyimpangannya, bahkan diakui sebagai ulama besar.
  6. Dalam khazanah tsaqâfah Islam memang dikenal istilah ushûl dan istilah furû’. Istilah ushûl al-dîn merujuk kepada perkara akidah, sementara istilah furû merujuk kepada perkara syariah. Telah diungkap di muka, bahwa dalam perkara ushûl al-dîn umat Islam tidak diperbolehkan berbeda. Terhadap perkara ushûl, manusia diwajibkan meyakininya. Siapa pun yang mengingkarinya meyebabkan seseorang jatuh pada kekufuran.

    Akan tetapi, di dalam perkara pokok itu sendiri terdapat perkara-perkara yang menjadi cabangnya (far’[un] min amri ushûliy). Tentu ada perbedaan di antara keduanya. Jika perkara pokok tidak boleh terjadi perbedaan, sementara dalam perkara cabang dari perkara yang mendasar itu masih memungkinkan terjadi perbedaan. Dalam perkara ushûl, dalil yang digunakan sebagai dasarnya harus bersifat yang qath’iy, baik tsubût (ketetapannya sebagai dalil) maupun dalâlah (penunjukan maknanya)-nya. Sementara dalam far’[un] min amri ushûliy memungkinkan terjadinya perbedaan karena tidak harus dibangun dari dalil yang qath’iy. Perbedaan dalam perkara inilah yang kemudian melahirkan berbagai madzâhib i’tiqâdiyyah (madzhab akidah), seperti Ahlussunnah, Muktazilah dan Jabariyah.

    Sebagai contoh, Iman kepada adanya malaikat-malaikat Allah Swt merupakan perkara ushûl. Keimanan ini didasarkan pada dalil yang qath’iy, baik tsubût maupun dalâlah-nya. Sedangkan perkara nama-nama malaikat beserta tugasnya merupakan pembahasan cabang. Apabila perkara itu didasarkan kepada dalil yang qath’iy, maka wajib dimani. Seperti mengimani kebaradaan malaikat Jibril dan Mikail. Maka siapa pun yang mengingkari keberadaannya, telah menyimpang dan keluar dari Islam. Namun jika keberadaannya didasarkan pada dalil yang bersifat dzanni, baik tsubût maupun dalâlah-nya, maka pengingkaran terhadapnya tidak mengakibatkan kekufuran. Misalnya, keberadaan malaikat Munkar dan Nakir. Karena dalil mengenainya tidak sampai qath’iy, maka kalau ada yang mengingkarinya tidak sampai mengeluarkannya dari Islam.

    Demikian juga dengan keimanan pada al-Quran. Bahwa al-Quran adalah kalâmul-Lâh, kitab yang diturunkan Allah Swt kepada Nabi Muhammad saw, semua isinya benar, di dalamnya tidak ada penambahan, pengurangan, dan perubahan adalah merupakan perkara yang wajib diimani. Ini merupakan perkara ushûl. Keimanan terhadapnya didasarkan pada dalil-dalil yang qath’iy. Maka siapa pun yang mengingkarinya bisa dinyatakan telah dari Islam.

    Berbeda halnya dengan pembahasan apakah al-Quran adalah makhluk atau bukan. Ini termasuk dalam pembahasan perkara cabang. Dalil-dalil yang menjelaskan perkara ini tidak sampai pada derajat qath’iy. Maka perbedaan pandangan dalam perkara ini tidak sampai mengantarkan kepada kekufuran. Inilah sesungguhnya yang terjadi dalam kasus perdebatan antara Ahlussunnah dengan Mu’tazilah. Imam Ahmad, misalnya, sekalipun tidak sependapat dengan penafsiran Mu’tazilah yang menganggap al-Quran adalah makhluk, namun beliau tidak menyebut pengikut Mu’tazilah telah keluar dari Islam. Demikian juga sebaliknya.

