Feeds:
Posts
Comments

Archive for the ‘Siyasy’ Category

HTI: c. Ada perintah dari Rasulullah saw untuk mengoreksi (muhasabah) penguasa hingga taraf memerangi penguasa yang melakukan kekufuran yang nyata (kufran bawahan). Nabi saw memerintahkan para shahabat untuk mengoreksi penguasa dengan pedang, jika telah tampak kekufuran yang nyata. Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Ubadah bin Shamit, bahwasanya dia berkata:

دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ

“Nabi SAW mengundang kami, lalu kami mengucapkan baiat kepada beliau dalam segala sesuatu yang diwajibkan kepada kami bahwa kami berbaiat kepada beliau untu selalu mendengarkan dan taat [kepada Allah dan Rasul-Nya], baik dalam kesenangan dan kebencian kami, kesulitan dan kemudahan kami dan beliau juga menandaskan kepada kami untuk tidak mencabut suatu urusan dari ahlinya kecuali jika kalian (kita) melihat kekufuran secara nyata [dan] memiliki bukti yang kuat dari Allah.”[HR. Imam Bukhari]

 

Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا

“Akan datang para penguasa, lalu kalian akan mengetahui kemakrufan dan kemungkarannya, maka siapa saja yang membencinya akan bebas (dari dosa), dan siapa saja yang mengingkarinya dia akan selamat, tapi siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka)”. Para shahabat bertanya, “Tidaklah kita perangi mereka?” Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat” Jawab Rasul.” [HR. Imam Muslim]

Tatkala berkomentar terhadap hadits ini, Imam Nawawi, dalam Syarah Shahih Muslim menyatakan, “Di dalam hadits ini terkandung mukjizat nyata mengenai kejadian yang akan terjadi di masa depan, dan hal ini telah terjadi sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Rasulullah saw….Sedangkan makna dari fragmen, “”Tidaklah kita perangi mereka?” Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat,” jawab Rasul; adalah ketidakbolehan memisahkan diri dari para khalifah, jika mereka sekedar melakukan kedzaliman dan kefasikan, dan selama mereka tidak mengubah satupun sendi-sendi dasar Islam.”

Hadits di atas menunjukkan bahwa dalam kondisi-kondisi tertentu seorang Muslim wajib mengoreksi penguasa dengan terang-terangan bahkan dengan pedang, jika para penguasanya melakukan kekufuran yang nyata. Hadits-hadits di atas juga menjelaskan bahwa seorang Muslim wajib memisahkan diri dari penguasa-penguasa yang melakukan kekufuran yang nyata. Selain itu, riwayat di atas juga menunjukkan bahwa menasehati penguasa boleh dilakukan dengan pedang, jika penguasa tersebut telah menampakkan kekufuran yang nyata. Lalu, bagaimana bisa dinyatakan bahwa menasehati penguasa harus dilakukan dengan sembunyi-sembunyi (empat mata) dan tidak boleh dilakukan dengan terang-terangan?

Tanggapan Salafy: Hadits itu berbicara mengenai mengganti hakim yang telah kafir dan keluar dari islam dan tidak berbicara tentang cara menasehati penguasa, dan yang kita fahami dari perkataan An Nawawi yang antum bawakan bahwa hakim yang melakukan kezaliman dan kefasiqan maka kita dilarang membangkang dari penguasa seperti itu, tidak pula menasehatinya secara terang-terangan.. dan berhukum dengan hukum selain Allah bukanlah perkara yang membuat pelakunya keluar dari millah islam secara mutlak sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama. Oleh karena itu tidak ada satupun ulama yang memahami dari hadits di atas bolehnya menasehati penguasa secara terangan-terangan, dan yang antum katakan itu berasal dari kantong antum sendiri..

Tanggapan Balik HTI: Kesimpulan antum itu dikarenakan antum tidak melihat keseluruhan 2 hadits yang ana ketengahkan. Pada hadits kedua yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan kata “wa man ankara salima..” Mengingkari penguasa yang tersebut dalam hadits di atas bisa saja dilakukan dengan hati, perbuatan, dan perkataan. Hadits di atas berlaku untuk para penguasa yang masih menegakkan system Islam, dan menjalankan syariat Islam sebagai aturan yang

Ana juga setuju bahwa kita tidak boleh menghukumi kafir orang yang menyimpang dari syariat, atau menerapkan hukum kufur. Semua harus dikembalikan kepada i’tiqadnya atas perbuatan menyimpang itu. Jika ia menerapkan hukum kufur itu atas pengetahuannya dan disertai dengan keyakinan, maka ia telah kafir. Sebaliknya, jika tidak disertai i’tiqad maka dia tidak boleh dihukumi kafir. Ya akh, tolong antum jawab, apa hukum penguasa yang berkata dengan terang-terangan bahwa mereka menyakini kebenaran demokrasi, sekulerisme, dan nasionalisme, bahkan bersumpah untuk membela dan mempertahankan system taghut, bekerjasama dengan orang-orang kafir bahkan rela membunuhi saudara-saudara Mukminnya?

HTI: d. Realitas muhasabah yang dilakukan oleh para shahabat ra terhadap para penguasa. Apabila kita meneliti secara jernih dan mendalam realitas muhasabah hukam yang dilakukan oleh shahabat ra, dapatlah disimpulkan bahwa mereka melakukan muhasabah dengan berbagai macam cara, tidak dengan satu cara saja.

Tanggapan Salafy: Sekali lagi, jangan terlalu gegabah mengambil kesimpulan hanya karena kisah yang antum bawakan itu kebetulan sesuai dengan hawa nafsu, kewajiban kita adalah melihat keadaan suatu kisah dan menimbangnya dengan dalil, agar kita dapat memahaminya dengan benar..

Tanggapan Balik HTI: Berdasarkan hawa nafsu? Lalu apakah antum tidak melihat bagaimana tatacara shahabat mengoreksi penguasa saat itu, dan juga yang dilakukan oleh para ulama salafush shalih?

HTI: Riwayat-riwayat berikut ini menjelaskan kepada kita bagaimana cara-cara muhasabah yang mereka lakukan.

• Di dalam Kitab Al Bidayah wa An Nihayah, juz 8, hal. 217, disebutkan bahwasanya Imam Al Huda al-Husain bin ‘Ali ra, pemimpin pemuda ahlul jannah, memisahkan diri (khuruj) dari penguasa fajir Khalifah Yazid bin Mu’awiyyah. Imam Husain ra dibai’at oleh penduduk Kufah pada tahun 61 H. Beliau ra juga mengutus anak pamannya, Muslim bin ‘Aqil ra untuk mengambil bai’at penduduk Kufah untuk dirinya. Dan tidak kurang 18 ribu orang membai’at dirinya. Dan di dalam sejarah, tak seorang pun menyatakan bahwa Imam Husain ra dan penduduk Kufah pada saat itu termasuk firqah (kelompok) yang sesat )”.[Al Bidayah wa An Nihayah, juz 8/217] Inilah cara yang dilakukan oleh Imam Husain bin ‘Ali ra untuk mengoreksi (muhasabah) kepemimpinan Yazid bin Mu’awiyyah.

Tanggapan Salafy: Aneh, mengapa antum tidak membawakan juga pengingkaran para shahabat terhadap perbuatan Husain tsb, padahal ibnu Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah menyebutkan shahabat-shahabat yang mengingkari Husain, yaitu Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu Sa’id Al Khudri, Jabir bin Abdillah, Abu Waqid Al laitsi (Al Bidayah wan Nihayah 8/163 cet Maktanah Al Ma’arif) juga pengingkaran kibar tabi’in terhadap Husain seperti Sa’id bin Musayyib dan Abu Salamah bin Abdurrahman.. dan bukankah dalam kisah yang dikisahkan oleh ibnu Katsir menyebutkan bahwa Husain sebenarnya tertipu oleh Ahli Kufah yang meminta agar Husain datang kepada mereka..

Adapun perkataan antum bahwa tidak ada seorangpun menyatakan bahwa Al Husain termasuk firqah sesat, itu karena beliau melakukan perbuatan tersebut bukan karena mengikuti hawa nafsu namun karena ijtihad beliau yang salah, berbeda dengan kalian yang berusaha mencari-cari dalil yang sesuai dengan hawa nafsu.. yang seharusnya kewajiban kalian adalah mengikuti para ulama sunnah dalam masalah-masalah besar seperti ini..

Tanggapan Balik HTI: Tanggapan antum itu jelas menunjukkan bahwa antum tidak konsisten dalam berdalil. Di satu sisi antum mencela mengoreksi penguasa dengan terang2an, tapi, pada saat ana ketengahkan hujjah jaliyyah bagaimana shahabat besar mengoreksi khalifahnya dengan terang-terangan, namun antum malah membela perbuatan mereka dengan alasan ijtihadnya boleh salah ? Namun giliran ikhwan-ikhwan Hizbut Tahrir yang mengoreksi penguasa secara terang-terangan sama persis seperti yang dilakukan oleh shahabat-shahabat besar itu, antum bilangnya berdasarkan hawa nafsu! Padahal, apa yang dilakukan ikhwan-ikhwan Hizbut Tahrir adalah mencontoh perbuatan shahabat dan juga berdasarkan hujjah qawwiyah, bukan berdasarkan hawa nafsu seperti yang antum tuduhkan. Semoga Allah menunjukki antum dan membersihkan hati antum dari sifat-sifat keji seperti itu. . Pengingkaran Ibnu ‘Abbas, dan lain-lain terhadap Husein bin Ali bukan karena apa yang dilakukan oleh Husein bin Ali itu berhukum haram –seperti pandangan antum yang mengharamkan muhasabah lil hukkam dengan terang2an)— namun dikarenakan Ibnu Abbas khawatir akan pengkhianatan penduduk Kufah. Seandainya mengoreksi penguasa dengan terang-terangan haram, niscaya Husein bin Ali rahmatullahi wa baarakatuhu ‘alaih tidak akan keluar menuju Kufah. Jelas sudah, bahwa mengoreksi penguasa itu hukum asalnya disampaikan dengan terang-terangan!

HTI: • Sebelum Imam Husain bin ‘Ali ra, kaum Muslim juga menyaksikan Ummul Mukminin ‘Aisyah ra yang memimpin kaum Muslim untuk khuruj dari Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. Inilah cara Ummul Mukminin ‘Aisyah ra mengoreksi Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. Hingga akhirnya, meletuslah peperangan yang sangat besar dan terkenal dalam sejarah umat Islam, Perang Jamal.

Tanggapan Salafy: Ini juga kesalahan pemahaman antum, karena kepergian Aisyah sebagaimana yang diceritakan oleh Ibnu Katsir adalah untuk meminta agar para pembunuh Utsman di qishash, dan kepergian Aisyah ini telah diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kesalahan perbuatannya, ibnu Katsir menuturkan: “mereka (pasukan Aisyah) melewati sebuah perkampungan yang bernama Hau-ab, lalu anjing-anjing di situ menggonggonginya, maka ketika Aisyah mendengar suara anjing itu, beliau bertanya: “Apa nama tempat ini? Mereka berkata: “Hau-ab”. Lalu Aisyah memukulkan salah satu tangannya kepada yang lainnya dan berkata: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raji’un, aku harus kembali”. Mereka berkata: “Mengapa?” Aisyah berkata: “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada istri-istrinya:

أَيَّتُكُنَّ تَنْبَحُ عَلَيْهَا كِلَابُ الْحَوْأَبِ

“Siapakah di antara kalian yang digonggongi oleh anjing-anjing Hau-ab”. (HR Ahmad).Kemudian Aisyah memukul lengan untanya agar duduk, beliau berkata: “Kembalikan aku! Kembalikan aku! Demi Allah ternyata aku yang digonggongi ajing-anjing Hau-ab.. (Al Bidayah wan Nihayah 7/231-232 cet. Maktabah Al Ma’arif).

Tanggapan Balik HTI: Wahai akhi, itulah yang disebut dengan muhasabah lil hukkam! Jelas bahwa ‘Aisyah ra melakukan muhasabah dengan terang-terangan! Meminta agar penguasa menerapkan hukuman qishash atas pembunuh Utsman jelas-jelas merupakan tindakan mengoreksi penguasa. Pasalnya, ‘Ali bin Abi Thalib ra menunda pelaksanaannya. Selain itu, jika perbuatan ‘Aisyah ra tersebut bukan ditujukan untuk mengoreksi penguasa, niscaya ia tidak akan disertai oleh pasukan perang, hingga akhirnya meletus perang Jamal.

HTI: • Ketika Umar bin Khaththab ra berkhuthbah di hadapan kaum Muslim, setelah beliau diangkat menjadi Amirul Mukminin, beliau berkata, “Barangsiapa di antara kalian melihatku bengkok, maka hendaklah dia meluruskannya”. Seorang laki-laki Arab berdiri dan berkata, “Demi Allah wahai Umar, jika kami melihatmu bengkok, maka kami akan meluruskannya dengan tajamnya pedang kami”.

Tanggapan Salafy: sayangnya anda tidak membawakan sanad kisah tersebut, dan menelitinya apakah kisah tersebut shahih atau tidak. Kisah seperti ini kalaupun shahih, tidak bisa dijadikan hujjah, karena perbuatan laki-laki arab itu bertentangan dengan petunjuk Nabi dalam menasehati pemimpin, namun boleh jadi antum berkata: “Tetapi Umar tidak mengingkarinya”. Kita jawab: “Diamnya Umar boleh jadi karena si arab itu lelaki yang bodoh, sedangkan Allah menyuruh kita untuk berpaling dari orang yang bodoh, dan tidak membalasnya dengan kebodohan. Sebagaimana di sebutkan dalam kisah bahwa ‘Uyainah pernah berkata kepada Umar: “Wahai ibnul Khathab! Kamu tidak mau memberi kami banyak dan tidak pula menghukumi dengan adil, maka Umar marah namun diingatkan oleh Al Hurr dengan ayat yang menyuruh untuk berpaling dari orang-orang yang bodoh..(HR Bukhari).Maka hikayat perbuatan seperti ini disebut dalam ushul fiqih sebagai waqa’iul a’yaan yang tidak bermakna umum.

