Feeds:
Posts
Comments

Archive for the ‘Tsaqofah’ Category

Siapa yang memulai perang dunia pertama? Muslim?

Siapa yang memulai perang dunia kedua? Muslim?

Siapa yang membunuh lebih dari 20 juta orang Aborigin? Muslim?

Siapa yang membumi hanguskan Hirosima dan Nagasaki dengan Bom Atom? Muslim?

Siapa yang membunuh lebih dari 100 juta orang Indian di Amerika Utara? Muslim?

Siapa yang membunuh lebih dari 50 juta orang Indian di Amerika Selatan? Muslim?

Siapa yang menjadikan 180 juta orang Afrika sebagai budak dan menjadikan 88% dari mereka korban jiwa yang dibuang di Samudra Atlantik? Muslim?

Ketika seorang non-muslim melakukan hal-hal diatas disebut kejahatan

Ketika seorang muslim baru diduga akan melakukan hal yang sama, mereka dikatakan Teroris!

Buang standar ganda dan definisikan Terorisme dengan benar!

Read Full Post »

HTI: c. Ada perintah dari Rasulullah saw untuk mengoreksi (muhasabah) penguasa hingga taraf memerangi penguasa yang melakukan kekufuran yang nyata (kufran bawahan). Nabi saw memerintahkan para shahabat untuk mengoreksi penguasa dengan pedang, jika telah tampak kekufuran yang nyata. Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Ubadah bin Shamit, bahwasanya dia berkata:

دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ

“Nabi SAW mengundang kami, lalu kami mengucapkan baiat kepada beliau dalam segala sesuatu yang diwajibkan kepada kami bahwa kami berbaiat kepada beliau untu selalu mendengarkan dan taat [kepada Allah dan Rasul-Nya], baik dalam kesenangan dan kebencian kami, kesulitan dan kemudahan kami dan beliau juga menandaskan kepada kami untuk tidak mencabut suatu urusan dari ahlinya kecuali jika kalian (kita) melihat kekufuran secara nyata [dan] memiliki bukti yang kuat dari Allah.”[HR. Imam Bukhari]

 

Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا

“Akan datang para penguasa, lalu kalian akan mengetahui kemakrufan dan kemungkarannya, maka siapa saja yang membencinya akan bebas (dari dosa), dan siapa saja yang mengingkarinya dia akan selamat, tapi siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka)”. Para shahabat bertanya, “Tidaklah kita perangi mereka?” Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat” Jawab Rasul.” [HR. Imam Muslim]

Tatkala berkomentar terhadap hadits ini, Imam Nawawi, dalam Syarah Shahih Muslim menyatakan, “Di dalam hadits ini terkandung mukjizat nyata mengenai kejadian yang akan terjadi di masa depan, dan hal ini telah terjadi sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Rasulullah saw….Sedangkan makna dari fragmen, “”Tidaklah kita perangi mereka?” Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat,” jawab Rasul; adalah ketidakbolehan memisahkan diri dari para khalifah, jika mereka sekedar melakukan kedzaliman dan kefasikan, dan selama mereka tidak mengubah satupun sendi-sendi dasar Islam.”

Hadits di atas menunjukkan bahwa dalam kondisi-kondisi tertentu seorang Muslim wajib mengoreksi penguasa dengan terang-terangan bahkan dengan pedang, jika para penguasanya melakukan kekufuran yang nyata. Hadits-hadits di atas juga menjelaskan bahwa seorang Muslim wajib memisahkan diri dari penguasa-penguasa yang melakukan kekufuran yang nyata. Selain itu, riwayat di atas juga menunjukkan bahwa menasehati penguasa boleh dilakukan dengan pedang, jika penguasa tersebut telah menampakkan kekufuran yang nyata. Lalu, bagaimana bisa dinyatakan bahwa menasehati penguasa harus dilakukan dengan sembunyi-sembunyi (empat mata) dan tidak boleh dilakukan dengan terang-terangan?