    Kasus dipenjaranya Imam Ahmad bin Hambal juga tidak bisa dijadikan sebagai argumentasi, karena ini merupakan bentuk kesalahan kebijakan Khalifah saat itu. Sebab, di dalam Islam seorang Khalifah tidak boleh mengadopsi satu mazhab tertentu, karena negara, dalam pandangan Islam, bukanlah negara madzhab. Pandangan Imam Ahmad bin Hambal pun bukan merupakan penyimpangan dari Islam, karena tidak menyangkut pokok akidah. Namun, hal ini berbeda dengan penyimpangan yang dilakukan Ahmadiyah, misalnya. Sebab, Ahmadiyah, Moshadek, Lia Eden, dll menyimpang dari pokok-pokok akidah. Karenanya, peristiwa Imam Ahmad bin Hambal tidak dapat dijadikan argumen untuk memberi justifikasi penyimpangan akidah.

    Hizbut Tahrir sendiri berpandangan, perkara ini tidak perlu dibahas, apalagi menjadi bahan perdebatan berkepanjangan. Alasannya, tema tersebut merupakan perkara ghaib, sementara dalil-dalil tentangnya tidak sampai pada derajat qath’iy. Maka sikap terbaik adalah mendiamkannya, tidak menambah dan mengurangi.

    Karena itu, contoh-contoh yang digunakan oleh penggugat tidak relevan untuk menggugat undang-undang yang melarang penafsiran yang menyimpang dari pokok ajaran agama yang dianut, dan oleh karena harus ditolak.

  7. Dalam materi gugatannya penggugat mengatakan bahwa rumusan pokok ajaran agama berbeda pada tiap kelompok.& Untuk melegalisasinya dinyatakan (38a, hal.19): Misalnya apa yang didefinisikan sebagai ajaran pokok Islam oleh Ahmad bin Naqib al-Misri berbeda dengan yang didefinisikan oleh Abu Bakar al-Jazairi, Ali al-Tamimi, dan Abd al-‘Aziz bin Abu Allah bin Baz. (lihat Abdullah Saeed hal. 44-47).
  8. Jika al-Misri mengatakan bahwa ada 9 pokok Islam yang dihukum berat adalah jika: (1) merendahkan di depan sebuah berhala atau objek, seperti matahari dan bulan; (2) mengeluarkan kata-kata yang berarti ketidakpercayaan, seperti “saya adalah Allah” atau Allah itu tiga”; (3) menyangkal keberadan Allah, keabadian-Nya tanpa awal dan akhir, atau untuk menyangkal segala karakteristik di mana ada konsesus seluruh Muslim terhadap-Nya; (4} Menghina Allah dan rasul-Nya; (5) Bersikap sinis pada nama Allah, perintahNya, laranganNya, janjiNya, atau ancamanNya; (6) menyangkal ayat al-Quran atau pun yang disepakati oleh intelektual menjadi bagiannya, atau menambah ayat yang awalnya tidak ada di dalamnya; (7) meyakini bahwa pembawa pesan Allah atau Nabi adalah pembohong atau menyangkal mereka dikirim; (8) menyangkal kewajiban yang sudah dikonsesuskan oleh Muslim seperti shalat, bahkan rakaah dari 1 dari 5 kali shalat wajib; (9) menyangkal keberadaan malaikat atau jin atau surga.

    Sementara itu al-Jazairi mengatakan bahwa ada 5 hal pokok yang dihukum berat: (1) Menghina Allah atau Nabi atau Malaikat; (2) menyangkal untuk mengakui bahwa Allah adalah Tuhan yang sebenarnya atau kenabian Nabi atau memegang keyakinan bahwa ada Nabi setelah Nabi Muhammad; (3) menolak kewajiban Islam (faridah) di mana ada kesepakatan umum seperti shalat, zakat puasa, naik haji, berlaku baik pada orang tua, atau jihad; (4} yakin bahwa tindakan pelanggaran hukum seperti adultery, minum alcohol, pencurian pembunuhan, atau praktek black magic adalah legal; (5) menolak bab, ayat atau surat dari al-Quran.