Tanggapan Bali HTI:

Antum bilang hal ini waqi’ul hayaan dan bertentangan dengan petunjuk Nabi dalam menasehati penguasa? Antum berkesimpulan seperti itu disebabkan karena antum punya pandangan bahwa muhasabah lil hukkam itu harus rahasia karena ada hadits yang menunjukkan. Padahal hadits itu lemah. Seandainya antum tidak berpandangan seperti itu, niscaya antum tidak akan mengetengahkan kesimpulan premature tersebut. Yang benar, hukum asal muhasabah lil hukkam itu dilakukan dengan terang-terangan, dan boleh dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Ketentuan seperti ini didasarkan pada dalil-dalil umum yang berbicara tentang menasehati penguasa. Adapun riwayat Imam Bukhari yang antum ketengahkan itu sama sekali tidak berhubungan dengan haramnya mengoreksi penguasa dengan terang-terangan. Sebab, bolehnya melakukan muhasabah lil hukkam baik dengan terang-terangan maupun sembunyi ditetapkan berdasarkan nash-nash umum. Contohnya adalah; perhatikan hadits dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Nabi bersabda, “Sesungguhnya Allah meridloi kalian tiga hal, dan membenci kepada kalian tiga hal. Allah swt meridloi kalian beribadah kepadaNya semata dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun; kalian berpegang teguh dengan tali Allah secara bersama-sama; dan kalian menasehati orang yang mengatur urusan kalian (penguasa). Dan Allah membenci untuk kalian, qiila wa qaala, terlalu banyak bertanya, dan menyia-nyiakan harta”.[HR. Imam Bukhari dalam Adab al-Mufrad, dan Imam Muslim], dan masih banyak lagi.

Ana perlu terangkan lagi, bahwa perkataan dan perbuatan shahabat bukanlah dalil syariat. Yang wajib dijadikan dalil syariat adalah al-Quran, Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qiyas. Kisah itu menunjukkan para shahabat memahami bahwa mengoreksi penguasa itu boleh dilakukan secara terang-terangan atau rahasia, berdasarkan nash-nash umum, bukan karena yang lain. Dan kita diperkenankan taqlid kepada mereka dalam masalah hukum syariat yang mereka istinbathkan dari dalil umum. Apa yang dilakukan oleh Umar bin Khaththab ra tentu saja berdasarkan dalil, bukan karena hawa nafsu.

HTI: • Pada saat Umar bin Khaththab ra mengenakan baju dari kain Yaman yang di dapat dari harta ghanimah. Beliau ra kemudian berkhuthbah di hadapan para shahabat dengan baju itu, dan berkata, “Wahai manusia dengarlah dan taatilah…” Salman Al Farisi ra, seorang shahabat mulia berdiri seraya berkata kepadanya, “Kami tidak akan mendengar dan mentaatimu”. Umar berkata, “Mengapa demikian?” Salman menjawab, “Dari mana kamu mendapat pakaian itu, sedangkan kamu hanya mendapat satu kain, sedangkan kamu bertubuh tinggi? Beliau menjawab, “Jangan gesa-gesa, lalu beliau memanggil, “Wahai ‘Abdullah”. Namun tidak seorang pun menjawab. Lalu beliau ra berkata lagi, “Wahai ‘Abdullah bin Umar..”. ‘Abdullah menjawab, “Saya wahai Amirul Mukminin”. Beliau berkata, “Bersumpahlah demi Allah, apakah kain yang aku pakai ini kainmu? Abdullah bin Umar menjawab, “Demi Allah, ya”. Salman berkata, “Sekarang perintahlah kami, maka kami akan mendengar dan taat”. [‘Abdul ‘Aziz Al Badriy, Al-Islam bain al-‘Ulama’ wa al-Hukkam Ihitam Putih Wajah Ulama dan Penguasa.terj), hal. 70-71]

Tanggapan Salafy: Anda pun tidak membawakan sanadnya untuk dapat diperiksa apakah shahih atau tidak, memang demikian keadaan pengikut hawa nafsu, ketika ia mendapatkan kabar yang sesuai dengan hawa nafsunya, segera diambilnya tanpa melihat apakah kisah itu shahih atau tidak..

Kalaupun kisah itu shahih, tidak dapat dijadikan hujjah, karena perbuatan shahabat itu bila bertentangan dengan dalil, tidak dapat diterima. Terlebih Di sini Salman hanya ingin tatsabbut saja mengenai dua pakaian yang diambil oleh Umar, dan Umar seorang pemimpin yang adil membiarkan Salman berbuat demikian karena ketawadlu’an beliau, dan bukan berarti perbuatan menasehati penguasa secara terang-terangan diperbolehkan, karena kisah ini hanyalah hikayat perbuatan, dan sebagaimana telah disebutkan dalam ushul fiqih bahwa sebatas hikayat perbuatan mengandung banyak kemungkinan, sehingga tidak dapat dijadikan hujjah, lebih-lebih bila bertentangan dengan dalil.

Tanggapan Balik HTI:

Perbuatan shahabat di atas, baik Salman maupun Umar tentu saja tidak bertentangan dengan dalil. Pasalnya ada dalil umum yang menunjukkan bolehnya mengoreksi penguasa baik dengan terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Memang benar, apa yang dilakukan oleh Salman dan Umar bukanlah dalil syariat. Tetapi, perbuatan yang mereka lakukan tentu saja berdasarkan dalil yang mereka pahami, baik dari al-Quran maupun sunnah. Bisa jadi keduanya menyandarkan perbuatannya itu berdasarkan nash-nash umum yang berbicara tentang menasehati penguasa, misalnya hadits yang diriwayatkan dari Abu ‘Abdillah Thariq bin Syihab al-Bailiy al-Ahmasy ra, bahwasanya ada seorang laki2 bertanya kepada Nabi saw, “Jihad apa yang paling utama? Nabi menjawab, “Kalimat haq yang disampaikan di hadapan penguasa jahat”. [Imam An Nasaaiy, isnadnya shahih. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Baihaqiy]. Imam Ahmad meriwayatkan dari Jabir ra, “…..Nabi bersabda, “Berbai’atlah kalian kepadaku untuk selalu mendengar dan taat baik dalam keadaan lapang maupun malas, berinfaq dalam keadaan susah maupun mudah, dan agar melakukan amar makruf nahi ‘anil mungkar, dan kalian kalian selalu berkata karena Allah: Tidak pernah takut celaan manusia [dalam menyampaikan kebenaran]“. [Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim]

Bagi orang yang tidak memiliki kemampuan ijtihad, maka ia boleh taqlid kepada ulama yang faqih, seperti Umar dan Salman al-Farisi.

HTI: • Amirul Mukminin Mu’awiyyah berdiri di atas mimbar setelah memotong jatah harta beberapa kaum Muslim, lalu ia berkata, “Dengarlah dan taatilah..”. Lalu, berdirilah Abu Muslim Al Khulani mengkritik tindakannya yang salah, “Kami tidak akan mendengar dan taat wahai Mu’awiyyah!”. Mu’awiyyah berkata, “Mengapa wahai Abu Muslim?”. Abu Muslim menjawab, “Wahai Mu’awiyyah, mengapa engkau memotong jatah itu, padahal jatah itu bukan hasil jerih payahmu dan bukan pula jerih payah ibu bapakmu? Mu’awiyyah marah dan turun dari mimbar seraya berkata kepada hadirin, “Tetaplah kalian di tempat”. Lalu, dia menghilang sebentar dari pandangan mereka, lalu keluar dan dia sudah mandi. Mu’awiyyah berkata, “Sesungguhnya Abu Muslim telah berkata kepadaku dengan perkataan yang membuatku marah. Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, “Kemarahan itu termasuk perbuatan setan, dan setan diciptakan dari api yang bisa dipadamkan dengan air. Maka jika salah seorang di antara kalian marah, hendaklah ia mandi”. Sebenarnya saya masuk untuk mandi. Abu Muslim berkata benar bahwa harta itu bukan hasil jerih payahku dan bukan pula jerih payah ayahku, maka ambillah jatah kalian”.[Hadits ini dituturkan oleh Abu Na’im dalam Kitab Al-Khiyah, dan diceritakan kembali oleh Imam Al Ghazali dalam Kitab Al Ihya’, juz 7, hal. 70]

Tanggapan Salafy: Kisah itu dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah (2/130) dari jalan Abdul Majid bin Abdul ‘Aziz dari Yasin bin Abdillah bin Urwah dari Abu Muslim Al Kahulani. Dan sanad ini lemah karena Yasin bin Abdullah ini tidak diketahui siapa ia, sedangkan Abdul Majid padanya terdapat kelemahan, Ibnu Hajar berkata: “Shaduq yukhti”. Dan ibnu Hibban berkata: “Mungkar hadits jiddan, suka membalikan kabar dan meriwayat hadits-hadits yang mungkar dari paerawi-perawi masyhur sehingga berhak untuk ditinggalkan”. (Al Majruhin 2/152). Karena kisah ini lemah maka tidak bias dijadikan hujjah.

HTI: • Seorang ulama besar, Syaikh Mundzir bin Sa’id mengkritik sangat keras Khalifah Abdurrahman An Nashir Lidinillah ra yang telah menguras harta pemerintahan untuk mempermegah dan memperindah kota Az Zahra. Ulama besar ini mengkritik sang Khalifah dalam khuthbah Jum’atnya secara terang-terangan di depan Khalifah An Nashir dan dihadiri orang penduduk kota Az Zahra. [Abdul Hamid Al Ubbadi, Min Akhlaq al-‘Ulamaa’, Majalah Al Azhar, Ramadhan, 1371 H]

• Dalam Kitab Qalaaid Al Jawaahir disebutkan bahwasanya Syaikh Abdul Qadir Al Kailaniy berdiri di atas mimbar untuk mengkritik dan memberikan nasehat kepada Gubernur Yahya bin Sa’id yang terkenal dengan julukan Abnu Mazaahim Adz Dzaalim Al Qadla. Syaikh Abdul Qadir Al Kailaniy berkata, “Semoga orang Islam tidak dipimpin oleh oirang yang paling dzalim; maka apa jawabanmu kelak ketika menghadap Tuhan semesta alam yang paling pengasih? Gubernur itu gemetar dan langsung meninggalkan apa yang dinasehatkan kepadanya”. [Qalaaid Al Jawaahir, hal. 8]

• Sulthan al-’Ulama, Al ‘iz bin Abdus Salam telah mengkritik Raja Ismail yang telah bersekongkol dengan orang-orang Eropa Kristen untuk memerangi Najamuddin bin Ayyub. Ulama besar ini tidak hanya membuat fatwa, tetapi juga mengkritik tindakan Raja Ismail di depan mimbar Jum’at di hadapan penduduk Damaskus. Saat itu Raja Ismail tidak ada di Damaskus. Akibat fatwa dan khuthbahnya yang tegas dan lurus, Al ‘Iuz ‘Abdus Salam dipecat dari jabatannya dan dipenjara di rumahnya. [As Subki, Thabaqat, dan lain-lain]

Tanggapan Salafy: Kisah-kisah ini kalaupun benar tidak bisa dijadikan hujah, karena perbuatan ulama bukan dalil, lebih-lebih bila bertentangan dengan dalil. Dalil itu adalah Al Qur’an dan sunnah, terlebih kisah itu masih diragukan, karena kisah tersebut tidak disebutkan dalam kitab-kitab mu’tabar.

HTI: Kisah-kisah di atas menunjukkan bagaimana cara para ulama shalih dan mukhlish menasehati penguasa-penguasanya. Kisah-kisah semacam ini sangat banyak disebut di dalam kitab-kitab tarikh. Mereka tidak segan-segan untuk menasehati para penguasa menyimpang dan dzalim secara terang-terangan, mengkritik kebijakannya di mimbar-mimbar terbuka, maupun fatwa-fatwanya.

Tanggapan Salafy: Kisah-kisah seperti itu tidak banyak dilakukan oleh ulama, terlebih ulama salaf terdahulu, justru kebalikannya itulah yang banyak, bila kita baca sejarah para ulama, akan kita dapati mereka adalah orang yang paling melarang membangkang kepada penguasa, seperti kisah yang terjadi pada zaman imam Ahmad bin hanbal rahimahullah, Hanbal mengisahkan bahwa para Fuqoha Baghdad di Zaman kepemimpinan Al Watsiq berkumpul kepada Abu ‘Abdillah (imam Ahmad), mereka berkata,” Sesungguhnya fitnah ini telah menjadi besar dan tersebar (yaitu pemikiran bahwa Al Qur’an itu makhluk dan kesesatan lainnya) dan kami tidak rela dengan kepemimpinan Al Watsiq dan kekuasaannya “.

Imam Ahmad berdialog dengan mereka dalam perkara ini, beliau berkata,” Hendaklah kalian mengingkari dengan hati kalian dan jangan melepaskan diri dari keta’atan, jangan memecah belah kaum muslimin, dan jangan menumpahkan darah kaum muslimin bersama kalian. Lihatlah akibat buruk perbuatan kalian, dan bersabarlah sampai beristirahat orang yang baik dan diistirahatkan dari orang yang jahat “. Beliau berkata lagi,” Perbuatan ini (pemberontakan) tidak benar dan menyelisihi atsar (sunnah) “.[1]

Para fuqaha yang banyak itu sepakat dengan imam Ahmad setelah ditegakkan hujjah oleh imam Ahmad, padahal imam Ahmad disiksa oleh penguasa di zamannya. Coba bandingkan dengan perbuatan firqah HTI, apakah perbuatan mereka seperti yang dilakukan oleh imam Ahmad dan para fuqaha??!

Tanggapan Balik HTI:

Semoga Allah menunjuki antum. Wahai akhiy, perkataan Imam Ahmad di atas sama sekali tidak menunjukkan bahwa beliau mengharamkan menasehati penguasa dengan terang-terangan, atau mengharamkan khuruj diri dari penguasa dalam keadaan tertentu. Sebab, perkataan dengan menggunakan shighat nahyi belum tentu bermakna keharaman. Imam Ahmad juga meriwayatkan hadits-hadits yang berbicara tentang menasehati penguasa secara umum [kalimat ‘adl ‘inda sulthan jaair), dan beliau juga mengetahui hadits-hadits yang menuturkan wajibnya memisahkan diri dari penguasa-penguasa yang telah terjatuh kepada kekufuran yang nyata (kufran bawahan). Beliau juga memahami kisah-kisah khurujnya para shahabat dan bagaimana tata cara mereka menasehati penguasa. Jadi, kesimpulan yang menyatakan bahwa Imam Ahmad sepaham dengan antum adalah keinginan antum untuk membenarkan pendapat ringkih antum!