Tanggapan Salafy: Hadits itu berbicara mengenai mengganti hakim yang telah kafir dan keluar dari islam dan tidak berbicara tentang cara menasehati penguasa, dan yang kita fahami dari perkataan An Nawawi yang antum bawakan bahwa hakim yang melakukan kezaliman dan kefasiqan maka kita dilarang membangkang dari penguasa seperti itu, tidak pula menasehatinya secara terang-terangan.. dan berhukum dengan hukum selain Allah bukanlah perkara yang membuat pelakunya keluar dari millah islam secara mutlak sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama. Oleh karena itu tidak ada satupun ulama yang memahami dari hadits di atas bolehnya menasehati penguasa secara terangan-terangan, dan yang antum katakan itu berasal dari kantong antum sendiri..

Tanggapan Balik HTI: Kesimpulan antum itu dikarenakan antum tidak melihat keseluruhan 2 hadits yang ana ketengahkan. Pada hadits kedua yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan kata “wa man ankara salima..” Mengingkari penguasa yang tersebut dalam hadits di atas bisa saja dilakukan dengan hati, perbuatan, dan perkataan. Hadits di atas berlaku untuk para penguasa yang masih menegakkan system Islam, dan menjalankan syariat Islam sebagai aturan yang

Ana juga setuju bahwa kita tidak boleh menghukumi kafir orang yang menyimpang dari syariat, atau menerapkan hukum kufur. Semua harus dikembalikan kepada i’tiqadnya atas perbuatan menyimpang itu. Jika ia menerapkan hukum kufur itu atas pengetahuannya dan disertai dengan keyakinan, maka ia telah kafir. Sebaliknya, jika tidak disertai i’tiqad maka dia tidak boleh dihukumi kafir. Ya akh, tolong antum jawab, apa hukum penguasa yang berkata dengan terang-terangan bahwa mereka menyakini kebenaran demokrasi, sekulerisme, dan nasionalisme, bahkan bersumpah untuk membela dan mempertahankan system taghut, bekerjasama dengan orang-orang kafir bahkan rela membunuhi saudara-saudara Mukminnya?

HTI: d. Realitas muhasabah yang dilakukan oleh para shahabat ra terhadap para penguasa. Apabila kita meneliti secara jernih dan mendalam realitas muhasabah hukam yang dilakukan oleh shahabat ra, dapatlah disimpulkan bahwa mereka melakukan muhasabah dengan berbagai macam cara, tidak dengan satu cara saja.

Tanggapan Salafy: Sekali lagi, jangan terlalu gegabah mengambil kesimpulan hanya karena kisah yang antum bawakan itu kebetulan sesuai dengan hawa nafsu, kewajiban kita adalah melihat keadaan suatu kisah dan menimbangnya dengan dalil, agar kita dapat memahaminya dengan benar..

Tanggapan Balik HTI: Berdasarkan hawa nafsu? Lalu apakah antum tidak melihat bagaimana tatacara shahabat mengoreksi penguasa saat itu, dan juga yang dilakukan oleh para ulama salafush shalih?

HTI: Riwayat-riwayat berikut ini menjelaskan kepada kita bagaimana cara-cara muhasabah yang mereka lakukan.

• Di dalam Kitab Al Bidayah wa An Nihayah, juz 8, hal. 217, disebutkan bahwasanya Imam Al Huda al-Husain bin ‘Ali ra, pemimpin pemuda ahlul jannah, memisahkan diri (khuruj) dari penguasa fajir Khalifah Yazid bin Mu’awiyyah. Imam Husain ra dibai’at oleh penduduk Kufah pada tahun 61 H. Beliau ra juga mengutus anak pamannya, Muslim bin ‘Aqil ra untuk mengambil bai’at penduduk Kufah untuk dirinya. Dan tidak kurang 18 ribu orang membai’at dirinya. Dan di dalam sejarah, tak seorang pun menyatakan bahwa Imam Husain ra dan penduduk Kufah pada saat itu termasuk firqah (kelompok) yang sesat )”.[Al Bidayah wa An Nihayah, juz 8/217] Inilah cara yang dilakukan oleh Imam Husain bin ‘Ali ra untuk mengoreksi (muhasabah) kepemimpinan Yazid bin Mu’awiyyah.