    Kedua definisi di atas dijadikan contoh oleh penggugat untuk memperkuat argumentasinya bahwa perkara pokok dalam Islam itu berbeda-beda. Padahal, jika dicermati kedua definisi yang diberikan para ulama itu tidak berbeda, apalagi saling bertentangan. Kalaupun tampak ada perbedaan, itu hanyalah terletak pada redaksional bahasa, bukan substansial.

    Poin 1 yang disebutkan al-Jazairi: (1) Menghina Allah atau Nabi atau Malaikat, tidak berbeda dengan poin 4 dan 5 yang disebutkan al-Misri: (4) Menghina Allah dan rasul-Nya; (5) Bersikap sinis pada nama Allah, perintah-Nya, larangan-Nya, janjiNya, atau ancaman-Nya.

    Perkara pokok yang dijelaskan oleh keduanya sesungguhnya adalah sama, yakni melakukan penghinaan atau pelecehan teradap perkara yang disucikan dan wajib diimani.

    Demikian juga dengan poin 2 yang didefinisikan al-Jazairi: Menyangkal untuk mengakui bahwa Allah adalah Tuhan yang sebenarnya atau kenabian Nabi atau memegang keyakinan bahwa ada Nabi setelah Nabi Muhammad; sejalan dengan poin 2, 3, dan 7 yang disebutkan al-Misri: (2) mengeluarkan kata-kata yang berarti ketidakpercayaan, seperti “saya adalah Allah” atau Allah itu tiga”; (3) menyangkal keberadan Allah, keabadian-Nya tanpa awal dan akhir, atau untuk menyangkal segala karakteristik di mana ada konsesus seluruh Muslim terhadap-Nya; (7) meyakini bahwa pembawa pesan Allah atau Nabi adalah pembohong atau menyangkal mereka dikirim.

    Perkara pokok yang dijelaskan oleh keduanya sesungguhnya juga sama, yakni penolakan dan pengingkaran terhadap keimanan kepada Allah Swt dan rasul-Nya. Keimanan Allah Swt di sini mencakup semua sifat-Nya yang didasarkan pada dalil yang qath’iy, semisal tentang keesaan dan keabadian Allah Swt. Demikian juga keimanan kepada Nabi-nabi Allah Swt.  Keimanan terhadap mereka membawa konsekuensi bahwa mereka terjaga dari kesalahan, termasuk dari perbuatan bohong. Tercakup di dalamnya adalah keimanan kepada Nabi Muhammad saw sebagai seorang Nabi dan Rasul sekaligus sebagai penutupnya. Ini adalah perkara pokok yang wajib diimani. Maka pengingkaran terhadapnya menyebabkan pelakunya terjatuh dalam kekufuran.

    Poin 4 yang disebutkan al-Jazairi: Yakin bahwa tindakan pelanggaran hukum seperti adultery, minum alcohol, pencurian pembunuhan, atau praktek black magic adalah legal; sama dengan poin 8 yang didefinisikan al-Misri: Menyangkal kewajiban yang sudah dikonsesuskan oleh Muslim seperti shalat, bahkan rakaat dari 1 dari 5 kali shalat wajib.

    Perkara pokok yang dikemukakan keduanya sesungguhnya menunjuk kepada perkara yang sama, yakni mengingkari perkara hukum yang telah disepakati oleh kaum Muslim. Haramnya alkohol, pencurian, black magic atau sihir adalah perbuatan haram yang didasarkan pada dalil-dalil qath’i, baik tsubût maupun dalâlah-nya. Demikian pula dengan wajibnya shalat 5 waktu merupakan perkara yang qath’iy. Tidak ada perbedaan di kalangan kaum Muslim tentang wajibnya. Maka apabila ada orang yang menyelisihinya, sudah pasti dia keluar dari Islam.

    Poin 5 yang disampaikan oleh al-Jazairi: Menolak bab, ayat atau surat dari al-Quran; sama dengan poin 6 yang disampaikan oleh al-Misri: menyangkal ayat al-Quran atau pun yang disepakati oleh intelektual menjadi bagiannya, atau menambah ayat yang awalnya tidak ada di dalamnya.