Hizbut Tahrir pun menyakini dan membenarkan bahwa memisahkan diri dari Khalifah tanpa alasan yang haq, memecah belah persatuan kaum Muslim, dan membunuh kaum Muslim tanpa alasan yang jelas adalah haram dan harus dijauhi, sebagaimana maqalah Imam Ahmad rahimahullah. Kami juga berpandangan bahwa mentaati Khalifah yang fasiq dan dzalim adalah kewajiban. Bahkan seorang Muslim dilarang memisahkan diri dari Khalifah yang sah, meski dzalim dan fasiq. Namun, jika Khalifah telah menampakkan kekufuran yang nyata maka tidak ada ketaatan kepadanya, bahkan jika memungkinkan harus dikoreksi dengan pedang. Inilah pandangan lurus yang dipegang oleh ikhwan-ikhwan Hizbut Tahrir (rahmatullahi ‘alaihim wa baarakatuhu), sebagaimana pandangan Imam Ahmad.

Sedangkan nasehat Imam Ahmad — yang antum catut untuk membenarkan pandangan antum yang keliru itu–, sebenarnya ditujukan agar kaum Muslim pada saat itu tidak tertimpa resiko yang besar akibat menasehati penguasa yang dzalim dan fasiq, Perkataan beliau ra sama sekali tidak menunjukkan bahwa beliau melarang menasehati penguasa dengan terang-terangan. Pasalnya, beliau meriwayatkan hadits-hadits umum tentang amar makruf dengan tangan, lisan, dan hati.

Dan perlu ana sampaikan, maqalah Imam Ahmad tersebut ditujukan untuk Khalifah yang masih menerapkan sistem Khilafah dan menerapkan syariat Islam, dan sama sekali tidak ditujukan untuk para penguasa sekarang yang jelas-jelas telah mengubah sendi-sendi Islam dan suka bersekongkol dengan penguasa-penguasa kafir. Waqi’ al-hadiitsahnya (realitas kejadiaannya) berbeda. Jika realitasnya berbeda berarti antum tidak bisa menganalogkannya dengan penguasa sekarang. Wallahu al-musta’an wahuwa waliyu at-taufiq.

HTI: Lalu, bagaimana bisa dinyatakan bahwa menasehati penguasa haruslah dengan empat mata saja, sementara ulama-ulama yang memiliki ilmu dan ketaqwaannya justru memilih melakukannya dengan terang-terangan dan terbuka?

Tanggapan: Para ulama yang antum ikuti itu tidak jelas kebenaran sanadnya, antum hanya sebatas membeo dan tidak meneliti kebenarannya, namun demikianlah sifat pengikut hawa nafsu.. sementara kisah-kisah ulama yang jelas sesuai dengan sunnah dalam menasehati penguasa, antum tutup-tutupi, hanya untuk mengelabui orang awam.

Tanggapan Balik:

Berkali-kali harus ana sampaikan bahwa hukum asal menasehati penguasa adalah dilakukan dengan terang-terangan, berdasarkan keumuman nash-nash Al-Quran dan Sunnah yang berbicara tentang amar makruf nahi ‘anil mungkar. Pendapat ini dipegang oleh para shahabat, dan juga dipahami oleh para ulama mu’tabar, melalui riwayat-riwayat yang mereka tuturkan. Jadi sebuah tuduhan dan kebohongan jka antum menuduh HT mengikuti ulama yang tidak bersanad ilmu! Malah, kami meragukan apa guru-guru antum itu punya sanad ilmu; atau jangan-jangan hanya belajar kitab-kitab doing! Ini terlihat betapa seringnya guru-guru antum memberi fatwa hukum yang justru memperkuat penguasa-penguasa sekarang, dengan cara menukil secara keliru pendapat ulama mu’tabar!

HTI: Kelemahan hadits riwayat Imam Ahmad. Nash-nash qath’iy telah menunjukkan kepada kita bahwa hukum asal nasehat itu harus disampaikan secara terang-terangan, dan tidak boleh sembunyi-sembunyi. Al Quran dan Sunnah telah menyebut masalah ini dengan sangat jelas.

Tanggapan: Qath’iy yang anda kira ternyata lebih lemah dari sarang laba-laba, karena dalil-dalil yang anda bawakan telah kita jelaskan kelemahannya dalam memahaminya..

Tanggapan Balik:

Pendapat antum itulah yang ringkih dan lapuk seperti rumah anai-anai! Dalil-dalil yang menunjukkan bahwa hukum asal mengoreksi penguasa itu secara terang-terangan, berdasarkan nash-nash Quran. Ana tidak menyebutkan semua tapi hanya sebagian kecil saja. Misalnya firman Allah swt

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”.[TQS Ali Imron (3):110]

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.[TQS At Taubah (9):71]

“Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”, Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)”.[TQS An Nahl (16):36]

“Telah dila’nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan Munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir (musyrik). Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka; dan mereka akan kekal dalam siksaan. Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi (Musa) dan kepada apa yang diturunkan kepadanya (Nabi), niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi penolong-penolong, tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik. .[TQS Al Maidah (5):78-81]

Pastilah antum akan mengatakan bahwa ayat-ayat ini hanya berbicara tentang amar makruf nahi ‘anil mungkar dan tidak menerangkan tatacara menasehati penguasa. Ana jawab, wahai akhiy, ayat-ayat di atas adalah ayat umum yang memerintahkan kaum Muslim untuk menyampaikan kebenaran kepada siapa saja tanpa ada batasan, baik penguasa, rakyat, laki-laki maupun wanita. Ayat di atas juga tidak membatasi cara untuk menyampaikan kebenaran itu, baik dengan terang-terangan maupun sembunyi.

Dalam sunnah, ana akan sampaikan beberapa hadits saja –meskipun sebenarnya banyak hadits–,

“Siapa saja melihat kemungkaran hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya, jika tidak mampu dengan lisannya, jika tidak mampu dengan hatinya..”[HR.Imam Muslim, Tirmidziy, Ibnu Majah, dan An Nasaaiy]

“Seutama-utama jihad adalah kalimat haq yang disampaikan di depan penguasa fajir”. [HR. Imam Ahmad, dalam Musnad Imam Ahmad]

“Tidaklah seorang Nabi yang Allah swt utus untuk umat sebelumku, kecuali ia memiliki hawariyyun dan shahabat-shahabat yang mengambil sunnahnya dan mengikuti perintahnya. Setelah itu, mereka diganti oleh orang-orang sesudah mereka mengatakan apa yang tidak mereka lakukan, melakukan apa yang tidak diperintahkan kepada mereka. Siapa saja yang jaahadahum (bersungguh-sungguh mencegah mereka) dengan tangannya, maka ia Mukmin. Siapa yang bersungguh-sungguh mencegahnya dengan lisannya, maka ia Mukmin, dan barangsiapa bersungguh-sungguh mencegahnya dengan hatinya, maka ia Mukmin; dan tidak ada lagi iman seberat biji sawipun di balik itu”. [HR. Imam Muslim] Imam Ahmad juga meriwayatkan hadits ini dengan syahid makna]

“Kami membai’at Rasulullah saw agar selalu mendengar dan mentaati baik dalam keadaan susah maupun ringan, dalam keadaan senang maupun benci, dan agar kami tidak mencabut kekuasaan dari pemiliknya, kecuali jika kamu melihat kekufuran nyata yang ada bukti bagi kamu di sisi Allah; dan agar kami mengatakan kebenaran di mana pun kami berada, tanpa kami takut celaan dalam menyampaikan kebenaran dari Allah”[HR. Imam Bukhari dan Muslim]

Inilah dalil-dalil jaliy yang menunjukkan bahwa hukum asal mengoreksi penguasa itu disampaikan dengan sungguh-sungguh dan terang-terangan, tanpa takut celaan orang-orang yang mencela.

Keumuman hadits-hadits ini tidak bisa ditakhshish oleh riwayat ‘Iyadl bin Ghanm Pasalnya, selain hadits itu dla’if, makna hadits Iyadl bin Ghanm hanya menunjukkan rukhshash dan al-irsyad. Tidak lebih.

Sesudah penjelasan ini, masihkah ada orang yang mengatakan bahwa mengoreksi penguasa itu harus sembunyi-sembunyi?

HTI: Namun, sebagian orang awam menyangka ada riwayat yang mengkhususkan ketentuan ini. Mereka berpendapat bahwa mengoreksi penguasa harus dilakukan dengan empat mata, karena ada dalil yang mengkhususkan. Mereka berdalih dengan hadits yang sumbernya (tsubutnya) masih perlu dikaji secara mendalam. Hadits itu adalah hadits yang riwayatkan oleh Imam Ahmad.

Imam Ahmad menuturkan sebuah hadits dan berkata:

حَدَّثَنَا أَبُو الْمُغِيرَةِ حَدَّثَنَا صَفْوَانُ حَدَّثَنِي شُرَيْحُ بْنُ عُبَيْدٍ الْحَضْرَمِيُّ وَغَيْرُهُ قَالَ جَلَدَ عِيَاضُ بْنُ غَنْمٍ صَاحِبَ دَارِيَا حِينَ فُتِحَتْ فَأَغْلَظَ لَهُ هِشَامُ بْنُ حَكِيمٍ الْقَوْلَ حَتَّىغَضِبَ عِيَاضٌ ثُمَّ مَكَثَ لَيَالِيَ فَأَتَاهُ هِشَامُ بْنُ حَكِيمٍ فَاعْتَذَرَ إِلَيْهِ ثُمَّ قَالَ هِشَامٌ لِعِيَاضٍ أَلَمْ تَسْمَعْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَابًا أَشَدَّهُمْ عَذَابًا فِي الدُّنْيَا لِلنَّاسِ فَقَالَ عِيَاضُ بْنُ غَنْمٍ يَا هِشَامُ بْنَ حَكِيمٍ قَدْ سَمِعْنَا مَا سَمِعْتَ وَرَأَيْنَا مَا رَأَيْتَ أَوَلَمْ تَسْمَعْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ وَإِنَّكَ يَا هِشَامُ لَأَنْتَ الْجَرِيءُ إِذْ تَجْتَرِئُ عَلَى سُلْطَانِ اللَّهِ فَهَلَّا خَشِيتَ أَنْ يَقْتُلَكَ السُّلْطَانُ فَتَكُونَ قَتِيلَ سُلْطَانِ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى

“Telah meriwayatkan kepada kami Abu Al Mughirah, dan dia berkata, “Telah menuturkan kepada kami Shofwan, dan ia berkata, “Telah meriwayatkan kepadaku Syuraih bin ‘Ubaid al Hadlramiy dan lainnya, dia berkata, “‘Iyadl bin Ghanm mendera penduduk Dariya, ketika berhasil dikalahkan. Hisyam bin Hakim pun mengkritik Iyadl bin Ghanm dengan kasar dan keras, hingga ‘Iyadl marah. Ketika malam datang, Hisyam bin Malik mendatangi ‘Iyadl, dan meminta maaf kepadanya. Lalu Hisyam berkata kepada ‘Iyadl, “Tidakkah engkau mendengar Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya manusia yang mendapat siksa paling keras adalah manusia yang paling keras menyiksa manusia di kehidupan dunia”. ‘Iyadl bin Ghanm berkata, “Ya Hisyam bin Hakim, sungguh, kami mendengar apa yang engkau dengar, dan kami juga menyaksikan apa yang engkau saksikan; tidakkah engkau mendengar Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa hendak menasehati penguasa (orang yang memiliki kekuasaan untuk memerintah), maka janganlah menasehatinya dengan terang-terangan, tetapi ambillah tangannya, lalu menyepilah dengannya. Jika ia menerima nasehat, maka baginya pahala, dan jika tidak, maka ia telah menunaikan apa yang menjadi kewajibannya untuk orang itu. Sesungguhnya, engkau ya Hisyam, kamu sungguh berani, karena engkau berani kepada penguasanya Allah. Lalu, tidakkah engkau takut dibunuh oleh penguasanya Allah, dan engkau menjadi orang yang terbunuh oleh penguasa Allah tabaaraka wa ta’aala”.[HR. Imam Ahmad]

‘Iyadl bin Ghanm adalah Ibnu Zuhair bin Abiy Syadad, Abu Sa’ad al-Fahri. Beliau adalah seorang shahabat yang memiliki keutamaan. Beliau termasuk shahabat yang melakukan bai’at Ridlwan; dan wafat pada tahun 20 H di Syams.

Hisyam bin Hakim bin Hazam bin Khuwailid al-Qurasyiy al-Asdiy adalah shahabat yang memiliki keutamaan, dan beliau adalah putera dari seorang shahabat. Beliau wafat pada awal-awal masa kekhilafahan Mu’awiyyah bin Abi Sofyan. Ada orang yang menduga bahwa beliau meraih mati syahid di Ajnadain. Beliau disebut di dalam Kitab Shahih Bukhari dan Muslim dalam haditsnya Umar tatkala ia mendengarnya membaca surat Al Furqan. Beliau wafat sebelum ayahnya meninggal dunia. Imam Muslim, Abu Dawud, dan An Nasaaiy menuturkan hadits dari beliau, sebagaimana disebutkan dalam Kitab At Taqriib.

Di dalam Kitab Tahdziib al-Kamal, Al Maziy berkata, “Diriwayatkan darinya:…dan ‘Urwah bin Az Zubair…hingga akhir. Adapun Syuraih bin ‘Ubaid al-Hadlramiy al-Hamashiy, dia adalah seorang tabi’in tsiqqah (terpercaya). Riwayatnya dari shahabat secara mursal, sebagaimana disebut dalam Tahdziib al-Kamal, “Mohammad bin ‘Auf ditanya apakah Syuraih bin ‘Ubaid al-Hadlramiy mendengar dari Abu Darda’? Mohammad bin ‘Auf menjawab, “Tidak”. Juga ditanyakan kepada Mohammad bin ‘Auf, apakah dia mendengar dari seorang shahabat Nabi saw? Dia menjawab, “Saya kira tidak. Sebab, ia tidak mengatakan dari riwayatnya, “saya mendengar”. Dan dia adalah tsiqqah (terpercaya)”.

Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Kitab At Taqriib mengatakan, “Dia tsiqqah (terpercaya), dan banyak meriwayatkan hadits secara mursal; karena tadlisnya. Ibnu Abi Hatim di dalam Kitab Al Maraasiil berkata, “Saya mendengar ayahku berkata, “Syuraih bin ‘Ubaid tidak pernah bertemu dengan Abu Umamah, al-Harits bin Harits, dan Miqdam. Ibnu Abi Hatim berkata, “Saya mendengar bapakku berkata, “Syuraih bin ‘Ubaid menuturkan hadits dari Abu Malik Al Asy’ariy secara mursal”.