Tanggapan Salafy: Aneh, mengapa antum tidak membawakan juga pengingkaran para shahabat terhadap perbuatan Husain tsb, padahal ibnu Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah menyebutkan shahabat-shahabat yang mengingkari Husain, yaitu Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu Sa’id Al Khudri, Jabir bin Abdillah, Abu Waqid Al laitsi (Al Bidayah wan Nihayah 8/163 cet Maktanah Al Ma’arif) juga pengingkaran kibar tabi’in terhadap Husain seperti Sa’id bin Musayyib dan Abu Salamah bin Abdurrahman.. dan bukankah dalam kisah yang dikisahkan oleh ibnu Katsir menyebutkan bahwa Husain sebenarnya tertipu oleh Ahli Kufah yang meminta agar Husain datang kepada mereka..

Adapun perkataan antum bahwa tidak ada seorangpun menyatakan bahwa Al Husain termasuk firqah sesat, itu karena beliau melakukan perbuatan tersebut bukan karena mengikuti hawa nafsu namun karena ijtihad beliau yang salah, berbeda dengan kalian yang berusaha mencari-cari dalil yang sesuai dengan hawa nafsu.. yang seharusnya kewajiban kalian adalah mengikuti para ulama sunnah dalam masalah-masalah besar seperti ini..

Tanggapan Balik HTI: Tanggapan antum itu jelas menunjukkan bahwa antum tidak konsisten dalam berdalil. Di satu sisi antum mencela mengoreksi penguasa dengan terang2an, tapi, pada saat ana ketengahkan hujjah jaliyyah bagaimana shahabat besar mengoreksi khalifahnya dengan terang-terangan, namun antum malah membela perbuatan mereka dengan alasan ijtihadnya boleh salah ? Namun giliran ikhwan-ikhwan Hizbut Tahrir yang mengoreksi penguasa secara terang-terangan sama persis seperti yang dilakukan oleh shahabat-shahabat besar itu, antum bilangnya berdasarkan hawa nafsu! Padahal, apa yang dilakukan ikhwan-ikhwan Hizbut Tahrir adalah mencontoh perbuatan shahabat dan juga berdasarkan hujjah qawwiyah, bukan berdasarkan hawa nafsu seperti yang antum tuduhkan. Semoga Allah menunjukki antum dan membersihkan hati antum dari sifat-sifat keji seperti itu. . Pengingkaran Ibnu ‘Abbas, dan lain-lain terhadap Husein bin Ali bukan karena apa yang dilakukan oleh Husein bin Ali itu berhukum haram –seperti pandangan antum yang mengharamkan muhasabah lil hukkam dengan terang2an)— namun dikarenakan Ibnu Abbas khawatir akan pengkhianatan penduduk Kufah. Seandainya mengoreksi penguasa dengan terang-terangan haram, niscaya Husein bin Ali rahmatullahi wa baarakatuhu ‘alaih tidak akan keluar menuju Kufah. Jelas sudah, bahwa mengoreksi penguasa itu hukum asalnya disampaikan dengan terang-terangan!

HTI: • Sebelum Imam Husain bin ‘Ali ra, kaum Muslim juga menyaksikan Ummul Mukminin ‘Aisyah ra yang memimpin kaum Muslim untuk khuruj dari Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. Inilah cara Ummul Mukminin ‘Aisyah ra mengoreksi Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. Hingga akhirnya, meletuslah peperangan yang sangat besar dan terkenal dalam sejarah umat Islam, Perang Jamal.

Tanggapan Salafy: Ini juga kesalahan pemahaman antum, karena kepergian Aisyah sebagaimana yang diceritakan oleh Ibnu Katsir adalah untuk meminta agar para pembunuh Utsman di qishash, dan kepergian Aisyah ini telah diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kesalahan perbuatannya, ibnu Katsir menuturkan: “mereka (pasukan Aisyah) melewati sebuah perkampungan yang bernama Hau-ab, lalu anjing-anjing di situ menggonggonginya, maka ketika Aisyah mendengar suara anjing itu, beliau bertanya: “Apa nama tempat ini? Mereka berkata: “Hau-ab”. Lalu Aisyah memukulkan salah satu tangannya kepada yang lainnya dan berkata: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raji’un, aku harus kembali”. Mereka berkata: “Mengapa?” Aisyah berkata: “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada istri-istrinya:

أَيَّتُكُنَّ تَنْبَحُ عَلَيْهَا كِلَابُ الْحَوْأَبِ

“Siapakah di antara kalian yang digonggongi oleh anjing-anjing Hau-ab”. (HR Ahmad).Kemudian Aisyah memukul lengan untanya agar duduk, beliau berkata: “Kembalikan aku! Kembalikan aku! Demi Allah ternyata aku yang digonggongi ajing-anjing Hau-ab.. (Al Bidayah wan Nihayah 7/231-232 cet. Maktabah Al Ma’arif).