    Kedua penjelasan ini menunjuk kepada satu tindakan yang sama, yakni mengingkari al-Quran dan kemurniannya, baik seluruhnya maupun sebagian. Termasuk dalam perkara pokok keimanan adalah keimanan akan kebenaran seluruh isi al-Quran; tidak ada penambahan, pengurangan, atau perubahan. Maka siapa pun yang mengingkarinya, maka telah mengeluarkannya dari Islam.

    Sesungguhnya, kedua penjelasan ulama mengenai perkara pokok yang wajib dihukum berat itu dapat ditarik benang merah. Bahwa setiap pengingkaran terhadap perkara yang dibangun atas dalil yang qath’iy (tusbût dan dalâlah), baik dalam perkara ushûl maupun perkara furu’ dapat mengeluarkan seseorang dari keimanan atau murtad. Demikian juga penghinaan dan pelecehan terhadap perkara yang disucikan (umûr muqaddasah) dalam Islam. Sementara murtad dalam pandangan Islam terkatagori sebagai perbuatan kriminal yang hukumannya sangat berat, yakni hukuman mati.

    Jelaslah bahwa definisi perkara pokok yang dijelaskan oleh kedua ulama itu tidak berbeda sebagaimana anggapan penggugat. Kalaupun tampak ada perbedaan, itu hanya menyangkut redaksional bahasanya. Oleh karena itu, dengan sendirinya hal ini tidak bisa digunakan sebagai dasar argumentasi penggugat.

  9. Dalam materi gugatannya mengatakan (38b dan c, hal.21, 22): “Bahwa apa yang disebut penyimpangan tafsir sesungguhnya adalah perbedaan tafsir antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain, maka kegiatan yang dianggap menyimpang oleh satu kelompok belum tentu dianggap menyimpang oleh kelompok lainnya.”
  10. Pernyataan penggugat ini jelas berusaha merancukan antara perbedaan (ikhtilâf) dengan penyimpangan (inhirâf). Padahal, dalam Islam keduanya menunjukan fakta yaang berbeda. Jika ikhtilâf masih diperbolehkan, sementara inhirâf jelas dilarang, bahkan inhirâf bisa menyebabkan pelakunya terjerumus dalam kekufuran. Karena itu, kerancuan terhadap keduanya bisa berakibat sangat fatal. Sebagai contoh, perbedaan antara NU dan Muhammadiyah tentang qunut dan tidak qunut dalam shalat Subuh adalah masalah ikhtilâf. Ini berbeda dengan perbedaan antara Ahmadiyah, yang menyatakan ada Nabi setelah Nabi Muhammad, dengan kelompok Islam yang menyatakan tidak ada lagi Nabi setelah Nabi Muhammad. Pandangan Ahmadiyah ini disebut inhirâf (penyimpangan), bukan ikhtilâf.

    Sebagaimana telah diungkap di depan, dalâlah (penunjukan makna) dalam al-Quran dan Hadits Nabi saw ada dua macam, yakni: qath’iy dan zhanniy. Firman Allah Swt:

    ﴾وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إِلاَّ أَنْ يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي ﴿بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ

    Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika istri-istrimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah (QS al-Baqarah [2]: 237).

    Kata al-ladzî bi yadihi uqdat al-nikâh dalam ayat ini memang dapat menimbulkan penafsiran ganda, yakni suami atau wali perempuan. Sebab, merekalah yang melakukan akad. Jika ditafsirkan ‘suami’, maka yang dimaksud dengan pemberian maaf suami adalah dengan memberikan mahar sebesar jumlah yang ditetapkan. Namun jika ditafsirkan ‘wali perempuan’, maka maksudnya adalah membebaskan suami dari kewajiban membayar mahar.

    Berbeda halnya dengan firman Allah Swt:

    وَلاَ تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلاَ تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آَيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

    Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran (QS al-Baqarah [2]: 221).

    Ayat ini sangat jelas, tidak menimbulkan banyak tafsir bahwa haram bagi laki-laki Mukmin menikahi wanita Musyrikah, dan wanita Mukminah dinikahi laki-laki Musyrikah. Jika ada yang berkesimpulan sebaliknya, membolehkan pernikahan tersebut jelas telah melakukan penafsiran menyimpang.