Jika Syuraih bin ‘Ubaid tidak pernah bertemu dengan Abu Umamah Shadiy bin ‘Ijlaan al-Bahiliy ra yang wafat pada tahun 76 H dan Miqdam al-Ma’diy Karab ra yang wafat pada tahun 87 H, maka bagaimana bisa dinyatakan bahwa Syuraih bin ‘Ubaid bertemu dengan Hisyam bin Hakim yang wafat pada awal-awal pemerintahan Mu’awiyyah, lebih-lebih lagi ‘Iyadl bin Ghanm yang wafat pada tahun 20 Hijrah pada masa ‘Umar bin Khaththab ra?

Selain itu, Syuraih bin ‘Ubaid ra meriwayatkan hadits itu dengan ta’liq (menggugurkan perawi atasnya) dan di dalam hadits itu tidak ada satupun indikasi yang menunjukkan bahwa ia hadir dalam kisah itu, atau mendengar orang yang mengisahkan kisah tersebut. Dengan demikian, hadits di atas harus dihukumi sebagai hadits munqathi’ (terputus), dan tidak layak dijadikan sebagai hujjah.

Demikian pula hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad secara ringkas (mukhtashar) dari Ibnu ‘Abi ‘Ashim di dalam kitab As Sunnah, di mana Imam Ahmad berkata, “Telah meriwayatkan kepada kami ‘Amru bin ‘Utsman, di mana dia berkata,”Telah meriwayatkan kepada kami Baqiyah, dan dia berkata, “Telah meriwayatkan kepada kami Sofwan bin ‘Amru, dari Syuraih bin ‘Ubaid, bahwasanya dia berkata, “‘Yadl bin Ghanam berkata kepada Hisyam bin Hakim, tidakkah engkau mendengar sabda Rasulullah saw yang bersabda, “Barangsiapa hendak menasehati penguasa janganlah ia sampaikan dengan terang-terangan, akan tetapi hendaklah ia ambil tangannya, lalu menyepilah dengannya. Jika ia menerima maka ia akan mendapatkan pahala, dan jika tidak, maka ia telah menunaikan apa yang menjadi kewajibannya”.[HR. Imam Ahmad]

Baqiyyah adalah seorang mudalis. Walaupun Baqiyyah menuturkan hadits ini dengan sharih menurut versi Ibnu Abi ‘Aashim, tetapi, tetap saja tidak bisa menyelamatkan Baqiyyah. Pasalnya, ia adalah perawi yang suka melakukan tadlis dengan tadlis yang buruk (tadlis qabiih) –yakni tadlis taswiyah . Dikhawatirkan dari tadlisnya itu ‘an’anah [(meriwayatkan dengan ‘an (dari), ‘an (dari)] dari gurunya dari gurunya jika ditarik ke atas. Di dalam Kitab Al Majma’, Imam Al Haitsamiy berkata, “Yang benar, jalur darinya (Syuraih bin ‘Ubaid) hanya berasal dari Hisyam saja. Hadits ini diriwayatkan Imam Ahmad, dan rijalnya tsiqat (terpercaya). Akan tetapi, saya tidak mendapati Syuraih bin ‘Ubaid mendengar hadits ini langsung dari ‘Iyadl dan Hisyam, walaupun dia seorang tabi’un.

Catatan lain, Syuraih bin ‘Ubaid meriwayatkan hadits ini dengan ta’liq (menggugurkan perawi atasnya), dan di dalam hadits ini tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa ia hadir dalam kisah itu, maupun mendengar dari orang yang menceritakan kisah tersebut. Oleh karena itu, hadits ini harus dihukumi sebagai hadits munqathi’; dan tidak layak dijadikan sebagai hujjah.

Adapun dari jalur-jalur lain, misalnya dari jalur Jabir bin Nafir, maka setelah diteliti, ada perawi yang lemah, yakni Mohammad bin Ismail bin ‘Iyasy.

Jika demikian kenyataannya, gugurlah berdalil dengan hadits riwayat Imam Ahmad di atas.

Tanggapan: sayangnya anda tidak menyebutkan jalan lain, yaitu yang dikeluarkan oleh Ath Thabrani dalam Dalam Al Mu’jamul Kabiir: Haddatsana Amru bin Ishaq bin Zuraiq haddatsana abii (H) haddatsana ‘Imarah bin Wutsaimah Al Mishri dan Abdurrahman bin Mu’awiyah Al ‘Utabi keduanya berkata: Haddatsana Ishaq bin Zuraiq, haddatsana ‘Amru bin Al Harits dari Abdullah bin Salim dari Az Zubaidi haddatsna Al Fadl bin fadlalah mengembalikannya kepada ‘Aidz mengembalikannya kepada Jubair bin Nufair bahwa ‘Iyadl bin Ghanam..dst.

Sanad ini walaupun lemah karena Amru bin Al Harits dikatakan oleh Al Hafidz: Maqbul, demikian pula Al Fadl bin Fadlalah, namun jalan ini menguatkan jalan Muhammad bin Isma’il bin Ayyasy, sehingga naik kepada derajat hasan, dan bila digabungkan dengan sanad imam Ahmad : Telah meriwayatkan kepada kami Abu Al Mughirah, dan dia berkata, “Telah menuturkan kepada kami Shofwan, dan ia berkata, “Telah meriwayatkan kepadaku Syuraih bin ‘Ubaid al Hadlramiy dan lainnya, dia berkata, “‘Iyadl bin Ghanm.. dst. Maka naik kepada derajat shahih, adapun permasalahan Syuraih tidak mendengar dari Iyadl, tidak bermudlarat bila ternyata telah diketahui wasithahnya yaitu Jubair bin Nufair.

Tanggapan Balik:

Demikianlah, antum berusaha mati-matian menshahihkan hadits ‘Iyadl bin Ghanm dengan cara mencari syahid maupun mutaba’ahnya. Sayang usaha antum tersebut malah menjerumuskan antum untuk mencari-cari dalih, untuk memenuhi keinginan dan hawa nafsu antum., bukan untuk menegakkan hujjah yang lurus. Namun, demi menegakkan sunnah dan kebenaran, ana akan jelaskan kelemahan jalur dari Imam Thabaraniy. Kelemahannya hadits ini terlihat dari kenyataan berikut ini:

Pertama, hadits riwayat Imam Ahmad dari jalur Abu Mughirah, Shofwan, Syuraih bin ‘Ubaid telah terbukti kelemahannya, karena Syuraih tidak pernah bertemu dengan Hisyam bin Hakim (lebih-lebih lagi Iyadl bin Ghanm). Dengan demikian, hadits ini dihukumi sebagai hadits munqathi’, sehingga gugur sebagai hujjah.

Kedua, adapun tentang Jubair bin Nufair yang antum nobatkan sebagai “wasithah antara Syuraih bin ‘Ubaid dengan Iyadl bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim, sehingga tampak seolah-olah telah menyambungkan “keterputusan antara Syuraih bin ‘Ubaid dengan Iyadl bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim, maka perlu antum ketahui bahwa ternyata Jubair bin Nufair pun menuturkan hadits tersebut dengan ta’liq (menggugurkan perawi atasnya). Jubair bin Nufair adalah seorang tabi’un yang terkemuka. Imam Adz Dzahabiy dalam Tadzkiratu al-Huffaadz berkata, “.Beliau (Jubair bin Nufair) adalah seorang ulama terkemuka, haditsnya ada dalam kitab-kitab hadits seluruhnya, kecuali Shahih Bukhari, dan demikian itu karena kelemahannya (layyin al-hadits). Namun, kadang-kadang ia melakukan tadlis dari shahabat-shahabat besar”. Atas dasar itu, hadits dari Jubair bin Nufair pun munqathi’, dan tidak bisa menyelamatkan keterputusan antara Syuraih bin ‘Ubaid dengan ‘Iyadl bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim. Sebab, Jubair bin Nufair sendiri tidak menyaksikan langsung kejadiannya atau mendengarnya langsung dari orang yang meriwayatkan dari ‘Iyad bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim. Atas dasar itu, hadits yang antum katakan naik derajatnya itu, tetap tidak bisa selamat dari keterputusan (inqitha’). Dengan demikian, hadits itu harus dihukumi sebagai hadits munqathi’ dan tidak layak dijadikan sandaran hujjah.

Adapun hadits dari jalur Mohammad bin ‘Ayyasy, maka antum juga harus tahu Mohammad bin ‘Ayyasy adalah dla’ifu al-hadits (dla’if haditsnya). Di dalam Kitab Al-Jarh wa al-Ta’diil, Abu Hatim berkata, “Dia tidak mendengar apapun dari bapaknya”. Al Hafidz Ibnu Hajar dalam At-Taqriib berkata, “Mereka mencela dirinya karena ia menuturkan dari bapaknya tanpa pernah mendengarnya”. Dalam hadits ini tidak boleh dinyatakan bahwa ia dengan sharih menuturkan dari bapaknya (dengan lafadz haddatsanaa); sebab dia adalah dla’if, tidak tsiqqah”.

Ketiga, jalur dari Amru bin Ishaq bin Zuraiq haddatsana abii (H) haddatsana ‘Imarah bin Wutsaimah Al Mishri dan Abdurrahman bin Mu’awiyah Al ‘Utabi keduanya berkata: Haddatsana Ishaq bin Zuraiq, haddatsana ‘Amru bin Al Harits dari Abdullah bin Salim dari Az Zubaidi haddatsna Al Fadl bin fadlalah mengembalikannya kepada ‘Aidz mengembalikannya kepada Jubair bin Nufair bahwa ‘Iyadl bin Ghanam..dst.

Ibnu Zuraiq adalah waah. Imam Adz Dzahabiy berkata, “Ibnu Zuraiq adalah waah (lemah)”. Ishaq adalah ayah dari Amru, dan tentang dia, Al Hafidz berkata, “Shaduq yahammu katsiira (shaduq tapi banyak lemahnya), dan Mohammad bin ‘Aud menyebutkan bahwa dia itu berdusta”. Abu Hatim juga berkata tentang dia, “Syaikh la ba’sa bihi, hanya saja mereka mencelanya. Saya mendengar Yahya bin Ma’in memujinya dengan baik”. Dalam Tarikh Ibnu ‘Asaakir dan juga Tahdzibnya Ibnu Badran, disebutkan bahwa An Nasaaiy berkata, “Ishaq tidak tsiqqah jika meriwayatkan dari ‘Amru bin Harits”. Sedangkan hadits di atas Ishaq meriwayatkan dari ‘Amru bin Harits!!! Sedangkan Amru bin Harits, Ibnu Hibban dalam Tsiqahnya berkata, “Ia adalah mustaqim al-hadits”. Namun, Imam Adz Dzahabiy membantahnya dalam Al-Mizan, “Tafarrada bi ar-riwayah ‘anhu Ishaq bin Ibrahim bin Zuraiq dan maulanya, yang namanya ‘Ulwah, dan dia tidak tidak diketahui keadilannya”. Dengan demikian, yang meriwayatkan hadits dari dari Amru bin Harits hanyalah Ishaq dan maulanya Amru bin Harits yang majhul. Sedangkan Ishaq adalah waah (lemah) [lihat di atas]. Sedangkan Amru bin Ishaq bin Zuraiq al-Himshiy termasuk syaikhnya Imam Thabaraniy. Sayangnya tidak ada biografi atas dirinya, alias majhul.

Dengan demikian hadits dari jalur ini jelas-jelas lemah dan banyak ‘illatnya, yakni; (1) majhulnya Amru bin Ishaq bin Zuraiq al-Himshiy, syaikhnya Imam Thabaraniy, (2) dla’ifnya Ishaq bin Ibrahim bin Zuraiq yang sangat parah, (3) lemahnya (layyin) ‘Amru bin Harits, (3) lemahnya (layyin) al-Fadlil bin Fudlalah, (4) keterputusan (inqitha’) antara al-Fadlil dengan Ibnu ‘Aidz, (5) terputusnya Ibnu ‘Aidz dengan Jubair bin Nufair, (6) terputusnya Jubair bin Nufair dengan semua orang yang meriwayatkan dari ‘Iyadl bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim radliyallahu ‘anhumaa. Dengan demikian, jalur inipun gugur secara menyakinkan.

Adapun komentar Imam Al-Haitsamiy dalam Majma’ az Zawaid, “Rijaaluhu tsiqat wa isnaduhu muttashil”, maka harus dinyatakan bahwa komentar beliau ini tidak tepat dikarenakan alasan-alasan di atas.

Keempat, permasalahan yang sebenarnya hendak dibuktikan adalah sanad dari Syuraih bin ‘Ubaid atau Jubair bin Nufair ra. Dan telah dijelaskan bahwa Syuraih bin ‘Ubaid atau Jubair bin Nufair meriwayatkan dengan ta’liq (menggugurkan perawi atasnya). Tidak ada satupun lafadz yang menunjukkan kehadiran keduanya dalam kisah itu, atau mendengar diskusi antara Hisyam bin Hakim dan ‘Iyadl bin Ghanm; atau mendengar langsung dari orang yang menyaksikan atau mendengar dari Hisyam bin Hakim dan ‘Iyadl bin Ghanm. Oleh karena itu, riwayat tersebut dihukumi munqathi’ (terputus).

Semua riwayat dari Jubair bin Nufair dan Syuraih bin ‘Ubaid diketahui mursal dari qudama` ash-shahahat (shahabat-shahabat terkemuka), bahkan Syuraih meriwayatkan hadits secara mursal dari seluruh shahabat. Atas dasar itu, semua riwayat yang berasal darinya dihukumi inqitha’ (terputus).

Adapun riwayat mu’an’anah dari ‘Iyadl bin Ghanm, maka sudah dimaklumi bahwa ‘Iyadl bin Ghanm meninggal tahun 20 H pada masa kekhilafahan Umar bin Khaththab ra, dan Jubair bin Nufair tidak pernah mendengar dari ‘Iyadl bin Ghanm, sebagaimana disebutkan dalam biografinya di Kitab Tahdziib al-Kamaal karya Al-Maziy, dan at-Tadzkirah karya Husainiy. Selain itu, Jubair bin Nufair juga dikenal meriwayatkan secara mursal dari shahabat-shahabat besar. Dengan demikian, riwayat ini juga terputus (inqitha’).