Tanggapan Balik HTI: Wahai akhi, itulah yang disebut dengan muhasabah lil hukkam! Jelas bahwa ‘Aisyah ra melakukan muhasabah dengan terang-terangan! Meminta agar penguasa menerapkan hukuman qishash atas pembunuh Utsman jelas-jelas merupakan tindakan mengoreksi penguasa. Pasalnya, ‘Ali bin Abi Thalib ra menunda pelaksanaannya. Selain itu, jika perbuatan ‘Aisyah ra tersebut bukan ditujukan untuk mengoreksi penguasa, niscaya ia tidak akan disertai oleh pasukan perang, hingga akhirnya meletus perang Jamal.

HTI: • Ketika Umar bin Khaththab ra berkhuthbah di hadapan kaum Muslim, setelah beliau diangkat menjadi Amirul Mukminin, beliau berkata, “Barangsiapa di antara kalian melihatku bengkok, maka hendaklah dia meluruskannya”. Seorang laki-laki Arab berdiri dan berkata, “Demi Allah wahai Umar, jika kami melihatmu bengkok, maka kami akan meluruskannya dengan tajamnya pedang kami”.

Tanggapan Salafy: sayangnya anda tidak membawakan sanad kisah tersebut, dan menelitinya apakah kisah tersebut shahih atau tidak. Kisah seperti ini kalaupun shahih, tidak bisa dijadikan hujjah, karena perbuatan laki-laki arab itu bertentangan dengan petunjuk Nabi dalam menasehati pemimpin, namun boleh jadi antum berkata: “Tetapi Umar tidak mengingkarinya”. Kita jawab: “Diamnya Umar boleh jadi karena si arab itu lelaki yang bodoh, sedangkan Allah menyuruh kita untuk berpaling dari orang yang bodoh, dan tidak membalasnya dengan kebodohan. Sebagaimana di sebutkan dalam kisah bahwa ‘Uyainah pernah berkata kepada Umar: “Wahai ibnul Khathab! Kamu tidak mau memberi kami banyak dan tidak pula menghukumi dengan adil, maka Umar marah namun diingatkan oleh Al Hurr dengan ayat yang menyuruh untuk berpaling dari orang-orang yang bodoh..(HR Bukhari).Maka hikayat perbuatan seperti ini disebut dalam ushul fiqih sebagai waqa’iul a’yaan yang tidak bermakna umum.

Tanggapan Bali HTI:

Antum bilang hal ini waqi’ul hayaan dan bertentangan dengan petunjuk Nabi dalam menasehati penguasa? Antum berkesimpulan seperti itu disebabkan karena antum punya pandangan bahwa muhasabah lil hukkam itu harus rahasia karena ada hadits yang menunjukkan. Padahal hadits itu lemah. Seandainya antum tidak berpandangan seperti itu, niscaya antum tidak akan mengetengahkan kesimpulan premature tersebut. Yang benar, hukum asal muhasabah lil hukkam itu dilakukan dengan terang-terangan, dan boleh dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Ketentuan seperti ini didasarkan pada dalil-dalil umum yang berbicara tentang menasehati penguasa. Adapun riwayat Imam Bukhari yang antum ketengahkan itu sama sekali tidak berhubungan dengan haramnya mengoreksi penguasa dengan terang-terangan. Sebab, bolehnya melakukan muhasabah lil hukkam baik dengan terang-terangan maupun sembunyi ditetapkan berdasarkan nash-nash umum. Contohnya adalah; perhatikan hadits dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Nabi bersabda, “Sesungguhnya Allah meridloi kalian tiga hal, dan membenci kepada kalian tiga hal. Allah swt meridloi kalian beribadah kepadaNya semata dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun; kalian berpegang teguh dengan tali Allah secara bersama-sama; dan kalian menasehati orang yang mengatur urusan kalian (penguasa). Dan Allah membenci untuk kalian, qiila wa qaala, terlalu banyak bertanya, dan menyia-nyiakan harta”.[HR. Imam Bukhari dalam Adab al-Mufrad, dan Imam Muslim], dan masih banyak lagi.