    Jelaslah, menyamakan perbedaan (ikhtilaf) dengan penyimpangan (inhiraf) merupakan kesalahan serius. Karena itu, argumentasi penggugat dalam hal ini harus ditolak.

  11. Dalam materi gugatannya penggugat mengatakan (38c, hal.22): Sebagai ilustrasi, dalam penafsiran dan keyakinan orang NU, ziarah kubur dan tahlil adalah bagian dari ibadah (kegiatan keagamaan). Bagi orang Muhammadiyyah atau Wahabi, ziarah adalah bid’ah yang menimbulkan syirik. Syirik adalah dosa yang tidak diampuni oleh Allah Swt. Karena itu, dalam penafsiran orang Muhammadiyyah, orang NU telah melakukan penafsiran dan kegiatan yang menyimpang. Apabila rumusan hukum positif membutuhkan penjatuhan pilihan pada pebafsiran tertentu, penafsiran Muhammadiyyah misalnya, maka akan ada puluhan juta warga NU yang dikriminalisasi karena melakukan kegiatan keagamaan yang menyimpang.”
  12. Argumentasi penggugat ini jelas salah dan tidak dapat diterima. Pertama, klaim bahwa ziarah kubur menurut orang Muhammadiyah dan Wahabi adalah bid’ah menimbulkan syirik, sementara syirik adalah dosa yang tidak diampuni oleh Allah Swt merupakan kesimpulan gegabah.

    Ziarah kubur merupakan perbuatan yang memiliki landasan dalil syar’i. Meskipun Hadits yang dijadikan dalil bersifat zhanniy, tetapi dari segi penunjukkannya jelas. Rasulullah saw bersabda:

    نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا

    Sebelumnya aku pernah melarang kalian berziarah kubu, maka (sekarang) berziarahlah (HR Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi, dan al-Nasa’i dari Abu Buraidah, Ibnu Majah dari Ibnu Mas’ud, dan Ahmad dari Abu Said al-Khudri).

    Muhammadiyyah dan Wahabi juga tidak menganggap ziarah kubur sebagai bid’ah, apalagi menimbulkan kesyirikan. Dalam buku Mengenal dan Menjadi Muhammadiyah oleh AR Fakhruddin disebutkan: Ziarah tidaklah hanya pada waktu-waktu tertentu. Setiap waktu boleh, pagi, siang, sore, semuanya boleh. Tidak harus hari Kamis sore, tidak harus Jum’at sore, tidak harus bulan Ruwah, Bulan Syawal, 17 Agustus, 20 Mei, 5 Oktober, 10 November dan sebagainya. Setiap waktu boleh.[8]

    Dalam buku itu pun disebutkan adab-adab berziarah kubur. Hanya saja, ada catatan penting yang diajukan: Berziarah bukan untuk meminta berkah. Bukan untuk meminta pangestu. Tetapi untuk mengambil percontohan. Banyak orang yang telah meninggal, tetapi tidak banyak diingat-ingat orang. Sedang orang-orang yang berjasa kepada masyarakat selalu diingat-ingat akan jasanya. Ziarah bukan untuk mendewa-dewakan, lebih-lebih untuk memper-Tuhan-kan seseorang adalah bukan pada tempatnya.[9]

    Demikian juga dengan Wahabi. Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dalam fatwanya juga mengatakan bahwa ziarah kubur, baik kuburan para wali maupun kaum Muslim secara umum dalam rangka untuk mengingat kematian, mendoakan mereka, dan memintakan ampun adalah perbuatan yang disyariahkan.[10] Tokoh salafi lainnya, Muhammad bin Shalih al-Utsaimin juga menyatakan: Apabila seseorang berziarah kubur dengan tujuan untuk  belajar, dzikir, dan mendoakan mereka sebagaimana doa yang diucapkan Rasulullah saw ketika berziarah, maka ini merupakan ziarah syari’yyah yang diperintahkan untuk dilakukan, baik laki-laki maupun perempuan, siang maupun malam.[11]

    Memang dalam beberapa rincian tentang masalah ini ada perbedaan-perbedaan. Tetapi, kalau dikatakan bahwa Wahabi dan Muhammadiyah menganggap ziarah kubur sebagai bid’ah yang menimbulkan syirik jelas merupakan pembelokan fakta, bahkan biasa dianggap sebagai provokasi yang dapat menyulut konflik antar kelompok.