Selain itu, ada cacat lain dari hadits tersebut dari sisi matan. Hadits-hadits lain justru menyakinkan kepada kita bahwa Hisyam bin Hakim tetap mengoreksi ‘Iyadl bin Ghanm dengan terang-terangan ketika berada di Himsh. Imam Thabaraniy meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Urwah bin az-Zubair bahwasanya Hisyam bin Hakim mendapati ‘Iyadl bin Ghanm , pada saat itu ia berada di Himsh, menjemur manusia dari al-Nabth di bawah terik matahari, dalam masalah penyerangan jizyah. Hisyam bin Hakim berkata, “Apa ini wahai ‘Iyadl bin Ghanm! Saya mendengar Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya Allah akan menyiksa orang-orang yang menyiksa manusia di dunia”. Hadits ini adalah hasan lidzatihi dikarenakan dikarenakan banyaknya hadits-hadits mutabi’ahnya. Selain itu, riwayat-riwayat lain juga menunjukkan bahwa Hisyam bin Hakim juga mengoreksi dengan terang-terangan, sebagaimana ia mengingkari penguasa Himsh yang tidak disebutkan namanya, atau terhadap ;Umair bin Sa’ad pada saat ia berada di Palestina atau di Himsh. Peristiwa ini terjadi setelah terjadinya diskusi antara dirinya dengan ‘Iyadl bin Ghanm pada saat penaklukkan Dariya., Ini bisa diketahui dari kronologi sejarah penaklukkan jazirah Syam. Seandainya peristiwa diskusi antara Hisyam bin Hakim dengan Iyadl bin Ghanm tentang “koreksi sembunyi-sembunyi” merupakan hukum asal mengapa shahabat jalil Hisyam bin Hakim tetap mengoreksi penguasa dengan terang-terangan!?

Walhasil, hadits-hadits yang antum ketengahkan itu seluruhnya gugur baik karena perawinya yang lemah (Mohammad bin ‘Iyasy), maupun terputusnya Jubair bin Nufair dengan ‘Iyadl bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim.

Demikianlah, Allah telah memudahkan kita untuk menunjukkan kelemahan hadits riwayat Imam Ahmad tentang “sirriyat al-nashihah”. Oleh karena itu, argumentasi antum telah gugur di hadapan hujjah yang lurus dan benar. Semoga antum tertunjukki dan terentaskan dari kesalahan. Allahummasyhad, qad balaghtu al-haqq. Wallahu al-Haadiy al-Muwaffiq ila Aqwamith Thariiq.

Al Faqir ila Al-Allah Fathiy Syamsuddin Ramadhan An Nawiy.

Read Full Post »

 

TANGGAPAN BALIK ATAS TANGGAPAN RAPUH

 

by Syamsuddin Ramadhan on Saturday, July 24, 2010 at 9:12am

BANTAHAN TANGGUH ATAS

BANTAHAN RAPUH YANG DIKLAIM TANGGUH

Al Faqir Ila Allah, Fathiy Syamsuddin Ramadhan An Nawiy

Sebuah bantahan terhadap artikel berjudul “Mengoreksi Penguasa Harus Dengan GAYA TUKUL…??”

Judul asli artikel Kritik Atas Pendapat Yang Menyatakan Mengoreksi Penguasa Harus Dengan (Empat Mata) karya tokoh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ustadz Syamsudin Ramadhan An-Nawiy hadahullah

Oleh al Ustadz al Fadhil Abu Yahya Badrussalam, Lc. hafizhahullah

Berkata Syamsuddin Ramadlan (HTI) :

Mengoreksi Penguasa Harus Dengan GAYA TUKUL…??

Tanggapan Abu Yahya (Salafy) : Tukulkah yang menjadi panutanmu ??

Tanggapan Balik Ust.Syamsuddin (HTI) :

Perkataan seperti ini tidak pernah keluar dari seorang ustadz faqih-sholih dan berakhlaqul karimah; tapi, hanya akan keluar dari lisan orang-orang yang hatinya dipenuhi kenistaan dan kekotoran. Ana berdoa dengan sepenuh hati, agar Allah membersihkan hati antum dari semua kenistaan dan kekotoran.

HTI: Perlu kami nyatakan bahwa hukum asal amar makruf nahi mungkar harus dilakukan secara terang-terangan, dan tidak boleh disembunyikan. Ini adalah pendapat mu’tabar dan perilaku generasi salafus sholeh.

Tanggapan Salafy : Tetapi justru para ulama salaf menyatakan bahwa hukum asal menasehati adalah dengan rahasia. Ibnu Hibban berkata: “Nasehat wajib kepada manusia seluruhnya.. akan tetapi wajib dengan secara rahasia, karena orang yang menasehati saudaranya secara terang-terangan maka ia telah mencelanya, dan siapa yang menasehatinya secara rahasia, maka ia telah menghiasinya..” (Raudlatul ‘Uqala hal 196).

 

Imam Asy Syafi’I berkata: “Nasehatilah aku ketika sendirian, dan jauhi nasehat di depan jama’ah. Karena nasehat ditengah manusia adalah salah satu macam mencaci maki yang aku tidak suka mendengarnya.. (Mawa’idz imam Asy Syafi’I 1/23).

Tanggapan Balik HTI :P ertama, perkataan Ibnu Hibban maupun Asy Syafi’iy bukanlah dalil syariat, dan sama sekali tidak boleh dijadikan dalil syariat. Menjadikan pendapat Ibnu Hibban dan Asy Syafi’iy sebagai dalil syariat sama dengan telah menyepadankan keduanya dengan Asy Syaari’. Kedua, perkataan Al-Hafidz Ibnu Hibban rahimahullah tidak menunjukkan bahwa beliau melarang menasehati penguasa dengan terang2an, yang beliau larang adalah menasehati penguasa yang disertai niat mencela dan menghina.. Begitu pula perkataan Imamul Jalil Imam Syafi’iy rahimahullah juga tidak menunjukkan bahwa beliau melarang menasehati penguasa dengan terang-terangan, tapi itu hanya sikap beliau sendiri yang tidak suka dinasehati dengan terang-terangan di depan umum. Ketiga, ulama-ulama salafush sholeh dari kalangan shahabat telah berijma’ mengenai masyru’nya muhasabah lil hukkam ‘alanan (mengoreksi penguasa dengan terang-terangan), bahkan kadang-kadang harus dilakukan dengan khuruj dari penguasa. Ijma’ shahabat telah menunjukkan dengan sangat jelas masalah ini (keharusan mengoreksi penguasa dengan terang-terangan). Misalnya, khurujnya Ummul Mukminin ‘Aisyah ra dan Mu’awiyyah ra terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. Baik shahabat yang mengoreksi dan yang dikoreksi tidak pernah mempersoalkan aktivitas mengoreksi dengan terang-terangan. Pasalnya, Al-Quran dan Sunnah telah menetapkan kewajiban amar makruf kepada mereka baik dengan tangan, lisan, dan hati, dan tidak ada takhshish harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Nash-nash seperti inilah yang harusnya dijadikan sebagai hukum asal, bukan hadits dla’if riwayat Imam Ahmad dari ‘Iyadl bin Ghanm..

Ana juga perlu ingatkan bahwa judul tulisan yang ana tulis bukan Mengoreksi Penguasa Harus Dengan GAYA TUKUL…??”. Dengan membuat judul seperti itu, sama artinya akh Abu Yahya telah menyetarakan muhasabah al-hukkam generasi salafush sholeh dari kalangan shahabat –yang telah mengoreksi penguasa dengan terang-terangan— dengan apa yang dilakukan oleh Akh Tukul Arwana. Ghafarallahu lakum.

HTI: Namun, sebagian orang bodoh berpendapat bahwa menasehati seorang penguasa haruslah dengan cara sembunyi-sembunyi (empat mata).

Tanggapan Salafy: Sebagian orang bodoh ?? betulkah mereka orang bodoh?? Ya.. menuduh memang mudah.. namun Allah yang maha tahu siapa yang sebenarnya bodoh..

Tanggapan Balik HTI: Ghafarallahu lakum… Semoga Allah mengampuni antum!

HTI: Menurut mereka, seorang Muslim dilarang menasehati mereka dengan terang-terangan di depan umum, atau mengungkapkan kejahatan dan keburukan mereka di depan umum, karena ada dalil yang mengkhususkan.

Tanggapan Salafy: Bila yang dimaksud mereka adalah salafiyun, maka mereka berdasarkan dalil dan perbuatan para shahabat dan para ulama. Adapun dalil, maka berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ

“Barang siapa yang ingin menasehati penguasa dengan suatu perkara, maka janganlah terang-terangan , namun ambillah tangannya dan bersendirianlah dengannya (rahasia), jika ia menerima (itu yang diharapkan) dan jika tidak, maka ia telah melaksanakan tugas”. (HR Ahmad, ibnu Ashim dan lainnya).

Adapun perbuatan shahabat, Anas bin Malik berkata: “Para pembesar kami dari shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kami, (mereka berkata): “Janganlah kamu mencaci maki umara, jangan pula mencurangi dan memaksiati mereka”.(Al Hujjah fii bayanil Mahajjah 2/435).

Ziyad bin Kusaib Al ‘Adawi berkata: “Aku bersama Abu Bakrah dibawah mimbar ibnu Amir yang sedang berkhutbah dan memakai pakaian yang tipis, maka Abu Bilaal berkata: “Lihatlah kepada pemimpin kita ini, dia memakai pakaian orang fasiq”. Abu Bakrah berkata: “Diam kamu!! Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa yang menghinakan penguasa di bumi, Allah akan hinakan ia”. (HR At Tirmidzi, Al Bazzaar dan lainnya).

Dikatakan kepada Usamah bin Zaid: “Andai kamu mendatangi fulan (maksudnya Utsman bin Affan) dan mengajaknya bicara”. Usamah berkata: “Sesungguhnya kamu memandang bahwa bila aku mengajaknya bicara, aku harus memperdengarkannya kepada kamu, sesungguhnya aku berbicara dengannya secara rahasia tanpa membuka pintu, dan aku tidak ingin menjadi orang yang pertama kali membukanya”. (HR Bukhari no 3267 dan Muslim no 2989). Dalam riwayat Muslim, Usamah berkata: “Sungguh, aku telah mengajaknya berbicara antara aku dan dia saja..dst”.

Al Qurthubi berkata: “Maksud Usamah adalah bahwa beliau menjauhi berbicara di hadapan manusia, demikianlah yang wajib dalam menegur pembesar dan umara, hendaknya mereka dihormati di hadapan rakyat untuk menjaga kewibawaan mereka, dan menasehatinya secara rahasia, untuk melaksanakan kewajiban menasehati mereka, dan perkataan beliau: ” Sungguh, aku telah mengajaknya berbicara antara aku dan dia saja”. Maksudnya berbicara langsung dengan ucapan yang lemah lembut, sebab yang demikian itu lebih taqwa dari menasehati mereka dengan terang-terangan dan memberontak kepada penguasa, karena amat besar fitnah dan mafsadah yang ditimbulkan akibat menasehati secara terang-terangan”. (Al Mufhim 6/619).

Tanggapan Balik HTI: Yang dilarang adalah mengoreksi penguasa yang ditujukan atau diniatkan untuk menghina penguasa, bukan mengoreksi penguasa dengan terang-terangan. Jika mengoreksi penguasa dengan terang-terangan diniatkan untuk menjaga umat dari kejahatan penguasa, maka mengoreksi penguasa secara terang-terangan dalam keadaan seperti itu (untuk menjaga umat dari kejahatan dan kedzaliman penguasa) bukanlah sesuatu yang haram, bahkan fardlu. Sebaliknya, jika mengoreksi penguasa, baik dengan sembunyi-sembunyi dan terang-terangan diniatkan untuk menghina penguasa, maka perbuatan itu haram.

Ana perlu tegaskan bahwa perkataan ulama bukanlah dalil syariat. Selain itu, hadits riwayat Imam Ahmad adalah hadits dla’if. Cukuplah bagi kita apa yang dilakukan oleh Nabi saw dan para shahabat yang juga melakukan muhasabah lil hukkam dengan cara terang-terangan. Selain itu, tidak ada satupun ucapan sharih dari ulama-ulama salafush shalih yang menunjukkan bahwa mengoreksi penguasa dengan terang-terangan adalah haram. Larangan yang mereka ucapkan tidak selalu berimplikasi pada hukum haram. Sebab, bentuk kalimat larangan (sighat an-nahyu) tidaklah selalu berimplikasi hukum haram, bisa saja untuk tahdzir, wa’id, taubih, dan lain-lain. Tampaknya hal ini yang antum lupakan, atau sengaja antum sembunyikan. Ghafarallahu lakum.

HTI: Pendapat semacam ini adalah pendapat bathil, dan bertentangan dengan realitas muhasabah al-hukkam yang dilakukan oleh Nabi saw, para shahabat dan generasi-generasi salafus shaleh sesudah mereka.

Tanggapan Salafy: Jangan terlalu cepat memvonis saudaraku, karena yang antum fahami itu ternyata bertentangan dengan apa yang difahami oleh para ulama..

Tanggapan Balik HTI: Ulama yang mana? Sedangkan para shahabat mengoreksi penguasa dengan terang-terangan,, dan telah terjadi ijma’ sukutiy atas masalah ini? Ana khawatir yang antum ikuti itu adalah ulama jahat yang ingin membungkam dakwah Islam atas penguasa-penguasa fajir dan dzalim yang telah mengubah sendi-sendi ajaran Islam, dan tidak memerintahkan manusia menegakkan sholat; atau sengaja untuk menjaga para penguasa bughat yang telah menyebabkan hancurnya Khilafah Islamiyyah dan berusaha menghalang-halangi pejuang-pejuang mukhlish yang berusaha menegakkannya kembali.