Ana perlu terangkan lagi, bahwa perkataan dan perbuatan shahabat bukanlah dalil syariat. Yang wajib dijadikan dalil syariat adalah al-Quran, Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qiyas. Kisah itu menunjukkan para shahabat memahami bahwa mengoreksi penguasa itu boleh dilakukan secara terang-terangan atau rahasia, berdasarkan nash-nash umum, bukan karena yang lain. Dan kita diperkenankan taqlid kepada mereka dalam masalah hukum syariat yang mereka istinbathkan dari dalil umum. Apa yang dilakukan oleh Umar bin Khaththab ra tentu saja berdasarkan dalil, bukan karena hawa nafsu.

HTI: • Pada saat Umar bin Khaththab ra mengenakan baju dari kain Yaman yang di dapat dari harta ghanimah. Beliau ra kemudian berkhuthbah di hadapan para shahabat dengan baju itu, dan berkata, “Wahai manusia dengarlah dan taatilah…” Salman Al Farisi ra, seorang shahabat mulia berdiri seraya berkata kepadanya, “Kami tidak akan mendengar dan mentaatimu”. Umar berkata, “Mengapa demikian?” Salman menjawab, “Dari mana kamu mendapat pakaian itu, sedangkan kamu hanya mendapat satu kain, sedangkan kamu bertubuh tinggi? Beliau menjawab, “Jangan gesa-gesa, lalu beliau memanggil, “Wahai ‘Abdullah”. Namun tidak seorang pun menjawab. Lalu beliau ra berkata lagi, “Wahai ‘Abdullah bin Umar..”. ‘Abdullah menjawab, “Saya wahai Amirul Mukminin”. Beliau berkata, “Bersumpahlah demi Allah, apakah kain yang aku pakai ini kainmu? Abdullah bin Umar menjawab, “Demi Allah, ya”. Salman berkata, “Sekarang perintahlah kami, maka kami akan mendengar dan taat”. [‘Abdul ‘Aziz Al Badriy, Al-Islam bain al-‘Ulama’ wa al-Hukkam Ihitam Putih Wajah Ulama dan Penguasa.terj), hal. 70-71]

Tanggapan Salafy: Anda pun tidak membawakan sanadnya untuk dapat diperiksa apakah shahih atau tidak, memang demikian keadaan pengikut hawa nafsu, ketika ia mendapatkan kabar yang sesuai dengan hawa nafsunya, segera diambilnya tanpa melihat apakah kisah itu shahih atau tidak..

Kalaupun kisah itu shahih, tidak dapat dijadikan hujjah, karena perbuatan shahabat itu bila bertentangan dengan dalil, tidak dapat diterima. Terlebih Di sini Salman hanya ingin tatsabbut saja mengenai dua pakaian yang diambil oleh Umar, dan Umar seorang pemimpin yang adil membiarkan Salman berbuat demikian karena ketawadlu’an beliau, dan bukan berarti perbuatan menasehati penguasa secara terang-terangan diperbolehkan, karena kisah ini hanyalah hikayat perbuatan, dan sebagaimana telah disebutkan dalam ushul fiqih bahwa sebatas hikayat perbuatan mengandung banyak kemungkinan, sehingga tidak dapat dijadikan hujjah, lebih-lebih bila bertentangan dengan dalil.