    Kedua, bahwa undang-undang itu berpotensi menimbulkan kriminalisasi terhadap perbedaan penafsiran orang NU dan Muhammadiyyah merupakan ilusi dari penggugat. Sepanjang pemberlakuan Undang-undang  nomor 1/PNPS/1965 tidak pernah terdengar terjadinya kriminalissi itu. Tidak ada orang NU yang dikriminalisasi karena telah melakukan tahlilan dan ziarah kubur, sebaliknya orang Muhammadiyyah yang tidak melakukan seperti yang dilakukan orang NU tidak ada yang dikriminalisasi. Sebab, para ulama mengetahui bahwa tahlilan dan ziarah kubur merupakan perkara dalam ranah ikhtilâf.

    Bertolak dari dua alasan ini, maka argumentasi penggugat di atas tidak sesuai dengan fakta dan harus ditolak.

  13. Dalam materi gugatannya penggugat mengatakan (38b, hal.21): Islam pasti adalah penyimpangan nyata dari agama Kristen yang menganggap Yesus sebagai Tuhan, sementara Islam hanya menganggap Yesus sebagai Nabi. Jika dirujuk ke dalam sejarah, maka semua agama sebetulnya muncul sebagai bentuk penyimpangan terhadap doktrin-doktrin agama tradisional sebelumnya.
  14. Ini jelas merupakan kesimpulan yang gegabah dan mengada-ada. Bahwa akidah Islam bertentangan dengan agama Nasrani atau Yahudi adalah fakta yang tidak bisa disangkal. Akan tetapi adanya kontradiksi itu tidak bisa disebut bahwa Islam merupakan sempalan dari agama Nasrani dan Yahudi. Sebab, sesuatu bisa disebut sebagai sempalan dari yang lain jika keduanya berasal dari pangkal (agama) yang sama. Dan ini tidak terjadi pada Islam.

    Sejak awal, Islam dideklarasi sebagai agama sendiri yang berbeda dengan agama-agama lainnya. Dalam kehidupannya, Rasulullah saw sama sekali tidak pernah menjadi pemeluk dua agama tersebut. Beliau juga tidak pernah menjadikan kitab kedua agama itu untuk menjustifikasi ajarannya, ataupun beliau menafsirkannya secara menyimpang. Bahkan, mereka sedang menunggu Nabi baru tersebut (Muhammad) sebagaimana tertera dalam kitab mereka. Jika demikian, dari mana bisa dikatakan Islam merupakan penyimpangan nyata dari agama Kristen seperti yang dikemukakan penggugat?  Bukankah ungkapan tersebut justru hanya akan menimbulkan perpecahan dan permusuhan antarumat beragama?

    Ini tentu berbeda halnya dengan Mirza Ghulam Ahmad. Dia mengaku beragama Islam, namun ajaran yang disampaikannya nyata-nyata bertentangan dengan Islam. Dalam Islam, Nabi Muhammad saw adalah Nabi dan Rasul terakhir. Tidak ada Nabi dan Rasul sesudah beliau. Maka, siapa pun dan kelompok mana pun yang mengakui ada nabi lagi, seperti yang dilakukan oleh Mirza Ghulan Ahmad, telah menyimpang dan keluar dari Islam. Begitu juga dengan Lia Eden, Ahmad Mosadeq, dkk seperti yang dipersoalkan penggugat, memang nyata-nyata bisa dianggap telah melakukan penyimpangan dari Islam.