HTI: Pasalnya, pendapat tersebut (keharusan mengoreksi pennguasa dengan empat mata) bertentangan dengan point-point berikut ini:

a. Perilaku Rasulullah saw dalam mengoreksi pejabat yang diserahi tugas mengatur urusan rakyat (pemerintahan). Beliau saw tidak segan-segan mengumumkan perbuatan buruk yang dilakukan oleh pejabatnya di depan kaum Muslim, dengan tujuan agar pelakunya bertaubat dan agar pejabat-pejabat lain tidak melakukan perbuatan serupa. Imam Bukhari dan Muslim menuturkan sebuah riwayat dari Abu Humaid As Sa’idiy bahwasanya ia berkata:

اسْتَعْمَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا عَلَى صَدَقَاتِ بَنِي سُلَيْمٍ يُدْعَى ابْنَ الْلَّتَبِيَّةِ فَلَمَّا جَاءَ حَاسَبَهُ قَالَ هَذَا مَالُكُمْ وَهَذَا هَدِيَّةٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهَلَّا جَلَسْتَ فِي بَيْتِ أَبِيكَ وَأُمِّكَ حَتَّى تَأْتِيَكَ هَدِيَّتُكَ إِنْ كُنْتَ صَادِقًا ثُمَّ خَطَبَنَا فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّي أَسْتَعْمِلُ الرَّجُلَ مِنْكُمْ عَلَى الْعَمَلِ مِمَّا وَلَّانِي اللَّهُ فَيَأْتِي فَيَقُولُ هَذَا مَالُكُمْ وَهَذَا هَدِيَّةٌ أُهْدِيَتْ لِي أَفَلَا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ حَتَّى تَأْتِيَهُ هَدِيَّتُهُ وَاللَّهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْكُمْ شَيْئًا بِغَيْرِ حَقِّهِ إِلَّا لَقِيَ اللَّهَ يَحْمِلُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَلَأَعْرِفَنَّ أَحَدًا مِنْكُمْ لَقِيَ اللَّهَ يَحْمِلُ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ يَدَهُ حَتَّى رُئِيَ بَيَاضُ إِبْطِهِ يَقُولُ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ بَصْرَ عَيْنِي وَسَمْعَ أُذُنِي

“Rasulullah saw mengangkat seorang laki-laki menjadi amil untuk menarik zakat dari Bani Sulaim. Laki-laki itu dipanggil dengan nama Ibnu Luthbiyyah. Tatkala tugasnya telah usai, ia bergegas menghadap Nabi saw; dan Nabi Mohammad saw menanyakan tugas-tugas yang telah didelegasikan kepadanya. Ibnu Lutbiyah menjawab, ”Bagian ini kuserahkan kepada anda, sedangkan yang ini adalah hadiah yang telah diberikan orang-orang (Bani Sulaim) kepadaku. Rasulullah saw berkata, ”Jika engkau memang jujur, mengapa tidak sebaiknya engkau duduk-duduk di rumah ayah dan ibumu, hingga hadiah itu datang sendiri kepadamu”. Beliau saw pun berdiri, lalu berkhutbah di hadapan khalayak ramai. Setelah memuji dan menyanjung Allah swt, beliau bersabda, ”’Amma ba’du. Aku telah mengangkat seseorang di antara kalian untuk menjadi amil dalam berbagai urusan yang diserahkan kepadaku. Lalu, ia datang dan berkata, ”Bagian ini adalah untukmu, sedangkan bagian ini adalah milikku yang telah dihadiahkan kepadaku”. Apakah tidak sebaiknya ia duduk di rumah ayah dan ibunya, sampai hadiahnya datang sendiri kepadanya, jika ia memang benar-benar jujur? Demi Allah, salah seorang di antara kalian tidak akan memperoleh sesuatu yang bukan haknya, kecuali ia akan menghadap kepada Allah swt dengan membawanya. Ketahuilah, aku benar-benar tahu ada seseorang yang datang menghadap Allah swt dengan membawa onta yang bersuara, atau sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembik. Lalu, Nabi saw mengangkat kedua tangannya memohon kepada Allah swt, hingga aku (perawi) melihat putih ketiaknya”. [HR. Imam Bukhari dan Muslim]

Hadits di atas adalah dalil sharih yang menunjukkan bahwasanya Rasulullah saw pernah menasehati salah seorang pejabatnya dengan cara mengungkap keburukannya secara terang-terangan di depan khalayak ramai. Beliau saw tidak hanya menasehati Ibnu Luthbiyyah dengan sembunyi-sembunyi, akan tetapi, membeberkan kejahatannya di depan kaum Muslim. Lantas, bagaimana bisa dinyatakan bahwa menasehati penguasa haruslah dengan sembunyi-sembunyi (empat mata), sedangkan Nabi saw, manusia yang paling mulia akhlaqnya, justru menasehati salah satu pejabatnya (penguasa Islam) dengan terangan-terangan, bahkan diungkap di depan khalayak ramai?

Tanggapan Salafy: Itu karena antum kurang memahami hakikat qiyas, karena di sini antum menyamakan apa yang dilakukan oleh Nabi sebagai penguasa kepada pegawainya, dengan menasehati penguasa yang dilakukan oleh rakyatnya.. dan qiyas seperti ini adalah batil karena ia adalah qiyas yang amat jauh berbeda, selain itu qiyas antum ini bertabrakan dengan dalil yang melarang menasehati penguasa secara terang-terangan..

Tanggapan Balik HTI: Apa yang diucapkan, dikerjakan, dan disetujui Nabi adalah hujjah yang wajib diikuti. Ibnu Luthbiyyah adalah seorang penguasa. Nabi saw dalam hal ini berkedudukan sebagai Nabi sekaligus Rais ad Daulah. Dalam konteks asal, apa yang beliau lakukan adalah hujjah bagi kaum Muslim, baik rakyat maupun penguasa; dan tidak dikhususkan hanya untuk penguasa saja. Memang dalam konteks tertentu apa yang dilakukan Nabi saw hanya boleh ditiru oleh penguasa saja, semisal memotong tangan pencuri, rajam bagi pezina dan lain-lain. Namun, dalam hal mengoreksi penguasa dengan terang-terangan tidak harus dilakukan oleh penguasa yang lebih atas kepada penguasa yang lebih bawah, tapi bisa dilakukan oleh semua orang. Pasalnya, dalil-dalil umum telah menunjukkan masyru’nya mengoreksi penguasa dengan terang-terangan. Dengan demikian kisah koreksi Nabi saw atas Ibnu Luthbiyyah adalah hujjah jaliyah atas masyru’nya mengoreksi penguasa dengan terang-terangan,

HTI : b. Ada perintah dari Nabi saw agar kaum Muslim memberi nasehat kepada para penguasa fajir dan dzalim secara mutlak. Imam Al Hakim dan Ath Thabaraniy menuturkan riwayat dari Jabir ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

سيد الشهداء عند الله يوم القيامة حمزة بن عبد المطلب ورجل قام إلى إمام جائر فأمره ونهاه فقتله

“Pemimpin para syuhada di sisi Allah, kelak di hari Kiamat adalah Hamzah bin ‘Abdul Muthalib, dan seorang laki-laki yang berdiri di depan penguasa dzalim atau fasiq, kemudian ia memerintah dan melarangnya, lalu penguasa itu membunuhnya”. [HR. Imam Al Hakim dan Thabaraniy]

Hadits ini datang dalam bentuk umum. Hadits ini tidak menjelaskan secara rinci tatacara mengoreksi seorang penguasa; apakah harus dengan sembunyi-sembunyi atau harus dengan terang-terangan. Atas dasar itu, seorang Muslim dibolehkan menasehati penguasa dengan terang-terangan atau sembunyi-sembunyi (empat mata). Hadits ini tidak bisa ditakhshih dengan hadits-hadits yang menuturkan tentang muhasabah lil hukkam (mengoreksi penguasa) dengan empat mata. Pasalnya, hadits-hadits yang menuturkan tentang menasehati penguasa dengan empat mata adalah hadits dla’if. (Penjelasannya lihat di point berikutnya).

Tanggapan Salafy: Itu karena antum mendla’ifkan hadits yang sebenarnya hasan atau shahih yaitu hadits yang menjelaskan tata cara menasehati penguasa yaitu tidak boleh secara terangan-terangan, karena akibat antum kurang sungguh-sungguh mencari jalan-jalan lainnya yang antum tidak ketahui sebagaimana yang akan diterangkan.. maka nasehat saya jangan tergesa-gesa memvonis.. sebab perbuatan itu sama saja membongkar kebodohan antum sendiri..

Tanggapan Balik HTI: Hadits di atas adalah dalil umum untuk muhasabah lil hukkam, dan tidak ada dalil yang mentakhshishnya. Seandainya riwayat Imam Ahmad itu shahih –seperti pendapat antum, walaupun padahal dla’if–, maka hadits itu juga tidak bisa mentakhshish keumuman hadits yang berbicara tentang mengoreksi penguasa dengan terang-terangan. Sebab, tidak semua kalimat yang berbentuk larangan (di dalam al Quran dan Sunnah) pasti berimplikasi hukum haram. Sighat nahyu bisa saja berimplikasi tahrim, karahah, tahqiir, bayaan al-’aqibah, ad-du’a, al-ya’su, al-irsyad, dan lain-lain, Larangan yang tersebut di dalam hadits Imam Ahmad hanya menunjukkan makna al-irsyad dan rukhshah belaka. Indikasinya adalah kalimat yang disebut dalam hadits tersebut:: (1) frase , “wa illa qad aday al-ladziy ‘alaihi lahu” (dan jika tidak, maka dia telah menunaikan apa yang telah diwajibkan kepadanya bagi penguasa itu). Frase ini justru menunjukkan kewajiban mengoreksi penguasa dengan terang-terangan. Maksudnya, jika seseorang tidak mampu mengoreksi penguasa dengan terang-terangan, maka, menasehatinya dengan sembunyi-sembunyi sudah dianggap cukup dan bisa menghapus dosa “berdiam diri terhadap kemaksiyatan yang dilakukan oleh penguasa”. Dalam hadits ini tidak ada indikasi yang menunjukkan haramnya mengoreksi penguasa dengan terang-terangan. (2) perkataan ‘Iyadl bin Ghanm, “Sesungguhnya, engkau ya Hisyam, kamu sungguh berani, karena engkau berani kepada penguasanya Allah. Lalu, tidakkah engkau takut dibunuh oleh penguasanya Allah, dan engkau menjadi orang yang terbunuh oleh penguasa Allah tabaaraka wa ta’aala”, menunjukkan bahwa beliau sedang mengingatkan saudaranya Hisyam bin Hakim tentang bahaya atau resiko yang akan diterimanya jika menasehati penguasa dengan terang-terangan, bukan mengingatkan atas kemaksiyatan yang dilakukan oleh Hisyam bin Hakim. Ini menunjukkan bahwa ‘Iyadl bin Ghanm pun tahu bahwa menasehati penguasa dengan sembunyi-sembunyi adalah rukhshah (keringanan), sedangkan yang wajib dan paling asal adalah mengoreksi penguasa dengan terang-terangan.

Walhasil, hukum bolehnya mengoreksi penguasa dengan terang-terangan tidak bisa dikhususkan oleh hadits itu. Sebab, ada kalanya mengoreksi penguasa dengan diam2 itu baik dalam satu kondisi, namun tidak baik untuk kondisi yang lain; begitu juga sebaliknya.

Ana harus nyatakan bahwa semua jalur, termasuk jalur yang antum ketengahkah di bagian akhir bantahan ini juga terbukti lemahnya. Insya Allah, ana akan jelaskan kelemahannya.

(Tulisan Ust.Syamsuddin Ramadhan)

Read Full Post »

Banyak dari kalangan kaum muslim yang masih fanatik banget dengan faham yang satu ini. Maklum saja, hal ini memang sengaja dihembuskan oleh barat kepada dunia Islam sudah sejak lama. Bahkan nasionalisme-lah yang punya andil besar terhadap runtuhnya daulah khilafah Utsmaniyah yang beribukota di istanbul Turki pada waktu itu. Sadar maupun tidak sadar sebenarnya faham inilah salah satu sebab yang menjadi biang kerok terhadap perpecahan ummat hingga terbukti sekarang ini negri-negri muslim disekat-sekat menjadi 50 negara lebih. Ada apa sih dengan nasionalisme?. Berikut coba kami uraikan tentang faham nasionalisme ini,

Kelemahan Nasionalisme
1. Kualitas ikatannya rendah. Sehingga tidak mampu mengikat manusia yang satu dengan manusia yang lainnya tatkala mewujudkan kesatuan ummat.

2. Ikatannya hanya bersifat emosional dan muncul secara spontan dari naluri mempertahankan diri, disamping adanya peluang selalu berubah-ubah.

3. Ikatan ini bersifat temporal, akan meningkat ketika ada ancaman dari luar, sebaliknya pada saat keadaan normal atau aman ikatan ini tidak berarti sama sekali.

Bisa diambil contoh dahulu semangat nasionalisme masyarakat indonesia ketika masih dijajah sangat menggebu-gebu, bahkan kita sering dengar slogan “rawe-rawe rantas malang-malang putung” atau “bersatu kita teguh bercerai kita runtuh”, namun setelah indonesia merdeka semangat nasionalisme itupun pudar, lihat saja kasus timor-timur, aceh, papua, dan daerah-daerah lain yang malah ingin memisahkan diri dari NKRI. Yang jadi pertanyaan mana nasionalismenya?

Pandangan Islam mengenai faham nasionalisme

Rasulullah SAW bersabda

“Bukan termasuk Ummatku orang yang m engajak pada Ashabiyah,dan bukan termasuk ummatku orang yang berperang atas dasar Ashabiyah,dan bukan termasuk ummatku orang yang mati atas dasar Ashabiyah.“(HR.Abu Dawud).

Islam tidak kenal dengan namanya nasionalisme, maksudnya itu tidak diajarkan oleh Islam bahkan harus dijauhi, tidak boleh diperjuangkan. Paham seperti ini dalam al-quran dikenal dengan ashabiyah. Rasulullah mempersatukan kaum muhajirin dan anshor dengan satu landasan yaitu akidah Islamiyah. Bukan karena landasan nasionalisme atau yg lainya. Rasulullah mengumpamakan kita seperti satu tubuh yang saling melengkapi satu sama lain.

Menurut sejarah para sahabat Rasulullah SAW. di kota Madinah, bahkan masih di masa Baginda Rasulullah SAW masih hidup mengajarkan hal itu. Ketika masyarakat dan negara Islam baru tumbuh di kota Madinah. Dan kedudukan politik dan kekuatan ekonomi mereka menggeser kepentingan dan posisi kaum Yahudi, maka Yahudi membuat makar. Salah seorang tokoh Yahudi yang bernama Syas bin Qais yang sangat benci dengan bersatunya dua suku besar penghuni kota Madinah Aus dan Khazraj dalam ikatan Islam, membuat makar dengan mengirim seorang penyair agar membacakan syair-syair Arab Jahiliyah yang biasa mereka pakai dalam perang Buats. Perang Buats adalah perang yang terjadi selama 120 tahun (Ibnu Ishaq dalam Tafsir Al Mawardi) antara kaum Aus dan Khazraj. Dan selama musim perang tersebut, pihak Yahudilah yang mengambil keuntungan politik maupun ekonominya.