Tanggapan Balik HTI:

Perbuatan shahabat di atas, baik Salman maupun Umar tentu saja tidak bertentangan dengan dalil. Pasalnya ada dalil umum yang menunjukkan bolehnya mengoreksi penguasa baik dengan terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Memang benar, apa yang dilakukan oleh Salman dan Umar bukanlah dalil syariat. Tetapi, perbuatan yang mereka lakukan tentu saja berdasarkan dalil yang mereka pahami, baik dari al-Quran maupun sunnah. Bisa jadi keduanya menyandarkan perbuatannya itu berdasarkan nash-nash umum yang berbicara tentang menasehati penguasa, misalnya hadits yang diriwayatkan dari Abu ‘Abdillah Thariq bin Syihab al-Bailiy al-Ahmasy ra, bahwasanya ada seorang laki2 bertanya kepada Nabi saw, “Jihad apa yang paling utama? Nabi menjawab, “Kalimat haq yang disampaikan di hadapan penguasa jahat”. [Imam An Nasaaiy, isnadnya shahih. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Baihaqiy]. Imam Ahmad meriwayatkan dari Jabir ra, “…..Nabi bersabda, “Berbai’atlah kalian kepadaku untuk selalu mendengar dan taat baik dalam keadaan lapang maupun malas, berinfaq dalam keadaan susah maupun mudah, dan agar melakukan amar makruf nahi ‘anil mungkar, dan kalian kalian selalu berkata karena Allah: Tidak pernah takut celaan manusia [dalam menyampaikan kebenaran]“. [Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim]

Bagi orang yang tidak memiliki kemampuan ijtihad, maka ia boleh taqlid kepada ulama yang faqih, seperti Umar dan Salman al-Farisi.

HTI: • Amirul Mukminin Mu’awiyyah berdiri di atas mimbar setelah memotong jatah harta beberapa kaum Muslim, lalu ia berkata, “Dengarlah dan taatilah..”. Lalu, berdirilah Abu Muslim Al Khulani mengkritik tindakannya yang salah, “Kami tidak akan mendengar dan taat wahai Mu’awiyyah!”. Mu’awiyyah berkata, “Mengapa wahai Abu Muslim?”. Abu Muslim menjawab, “Wahai Mu’awiyyah, mengapa engkau memotong jatah itu, padahal jatah itu bukan hasil jerih payahmu dan bukan pula jerih payah ibu bapakmu? Mu’awiyyah marah dan turun dari mimbar seraya berkata kepada hadirin, “Tetaplah kalian di tempat”. Lalu, dia menghilang sebentar dari pandangan mereka, lalu keluar dan dia sudah mandi. Mu’awiyyah berkata, “Sesungguhnya Abu Muslim telah berkata kepadaku dengan perkataan yang membuatku marah. Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, “Kemarahan itu termasuk perbuatan setan, dan setan diciptakan dari api yang bisa dipadamkan dengan air. Maka jika salah seorang di antara kalian marah, hendaklah ia mandi”. Sebenarnya saya masuk untuk mandi. Abu Muslim berkata benar bahwa harta itu bukan hasil jerih payahku dan bukan pula jerih payah ayahku, maka ambillah jatah kalian”.[Hadits ini dituturkan oleh Abu Na’im dalam Kitab Al-Khiyah, dan diceritakan kembali oleh Imam Al Ghazali dalam Kitab Al Ihya’, juz 7, hal. 70]

Tanggapan Salafy: Kisah itu dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah (2/130) dari jalan Abdul Majid bin Abdul ‘Aziz dari Yasin bin Abdillah bin Urwah dari Abu Muslim Al Kahulani. Dan sanad ini lemah karena Yasin bin Abdullah ini tidak diketahui siapa ia, sedangkan Abdul Majid padanya terdapat kelemahan, Ibnu Hajar berkata: “Shaduq yukhti”. Dan ibnu Hibban berkata: “Mungkar hadits jiddan, suka membalikan kabar dan meriwayat hadits-hadits yang mungkar dari paerawi-perawi masyhur sehingga berhak untuk ditinggalkan”. (Al Majruhin 2/152). Karena kisah ini lemah maka tidak bias dijadikan hujjah.