    Keberadaan sekte semacam ini bisa disebut sebagai penyimpangan. Keberadaannya juga amat membahayakan umat Islam. Karena pengikut Ahmadiyyah masih mengaku sebagai Muslim, sebagian ayat al-Quran dan Hadits Nabi saw juga masih digunakan untuk menjustifikasi keyakinan mereka dan panduan sebagian ibadah mereka. Simbol-simbol Islam juga masih mereka gunakan. Namun, sudah banyak diotak-atik di sana sini. Realitas ini jelas akan mengecoh sebagian umat Islam yang awam sehingga menganggapnya masih sebagai bagian dari Islam.

    Bertolak dari kenyataan itu, maka argumentasi penggugat jelas salah dan harus ditolak.

  15. Dalam materi gugatannya penggugat mengatakan (143, hal. 51): Contoh: Pada Tahun 763 Masehi Imam Abu Hanifah, pendiri Mazhab Hanafi, serta seluruh pengikutnya telah dituduh kafir dan murtad. Beliau ditangkap dan dipenjara, disiksa dan diracun hingga meninggal dunia di penjara. Meskipun demikian, ajaran dan pengikut Mazhab Hanafi, sampai saat ini tetap hidup dan malah semakin berkembang.”

    Sejarah yang diajukan contoh oleh penggugat bertentangan dengan sejarah yang benar. Tidak ada satu pun buku sejarah yang menceritakan bahwa Abu Hanifah serta seluruh pengikutnya dituduh kafir dan murtad. Memang benar beliau pernah dipenjara oleh khalifah saat itu, akan tetapi bukan lantaran dia dituduh kafir. Abu Hanifah dipenjara karena menolak tawaran khalifah Abu Ja’far al-Manshur sebagai qadhi.

    Bisa diduga, pembelokan fakta itu hanya digunakan untuk membenarkan gugatannya. Karena itu, argumentasi itu harus ditolak.

    Secara umum, penggunaan alasan sebagian dalil dalam Islam, realitas umat Islam dan sejarahnya adalah tidak relevan, tidak sesuai dengan fakta, digunakan tidak pada konteksnya, dan mengandung unsur provokasi. Karena itu, semua argumentasi penggugat harus ditolak.

  16. Secara umum, Tuntutan penggugat adalah UU no. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat dengan segala akibat hukumnya. Dengan kata lain, mereka menghendaki UU tersebut tidak berlaku.

    Artinya, mereka menginginkan bebas melakukan penafsiran seenak perutnya terhadap ajaran agama (khususnya Islam) dan penyimpangan terhadap ajaran pokok agama (pasal 1), penyimpangan tersebut tidak dianggap melanggar hukum (pasal 2 dan 3). Selain itu, mereka ingin bebas melakukan permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap agama, juga bebas melakukan hal tersebut supaya orang tidak menganut agama apapun juga (Pasal 4).

    Intinya, penggugat menginginkan bebasnya bermunculan aliran sesat dan penistaan/penodaan terhadap ajaran agama (Islam). Hal ini menunjukkan bahwa mereka mendewakan HAM dan demokrasi. Mereka telah menjadikan HAM dan demokrasi sebagai agama baru. Semakin banyak aliran sesat muncul maka akan semakin kokoh agama HAM dan demokrasi tersebut. Ini jelas sikap permusuhan terhadap agama-agama. Karenanya, tidak mengherankan bila penggugat secara halus menggiring kepada atheisme.

    Dalam butir 45 dasar mereka menggugat disebutkan: “Bahwa kebebasan ‘memeluk’ suatu agama atau keyakinan meliputi pula kebebasan memilih agama atau keyakinan, termasuk hak untuk berganti agama atau keyakinan dengan agama lainnya atau memeluk pandangan atheistik ….” Karenanya, kalau dulu gerakan ini adalah kelompok sepilis (Sekulerisme, Pluralisme, dan Liberalisme), kini berkembang menjadi kelompok Sepilis A+, yakni sekulerisme, pluralisme, liberalisme, atheisme, plus pengokohan penjajahan.