Penyair suruhan Syas berhasil mempengaruhi jiwa sekumpulan kaum Anshar dari kalangan Aus dan Khazraj di suatu tempat di kota Madinah. Syair jahiliyah tersebut mengantarkan mereka kepada perasaan kebanggaan dan kepahlawanan mereka di masa jahiliyah dalam medan perang Buats. Perasaan kebangsaan dan kepahlawanan kaum Aus maupun Khazraj itu memuncak hingga mereka lupa bahwa mereka sesama muslim. Yang Aus merasa Aus dan yang Khazraj merasa Khazraj. Dalam puncak emosi perang itu mereka akhirnya berteriak-teriak histeris ”Senjata-senjata!”.

Dalam situasi kritis itulah, Rasulullah datang bersama pasukan kaum muslimin untuk melerai mereka. Rasulullah SAW bersabda:“Wahai kaum muslimin, apakah karena seruan jahiliyah ini (kalian hendak berperang) padahal aku ada di tengah-tengah kalian. Setelah Allah memberikan hidayah Islam kepada kalian. Dan dengan Islam itu Allah muliakan kalian dan dengan Islam Allah putuskan urusan kalian pada masa jahiliyyah. Dan dengan Islam itu Allah selamatkan kalian dari kekufuran. Dan dengan Islam itu Allah pertautkan hati-hati kalian. Maka kaum Anshar itu segera menyadari bahwa perpecahan mereka itu adalah dari syaithan dan tipuan kaum kafir sehingga mereka menangis dan berpelukan satu sama lain. Lalu mereka berpaling kepada Rasulullah SAW. dengan senantiasa siap mendengar dan taat…” (Sirah Ibnu Hisyam Juz 1/555).

Dan marilah kita memperhatikan firman Allah SWT “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang ber-saudara dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (QS. Ali Imran 103).

Umat Islam baik itu yang berkulit hitam atau putih, yang mancung maupun pesek, berdomisili di sabang sampai dimaroko, semua adalah saudara , tidak berbeda satu dengan yang lainnya dan yang membedakan hanyalah iman dan taqwanya. Maka sudah selayaknyalah kita bersatu, bersatu dalam hal artian yang sebenarnya yaitu bersatu dalam bingkai negara khilafah. Dengan ikatan akidah islam bukan nasionalisme. Karena inilah wujud persatuan yang sesungguhnya.

Allahu Akbar!Wallahu a’lam

Read Full Post »

Allah Swt. menurunkan al-Quran untuk menjelaskan segala sesuatu (QS an-Nahl [16: 89). Al-Hafidz Ibn Katsir, dengan mengutip penjelasan Ibn Mas’ud ra., dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat tersebut bermakna: “Sungguh, Allah telah menjelaskan dengan al-Quran ini semua ilmu dan segala hal.”

Bahkan al-Quran menegaskan bahwa penerapan hukum Allah dalam seluruh kehidupan adalah bagian dari keimanan kita (QS an-Nisa’ [4]: 65). Sungguh tepat ungkapan Hadhratusy Syaikh KH Hasyim Asy’ari dalam kitab, Adab al-’Alim wa al-Muta’allim: “Sebagaian dari mereka (para ulama) menyatakan tauhid itu mewajibkan iman. Karena itu, tidak ada Iman bagi orang yang tidak ada tauhid pada dirinya. Iman itu mewajibkan syariah. Karena itu pula, orang yang tidak ada syariah padanya tidak ada iman baginya dan tentunya tidak ada tauhid baginya.”

Dengan demikian, sangat naif kalau keinginan kaum Muslim untuk membebaskan diri dari penjajahan dan hegemoni Barat yang kapitalistik—dengan kembali ke pangkuan Islam—dianggap sebagai reaksi kecemburuan yang berpadu dengan rasa putus asa, teralienasi dari hiruk-pikuk modernitas dan merupakan mimpi yang mustahil. Justru sebaliknya, membebek pada Barat untuk menjawab berbagai problem kontemporer kaum Muslimlah yang sebenarnya merupakan mimpi yang mustahil. “Islam kosmopolitan”, “inklusif”, “tidak boleh ada monopoli kebenaran” dan sejenisnya hanyalah jargon-jargon kosong yang miskin solusi; sama sekali tidak kompatibel untuk menjawab berbagai masalah yang tengah dihadapi kaum Muslim. Jargon-jargon ini lebih mencerminkan sikap obsesif yang membebek pada Barat secara membabi-buta, sembari berfantasi bahwa itu merupakan solusi terhadap berbagai problem kontemporer kaum Muslim. Inilah sikap yang digambarkan oleh Ibn Khaldun sebagai sikap orang yang terjangkitpandemic inveriority complex.

Lagi pula, kalau benar bahwa perjuangan untuk menegakkan hukum Allah adalah perjuangan yang mustahil, mengapa Konferensi Khilafah Internasional yang lalu, yang juga diadakan di berbagai belahan dunia, mendapat respon yang begitu luar biasa dari umat Islam di seluruh dunia, termasuk Indonesia? Mengapa pula, kalau semuanya itu hanya mimpi, George W Bush begitu cemas sehingga menegaskan, “We should open new chapter in the fight against enemies of freedom, against those who in the beginning of XXI century call Muslims to restore caliphate and to spread sharia”?
Kesahihan Hadis Tentang Khilafah

Ada pihak yang menyatakan bahwa hadis mengenai kewajiban menegakkan Khilafah bukanlah hadis sahih. Agus Maftuh (JP, 27/10/2007), misalnya, menyatakan bahwa hadis Nabi saw. riwayat Ahmad yang dijadikan dasar utama oleh pendiri HT, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, tentang bisyârah akan datangnya kembali Kekhilafahan, yang terdapat dalam kitab Ad-Dawlah al-Islamiyyah, dalam perspektif kritik sanad, ternyata ada seorang rawi bernama Habib bin Salim al-Anshari yang dipertanyatakan dan tidak tsiqah (terpercaya). Menurut informasi kitab Tahdzîb at-Tahdzîb karya Ibnu Hajar al-Asqalani, yang merupakan kitab populer dalam mengalisis validitas rawi, Habib bin Salim ini memang mendapat penilaian yang negatif dari Imam al-Bukhari maupun Ibn Adi. Agus Maftuh pun kemudian menyimpulkan, dengan demikian, hadis tentang teologi kekuasaan, yaitu Khilafâh ‘ala Minhâj an-Nubuwwah, dari segi kritik sanad sudah gugur.

Pertanyaannya: benarkah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad tersebut dha‘îf? Benarkah Habib bin Salim Al-Anshari tidak tsiqah? Dalam kitab Tahdzîb at-Tahdzîb al-Hafidz berkata, “Abu Hatim menyatakan:tsiqah (terpercaya). Al-Bukhari menyatakan: fîhi nadzar (ia masih harus diteliti). Abu Ahmad bin Adi menilai: Laysa fî mutuni ahaditsihi hadîts[un] munkar bal qad idhtharaba fî asânîdi mâ ruwiya ‘anhu (pada matan-matan hadisnya tidak terdapat hadis mungkar, tetapi ada beberapa sanadnya yang mudhtharib, dan diriwayatkan darinya).”

Kemudian al-Hafidz berkata, “Saya tegaskan bahwa al-Ajiri, berdasarkan penuturan Abu Dawud, menyatakan tsiqah, dan Ibn Hibban memasukannya dalam kitab Ats-Tsiqqat. Dalam kitab Taqrîb at-Tahdzîb, ia menyatakan: lâ ba’tsa bihi (tidak ada masalah dengannya).”

Ungkapan lebih lengkap Imam al-Bukhari di atas terdapat dalam kitab At-Târîkh al-Kabîr. Pada poin ke-2606 tercatat: Habib bin Salim Maula an-Nu’man bin Basyir al-Anshari dari Nu’man, telah meriwayatkan darinya Abu Basyir, Basyir bin Tsabit, Muhammad al-Muntasyir, Khalid bin Urfuthah dan Ibrahim bin Muhajir dan ia adalah sekretaris an-Nu’man;fîhi nadzar.

Pada poin ke 3347, ketika al-Bukhari menyatakan bahwa Yazid bin an-Nu’man bin Basyir adalah sahabat Umar bin Abdul Aziz, beliau mengutip pernyataan Habib bin Salim (yang beliau nilai dengan ungkapan fîhi nadzar).

Perlu dicatat, bahwa Habib bin Salim al-Anshari adalah salah satu rijaldalam Shahîh Muslim. Menurut Imam Muslim, Habib bin Salim al-Anshari memenuhi syarat yang telah beliau tetapkan dalam mukadimah kitabShahîh-nya. Jadi, bisa dimengerti mengapa al-Hafidz dalam Taqrîb at-Tahdzîb menyatakan: lâ ba’sa bihi (tidak ada masalah dengannya). Ungkapan ini, menurut ulama ilmu ushul hadis, sebagaimana yang diungkapkan oleh as-Sakhawi dalam Fath al-Mughîts, secara umum adalah tingkat paling rendah untuk menggolongkan perawi sebagai perawi yang tsiqah. Ibnu Mu’in, sebagaimana yang dinukil oleh al-Hafidz ibn Katsir, juga mengungkapkan hal yang senada.

Untuk memahami pernyataan Imam al-Bukhari, fîhi nadzar, al-Hafidz ibn Katsir dalam kitab Al-Bâ’its al-Hatsîts fî Ikhtishâri ‘Ulûm al-Hadîtsmenjelaskan, jika al-Bukhari berkata tentang rajul (hadis), “Sakatû anhuatau fîhi nadzar,” artinya fa innahu yakûnu fî adna al-manâzili wa arda’ihâ ‘indahu, lakinnahu lathîf al-’ibârah fî at-tajrîh (menurut beliau itu ada pada tingkat terendah, tetapi beliau menggunakan ungkapan tajrîhdengan cara yang halus).

Itulah yang dimaksudkan oleh Imam al-Bukhari dengan ungkapan: fîhi nadzar. Agar lebih diskriptif, mari kita perhatikan apa yang disampaikan oleh Imam at-Tirmidzi (IV/54) tentang hadis seorang laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan budak istrinya. Beliau berkata, hadis an-Nu’man di dalam isnad-nya terjadi idhtirab. Beliau juga berkata, “Saya mendengar Muhammad (maksudnya al-Bukhari) berkata bahwa Qatadah tidak mendengar dari Habib bin Salim hadits ini, tetapi dia meriwayatkan dari Khalid bin Urfuthah.”

Dalam kitab ‘Awn al-Ma‘bûd disebutkan bahwa at-Tirmidzi berkata, “Saya bertanya kepada Muhammad bin Ismail (maksudnya al-Bukhari) tentang Khalid bin Urfuthah. Beliau berkata, ‘Saya menahan diriterhadap hadis ini.’”

Penjelasan at-Tirmidzi ini bisa kita gunakan untuk memahami arah ungkapan Imam al-Bukhari di atas. Karena itu, sangat logis jika kemudian Imam Muslim, salah satu murid Imam al-Bukhari, mencantumkan dalam kitab sahih beliau, hadits yang diriwayatkan dari Habib bin Salim.

Lalu bagaimana dengan pernyataan Imam Ibnu Adi: laysa fî mutuni ahâdîtsihi hadîts[un] munkar bal qad idhtharaba fî asânîdi mâ ruwiya ‘anhu? Dalam kitab Al-Kâmil fî Dhu’afâ’ ar-Rijâl, Ibn Adi berkata, “Untuk Habib bin Salim, hadis-hadis yang didiktekan untuknya, sanadnya memang berbeda-beda, meski pada matan hadisnya bukan hadits mungkar, tetapi terjadi idhtirâb pada sanad-sanadnya sebagaimana yang diriwayatkan darinya oleh Habib bin Abi Tsabit.”

Itulah ungkapan Ibnu Adi tentang Habib bin Salim.

Dengan demikian, tidak ada alasan yang kuat untuk men-dha‘îf-kan Habib bin Salim al-Anshari. Adapun indikasi idhtirâb yang disampaikan oleh beliau juga bisa dijelaskan dari pernyataan at-Tirmidzi di atas. Al-Hafidz al-Manawi dalam kitab Faydh al-Qadîr, dengan mengutip pernyataan al-Hafidz, menyatakan, “Sungguh, Habib bin Salim itu ma‘rûf(populer) dalam riwayat dan ia adalah tâbi‘în yang ma‘rûf.”

Al-Hafidz al-Iraqi dalam kitab Mahajjah al-Qarbi ilâ Mahabbah al-’Arabmenegaskan, bahwa hadis ini sahih. Ibrahim bin Dawud al-Wasithi di-tsiqah-kan oleh Abu Dawud at-Thayalisi dan Ibnu Hibban, dan rijâllainnya (termasuk) yang dibutuhkan dalam (kitab) sahih.

Karena itu, Ibn Hajar al-Haitsami, dalam Majma‘ az-Zawâ’id wa Manba’ al-Fawâ’id (V/188) menyatakan bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad ini rijâl-nya tsiqah.

Selain itu, tidak benar bahwa bisyârah nabawiyyah akan datangnya Khilafah tersebut hanya didasarkan pada hadis riwayat Imam Ahmad dan al-Bazzar. Masih banyak hadis lain yang maknanya sama dengan hadis tersebut. Misalnya hadis tentang akan datangnya Khilafah di Baitul Maqdis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (VII/68), Ahmad (V/288), at-Thabrani (Musnad Syamiyyin,VI/149), al-Baihaqi (IX/169) dan al-Hakim (XIX/186).

Jadi, keliru sekali, kalau Agus Maftuh menganggap perjuangan untuk menerapkan hukum melalui Khilafah hanya didasarkan pada hadis dha‘îf. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad tentang akan datangnya Khilafah adalah sahih. Masih banyak hadis lain yang bil ma’namenegaskan hal yang sama.

Tentang ungkapan bahwa hadis Khilafah hanya diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan tidak didukung oleh kitab-kitab hadis lain yang masyhur, ungkapan ini justru lebih menegaskan keawaman Agus Maftuh di bidangMusthalah al-Hadits. Kalangan ulama hadis muta’akhirîn memang telah sepakat untuk menetapkan lima kitab induk: Shahîh al-BukhâriShahîh MuslimSunan Abi DawûdSunan an-Nasâ’i dan Sunan at-Tirmidzi. Sebagian ulama muta’akhirîn yang lain, al-Hafidz Abu Fadhl bin Thahir menggolongkan satu kitab lagi sehingga menjadi Kutub as-Sittah. Beliau memasukkan Sunan Ibnu Mâjah. Pendapat ini diikuti oleh al-Hafidz al-Maqdisi, al-Mizzi, Ibn Hajar al-Asqalani dan al-Khazraji.