HTI: • Seorang ulama besar, Syaikh Mundzir bin Sa’id mengkritik sangat keras Khalifah Abdurrahman An Nashir Lidinillah ra yang telah menguras harta pemerintahan untuk mempermegah dan memperindah kota Az Zahra. Ulama besar ini mengkritik sang Khalifah dalam khuthbah Jum’atnya secara terang-terangan di depan Khalifah An Nashir dan dihadiri orang penduduk kota Az Zahra. [Abdul Hamid Al Ubbadi, Min Akhlaq al-‘Ulamaa’, Majalah Al Azhar, Ramadhan, 1371 H]

• Dalam Kitab Qalaaid Al Jawaahir disebutkan bahwasanya Syaikh Abdul Qadir Al Kailaniy berdiri di atas mimbar untuk mengkritik dan memberikan nasehat kepada Gubernur Yahya bin Sa’id yang terkenal dengan julukan Abnu Mazaahim Adz Dzaalim Al Qadla. Syaikh Abdul Qadir Al Kailaniy berkata, “Semoga orang Islam tidak dipimpin oleh oirang yang paling dzalim; maka apa jawabanmu kelak ketika menghadap Tuhan semesta alam yang paling pengasih? Gubernur itu gemetar dan langsung meninggalkan apa yang dinasehatkan kepadanya”. [Qalaaid Al Jawaahir, hal. 8]

• Sulthan al-’Ulama, Al ‘iz bin Abdus Salam telah mengkritik Raja Ismail yang telah bersekongkol dengan orang-orang Eropa Kristen untuk memerangi Najamuddin bin Ayyub. Ulama besar ini tidak hanya membuat fatwa, tetapi juga mengkritik tindakan Raja Ismail di depan mimbar Jum’at di hadapan penduduk Damaskus. Saat itu Raja Ismail tidak ada di Damaskus. Akibat fatwa dan khuthbahnya yang tegas dan lurus, Al ‘Iuz ‘Abdus Salam dipecat dari jabatannya dan dipenjara di rumahnya. [As Subki, Thabaqat, dan lain-lain]

Tanggapan Salafy: Kisah-kisah ini kalaupun benar tidak bisa dijadikan hujah, karena perbuatan ulama bukan dalil, lebih-lebih bila bertentangan dengan dalil. Dalil itu adalah Al Qur’an dan sunnah, terlebih kisah itu masih diragukan, karena kisah tersebut tidak disebutkan dalam kitab-kitab mu’tabar.

HTI: Kisah-kisah di atas menunjukkan bagaimana cara para ulama shalih dan mukhlish menasehati penguasa-penguasanya. Kisah-kisah semacam ini sangat banyak disebut di dalam kitab-kitab tarikh. Mereka tidak segan-segan untuk menasehati para penguasa menyimpang dan dzalim secara terang-terangan, mengkritik kebijakannya di mimbar-mimbar terbuka, maupun fatwa-fatwanya.

Tanggapan Salafy: Kisah-kisah seperti itu tidak banyak dilakukan oleh ulama, terlebih ulama salaf terdahulu, justru kebalikannya itulah yang banyak, bila kita baca sejarah para ulama, akan kita dapati mereka adalah orang yang paling melarang membangkang kepada penguasa, seperti kisah yang terjadi pada zaman imam Ahmad bin hanbal rahimahullah, Hanbal mengisahkan bahwa para Fuqoha Baghdad di Zaman kepemimpinan Al Watsiq berkumpul kepada Abu ‘Abdillah (imam Ahmad), mereka berkata,” Sesungguhnya fitnah ini telah menjadi besar dan tersebar (yaitu pemikiran bahwa Al Qur’an itu makhluk dan kesesatan lainnya) dan kami tidak rela dengan kepemimpinan Al Watsiq dan kekuasaannya “.

Imam Ahmad berdialog dengan mereka dalam perkara ini, beliau berkata,” Hendaklah kalian mengingkari dengan hati kalian dan jangan melepaskan diri dari keta’atan, jangan memecah belah kaum muslimin, dan jangan menumpahkan darah kaum muslimin bersama kalian. Lihatlah akibat buruk perbuatan kalian, dan bersabarlah sampai beristirahat orang yang baik dan diistirahatkan dari orang yang jahat “. Beliau berkata lagi,” Perbuatan ini (pemberontakan) tidak benar dan menyelisihi atsar (sunnah) “.[1]

Para fuqaha yang banyak itu sepakat dengan imam Ahmad setelah ditegakkan hujjah oleh imam Ahmad, padahal imam Ahmad disiksa oleh penguasa di zamannya. Coba bandingkan dengan perbuatan firqah HTI, apakah perbuatan mereka seperti yang dilakukan oleh imam Ahmad dan para fuqaha??!