Berdasarkan hal tersebut maka MK sudah seyogyanya menolak permohonan penggugat. Sebab, bila tidak, dampaknya akan sangat berbahaya:

  • Pertama, aliran sesat akan bermunculan laksana jamur di musim hujan. Mereka akan merasa bebas dengan dalih HAM.
  • Kedua, penghancuran Islam akan terjadi secara terang-terangan dan massif. Sekarang saja kartun penghina Nabi, tuduhan bahwa Islam melecehkan perempuan, al-Quran kitab kekerasan, al-Quran kitab paling porno, harus ada amandemen terhadap al-Quran, cerita kutukan terhadap homoseks kaum Nabi Luth dalam al-Quran adalah cerita bohong, penulisan al-Quran banyak fiktif, dll terjadi di Indonesia. Bila MK mengabulkan tuntutan kelompok Sepilis A+ ini maka akan terjadi penodaan terhadap Islam secara bebas tanpa konsekuensi hukum. Hari ini MK mengabulkannya, besok berbagai penghinaan dan penyerangan terhadap Islam akan bertebaran.
  • Ketiga, bila ini terjadi maka akan terjadi kekisruhan dan konflik di tengah masyarakat. Stabilitas akan terkoyak. Umat Islam akan disibukkan dengan persoalan ini. Sementara, penghancuran akidah dan akhlak terus berlangsung dengan mulus. Yang untung adalah pihak asing penjajah dan antek-anteknya yang memang sejak awal memusuhi Islam dan kaum Muslim serta tidak menginginkan Indonesia aman.

Akhirnya kami mengingatkan para hakim MK, bahwa apa yang Anda putuskan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT satu per satu:

﴾وَلَقَدْ جِئْتُمُونَا فُرَادَى كَمَا خَلَقْنَاكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَتَرَكْتُمْ مَا خَوَّلْنَاكُمْ وَرَاءَ ظُهُورِكُمْ وَمَا نَرَى مَعَكُمْ شُفَعَاءَكُمُ الَّذِينَ زَعَمْتُمْ أَنَّهُمْ فِيكُمْ شُرَكَاءُ لَقَدْ تَقَطَّعَ بَيْنَكُمْ وَضَلَّ عَنْكُمْ مَا كُنْتُمْ تَزْعُمُونَ﴿

“Dan sesungguhnya kamu datang kepada Kami sendiri-sendiri sebagaimana kamu Kami ciptakan pada mulanya, dan kamu tinggalkan di belakangmu (di dunia) apa yang telah Kami kurniakan kepadamu; dan Kami tiada melihat besertamu pemberi syafa`at yang kamu anggap bahwa mereka itu sekutu-sekutu Tuhan di antara kamu. Sungguh telah terputuslah (pertalian) antara kamu dan telah lenyap daripada kamu apa yang dahulu kamu anggap (sebagai sekutu Allah).” (QS al-An’am [6]: 94)

1  Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-Azhîm, vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), 315; Sa’id Hawa, al-Asâs fî Tafsîr, vol. 2 (Kairo: Dar al-Salam, 1999), 707; al-Qasimi, Mahâsin al-Ta’wîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 252

2  al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 8-9

3  Wahbah al-Zuhayli, al-Tafsîr al-Munîr , vol. 3 (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), 150

4  al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkam al-Qur’ân, vol. 2, 9; al-Wahidi al-Naysaburi, al-Wasîth fî Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, vol. 1 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 414

5  Ali Ash-Shabuny, Rawai’ul Bayan Fi Tafsiri Ayat al-Ahkam, Jilid 2: 486-489

6  al-Syafi’i,  Ar-Risalah, terj. Ahmadie Toha (Jakarta, Pustakan Firdaus, 1992), 268

7  Ibid, 1052

[8] AR Fakhruddin, Mengenal dan Menjadi Muhammadiyah (Malang: UMM Press, 2005), 41

[9] Ibid, 41

[10] Abdullah bin Biaz, Hukm Ziyârah al0-Qubûr wa Adhrahah,  lihat:  http://www.binbaz.org.sa/mat/4112

[11] Ibnu Shalih Utsaimin, http://www.ibnothaimeen.com/all/noor/article_743.shtml

Read Full Post »

Older Posts »