Jadi, ini merupakan ikhtiar para ulama hadis untuk menentukan gradekualitas kitab-kitab hadis secara umum. Tentu klasifikasi tersebut tidak mutlak dan tidak otomatis menafikan kitab-kitab yang tidak termasukKutub al-Khamsah atau Kutub as-Sittah, seperti As-Sunan al-Kubrakarya al-Hafidz al-Kabir Imam al-Baihaqi, Shahîh Ibn HuzaimahShahîh Ibnu Hibbân, dan lain-lain.
Generasi Sahabat Memandang Penting Khilafah

Sebagaimana diketahui, sesaat setelah Baginda Rasulullah wafat, para Shabat melakukan musyawarah di Saqifah Bani Sa’idah untuk menentukkan siapa yang menggantikan posisi Nabi saw. Sebagai kepala negara (khalifah)? Lalu bagaimana seharusnya kita menyikapi musyawarah para Sahabat di Saqifah Bani Sa’idah tersebut?

Dalam kitab tafsirnya, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân (I/264-265), Imam al-Qurthubi menjelaskan, “Seandainya keharusan adanya imam itu tidak wajib baik untuk golongan Quraisy maupun yang lain, lalu mengapa terjadi diskusi dan perdebatan tentang Imamah. Sungguh orang akan berkata, ‘Sesungguhnya Imamah itu bukanlah sesuatu yang diwajibkan, baik untuk golongan Quraisy maupun yang lain. Lalu untuk apa kalian semua berselisih untuk suatu hal yang tidak ada faedahnya atas suatu hal yang tidak diwajibkan.’”
Khatimah

Terakhir, perlu ditegaskan bahwa tidak ada politisasi agama di dalam Islam, karena memang Allah menurunkan Islam sebagai rahmat[an] lil ‘âlamîn dengan menurunkan aturan untuk mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Malah semua upaya menyempitkan Islam dengan hanya sebatas ibadah ritual dan just for morality adalah upaya mendistorsi ajaran Islam dan menempatkan diri kita layaknya orang Barat memperlakukan agama Kristen. Kalau kita merujuk pada pendapat para ulama yang mu‘tabar, maka tidak satu pun yang mempersoalkan wajibnya berhukum pada hukum Allah. Khilafah adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan kaum Muslim. Tanpa Khilafah, kata al-Ghazali, justru ajaran Islam akan hilang. Wallâhu a‘lam[Musthafa A. Murtadlo]

Read Full Post »

Dunia kini laksana sebuah dusun kecil. Penyatuan berbagai bangsa merupakan sebuah keniscayaan. Namun, realitas menunjukkan umat Islam sekarang terpecah-belah. Kaum Muslim terkotak-kotak menjadi lebih dari 50 negara kecil-kecil. Antar negara itu pun terjadi pertentangan. Suriah dan Libanon masih bersitegang. Negara-negara Teluk membiarkan Irak digempur AS sendirian.Indonesia dan Malaysia masih berebut blok Ambalat. Belum ada yang dapat menyatukan umat terbaik yang diturunkan bagi manusia itu. Padahal Allah dan Rasulullah menegaskan bahwa umat Islam adalah satu, laksana tubuh. Lalu bagaimana persatuan umat itu dalam tataran praktis? Sejarah mencatat dengan tinta emas bahwa umat Islam dunia disatukan oleh Khilafah.


Khilafah Menyatukan Umat

Rasulullah saw. diutus untuk seluruh umat manusia. Wahyu yang dibawanya memiliki kemampuan menyatukan manusia. Semasa Beliau hidup, sejak berdirinya pemerintahan Islam pertama di Madinah, Islam mempersatukan dan mempersaudarakan berbagai suku dan bangsa. Berbagai kabilah/suku di Makkah yang dulu sering bertentangan dipersaudarakan dengan kalimat tauhid. Macam-macam suku di Madinah, termasuk suku Aus dan Khajraj yang ratusan tahun tak pernah berhenti bertikai, dipersatukan di bawah Lâ ilâha illâ Allâh Muhammad Rasûlullâh. Makkah dan Madinah yang berbeda karakteristik, budaya dan adat kebiasaan pun dipadukan membentuk suatu masyarakat baru, masyarakat Islam. Karenanya, “Mereka membawa bukan hanya ideologi baru, tetapi juga mengilhami energi dan kepercayaan (confidence) yang sedemikian radikalnya mengubah manusia dan masyarakat dimana ia tinggal. Mereka melengkapi pengobar semangat buat abad baru dan kemajuan kebudayaan di peradaban, seni dan ilmu, material dan spritual.” (Abul Hasan an-Nadawi, Islam The Most Suitable Religion for Mankind: The Challenge of Islam).

Islam terus meluas. Pada masa Khalifah Abu Bakar, Kekhilafahan mencakup segenap semenanjung Arabia. Pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab Islam menembus Persia, sekalipun mereka memiliki kultur yang sangat khas. Bayangkan,Persia selama ini merupakan salah satu dari dua raksasa dunia kala itu. Awalnya, kultur mereka adalah pemburu dan petani, kemudian berkembang menjadi bandar dagang. Bahasa yang digunakan dalam perdagangan di antara mereka adalah bahasa Babylon. Kepercayaan awal mereka berdasarkan pada ide bahwa mereka dan bandar mereka adalah surga tuhan di dunia. Setiap bandar dimiliki oleh tuhan dan patungnya diletakkan di dalam sebuah berhala pusat. Bandar mereka sering bersengketa satu sama lain. Pasca masuknya Islam, banyak di antara penduduknya yang memeluk Islam. Setelah itu, mereka dapat disatukan ke dalam masyarakat berkat adanya Khilafah sebagai kepemimpinan umat. Semenanjung Arabia dan Persia pun menyatu.

Khilafah Islam bukan hanya sekadar menyatukan daerah Asia Barat tersebut, pada Masa Khalifah Umar negeri-negeri Syam dan Baitul Maqdis disatukan ke dalam Khilafah. Tahun 639 M Mesir dengan pelabuhan Alexandria di Afrika disatukan ke dalam Khilafah. Kebanyakan penduduk di sana dari orang Qibti. Mereka awalnya bangga dengan Mesir kuno. Pada masa Kekhalifahan Utsman bin Affan, rakyat di kota-kota dan negeri-negeri di Afrika disatukan. Daerah-daerah tersebut merupakan daerah yang sebelumnya di bawah kendali dan pengaruh Romawi. Tentu, karakteristik masyarakatnya berbeda dengan Arab dan Persia. Namun, dengan Islam mereka dapat menjadi umat yang satu. Kulit hitam dan sawo matang dapat disatukan oleh Islam melalui Khilafah.

India, Persia dan Afganistan makin mendapatkan pengaruh Islam pada masa Kekhilafahan Umayah. Masuknya Islam ke daerah-daerah lain membawa bermacam kerajinan tangan—seperti pekerjaan tembaga di Iran, tenun di Irak, pembuatan kaca dan tembikar di Syam dan Alexandria, dll—yang merupakan satu kegiatan baru di negeri-negeri itu, yang membuka mata pencaharian, membasmi pengangguran dan meningkatkan hasil negara serta menggairahkan usaha dagang dan perindustrian. Khilafah Umayah memperluas penyatuan wilayah hingga ke Asia Tengah sampai Cina, merayap ke Afrika Utara, terus ke Andalusia (Spanyol). Bangsa berkulit putih dan bermata biru disatukan dengan bangsa yang bermata sipit dengan Islam. Benua Asia, Afrika, dan Eropa disatukan.

Pada masa Khilafah Umayah pula para seniman, arsitek dan ahli berbagai bidang lainnya didatangkan dari berbagai negeri. Para ahli ini dipakai untuk membangun dan memugar kota-kota bersejarah yang membawa corak kesenian campuran antara Islam, Byzantium, dll hingga merupakan suatu teknik baru yang baru dikenal pada masa Islam (Fuad M. Fachruddin, Perkembangan Kebudayaan Islam). Masyarakat pun makin menyatu. Bahkan Raja Sriwijaya di Nusantara bernama Srindravarman pada tahun 100 H (718 M) mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Khilafah Umayah. Isinya, meminta dikirimkan dai yang bisa menjelaskan Islam kepadanya (Ayzumardi Azra mengutip dari Ibnu Abi Rabbih, Jaringan Ulama).

Hal ini terus berlangsung. Pada masa Khilafah Abbasiyah dan Utsmaniyah berbagai bangsa disatukan. Jelaslah, sejarah mencatat Khilafah menyatukan umat manusia lintas suku, warna kulit, ras, bangsa, bahkan benua.


Faktor Keberhasilan

Realitas menyatunya umat dari berbagai suku, warna kulit, ras, bangsa, bahkan benua merupakan prestasi luar biasa. Belum ada dalam sejarah manusia yang berhasil mempersaudarakan bangsa-bangsa seperti ini. Islam memang memiliki faktor-faktor untuk itu.

Pertama: Pengikat persatuan itu adalah akidah Islam. Ikatan ini merupakan ikatan hakiki. Betapa tidak. Akidah Islam memandang manusia sama di hadapan Allah Swt. Kata Nabi saw., tidak ada kelebihan orang Arab atas non-Arab, tidak ada kelebihan non-Arab atas bangsa Arab, kecuali karena takwa. Bahkan Allah menegaskan kemuliaan seseorang di sisi Allah bukan karena suku, ras, keturunan, warna kulit, atau tampak luar lainnya, melainkan hanya karena takwanya. Akidah Islam meniscayakan adanya berbagai suku bangsa, namun semuanya harus saling mengenal. Dengan ikatan seperti ini setiap bangsa yang disatukan ke dalam Islam berkedudukan sama. Tidak ada istilah pribumi dan pendatang. Karenanya, masyarakat siap dipimpin oleh siapapun dari bangsa manapun. Saudi Arabia siap dipimpin oleh Nabi saw. yang berasal dari Makkah. Kaum Muslim siap dipimpin oleh Bagdad atau Andalusia. Bahkan Arab siap dipimpin oleh Turki pada masa Utsmaniyah, misalnya.

Kedua: Kesamaan visi dan misi antara rakyat dan penguasa. Karena pengikatnya sama maka tolok ukur antara rakyat dan penguasa (miqyas al-a‘mâl) juga sama, yaitu syariah Islam. Misi hidupnya juga telah ditetapkan oleh Allah, yakni untuk ibadah, dakwah dan jihad. Karenanya, persatuan yang dilahirkan bukan berasal dari kesamaan suku, warna kulit, atau ras melainkan karena kesadaran bahwa syariah Islam mewajibkan umat Islam menjadi ummah wâhidah sekaligus mengharamkan perpecahan.

Ketiga: Adanya institusi pemersatu, yakni Khilafah Islam. Selain akidah dan kesamaan visi misi, persatuan akan benar-benar direalisasi jika ada Khilafah yang menyatukan. Khilafahlah yang kala itu menyatukan umat Islam di benua Asia, Afrika, dan Eropa. Ketika ada upaya untuk memecah-belah umat, Khilafah juga yang menghadangnya. Upaya mengakulturasikan berbagai bangsa itu dilakukan oleh Khalifah. Bahkan perbedaan pandangan disatukan dengan adanya pendapat Khalifah. “Ra‘yu al-Imâm yarfa‘u al-khilâf (Pendapat Imam/Khalifah menghilangkan perbedaan,” begitu bunyi salah satu kaidah ushul. Karenanya, ketika Khilafah diruntuhkan, umat tidak dapat bersatu sekalipun pekik persatuan terdengar dimana-mana.

Keempat: Kemampuan menyelesaikan konflik internal dan menjadikan perbedaan sebagai perekat. Berbagai konflik terjadi, namun dapat diselesaikan. Perbedaan sikap sejak masa Abu Bakar pasca wafat Nabi saw., konflik Ali-Muawiyah, dsb dapat dituntaskan. Perbedaan tetap ada, tetapi kesatuan sebagai umat tetap diutamakan.

Kelima: Keberhasilan mensejahterakan seluruh rakyat. Faktor ini sangat penting. Sebab, tujuan keberadaan masyarakat Islam itu sendiri adalah menegakkan syariah di dalam kehidupan demi kesejahteraan masyarakat. Dalam bidang pendidikan, misalnya, masyarakat gratis sekolah. Sekadar contoh, Madrasah Darul Hikmah yang didirikan oleh Khalifah al-Hakim Biamrillah pada tahun 395 H merupakan institut pendidikan yang dilengkapi dengan perpustakaan yang dibuka untuk umum. Perpustakaannya juga difasilitasi dengan ruang studi, ceramah, dan ruang musik untuk refreshing bagi pembaca. Di al-Mustansyiriyah setiap siswa diberi beasiswa satu dinar sebulan. Ad-Dimsyaqy mengisahkan dari al-Wadliyah bin Atha’, bahwa Umar bin al-Khathab memberikan gaji kepada tiga orang guru yang mengajar anak-anak di kota Madinah masing-masing sebesar 15 dinar setiap bulan (1 dinar = 4,25 gram emas). Artinya, 63,75 gram perbulan. Kalau diuangkan saat sekarang (katakan saja 1 gram emas seharga Rp 90.000), gaji mereka sebesar Rp. 5.737.500. Pada masa Umar bin Abdul Aziz masyarakat sejahtera hingga tak ada yang layak menjadi mustahiq (penerima) zakat. Di Cordova pada masa Abdul Rahman III dan al-Hakam (961-967) yang berpenduduk 1 juta jiwa memiliki 50 rumah sakit, 900 tempat mandi umum, 800 sekolah, 600 masjid, perpustakaan dengan 600.000 jilid buku, ditambah 70 perpustakaan pribadi (Ali Zaki, Islam in the World).

Berdasarkan kenyataan tersebut, jelaslah hanya Khilafah yang dapat menyatukan umat manusia dari berbagai suku, ras, etnis, warna kulit, bahkan agama. Tanpa itu, persatuan dan perdamaian dunia hanyalah omong-kosong. Karenanya, adanya Khilafah benar-benar merupakan kebutuhan sekaligus tuntutan sejarah kemanusiaan. [MR Kurnia]

Read Full Post »

Older Posts »