Tanggapan Balik HTI:

Semoga Allah menunjuki antum. Wahai akhiy, perkataan Imam Ahmad di atas sama sekali tidak menunjukkan bahwa beliau mengharamkan menasehati penguasa dengan terang-terangan, atau mengharamkan khuruj diri dari penguasa dalam keadaan tertentu. Sebab, perkataan dengan menggunakan shighat nahyi belum tentu bermakna keharaman. Imam Ahmad juga meriwayatkan hadits-hadits yang berbicara tentang menasehati penguasa secara umum [kalimat ‘adl ‘inda sulthan jaair), dan beliau juga mengetahui hadits-hadits yang menuturkan wajibnya memisahkan diri dari penguasa-penguasa yang telah terjatuh kepada kekufuran yang nyata (kufran bawahan). Beliau juga memahami kisah-kisah khurujnya para shahabat dan bagaimana tata cara mereka menasehati penguasa. Jadi, kesimpulan yang menyatakan bahwa Imam Ahmad sepaham dengan antum adalah keinginan antum untuk membenarkan pendapat ringkih antum!

Hizbut Tahrir pun menyakini dan membenarkan bahwa memisahkan diri dari Khalifah tanpa alasan yang haq, memecah belah persatuan kaum Muslim, dan membunuh kaum Muslim tanpa alasan yang jelas adalah haram dan harus dijauhi, sebagaimana maqalah Imam Ahmad rahimahullah. Kami juga berpandangan bahwa mentaati Khalifah yang fasiq dan dzalim adalah kewajiban. Bahkan seorang Muslim dilarang memisahkan diri dari Khalifah yang sah, meski dzalim dan fasiq. Namun, jika Khalifah telah menampakkan kekufuran yang nyata maka tidak ada ketaatan kepadanya, bahkan jika memungkinkan harus dikoreksi dengan pedang. Inilah pandangan lurus yang dipegang oleh ikhwan-ikhwan Hizbut Tahrir (rahmatullahi ‘alaihim wa baarakatuhu), sebagaimana pandangan Imam Ahmad.

Sedangkan nasehat Imam Ahmad — yang antum catut untuk membenarkan pandangan antum yang keliru itu–, sebenarnya ditujukan agar kaum Muslim pada saat itu tidak tertimpa resiko yang besar akibat menasehati penguasa yang dzalim dan fasiq, Perkataan beliau ra sama sekali tidak menunjukkan bahwa beliau melarang menasehati penguasa dengan terang-terangan. Pasalnya, beliau meriwayatkan hadits-hadits umum tentang amar makruf dengan tangan, lisan, dan hati.

Dan perlu ana sampaikan, maqalah Imam Ahmad tersebut ditujukan untuk Khalifah yang masih menerapkan sistem Khilafah dan menerapkan syariat Islam, dan sama sekali tidak ditujukan untuk para penguasa sekarang yang jelas-jelas telah mengubah sendi-sendi Islam dan suka bersekongkol dengan penguasa-penguasa kafir. Waqi’ al-hadiitsahnya (realitas kejadiaannya) berbeda. Jika realitasnya berbeda berarti antum tidak bisa menganalogkannya dengan penguasa sekarang. Wallahu al-musta’an wahuwa waliyu at-taufiq.

HTI: Lalu, bagaimana bisa dinyatakan bahwa menasehati penguasa haruslah dengan empat mata saja, sementara ulama-ulama yang memiliki ilmu dan ketaqwaannya justru memilih melakukannya dengan terang-terangan dan terbuka?

Tanggapan: Para ulama yang antum ikuti itu tidak jelas kebenaran sanadnya, antum hanya sebatas membeo dan tidak meneliti kebenarannya, namun demikianlah sifat pengikut hawa nafsu.. sementara kisah-kisah ulama yang jelas sesuai dengan sunnah dalam menasehati penguasa, antum tutup-tutupi, hanya untuk mengelabui orang awam.

Tanggapan Balik:

Berkali-kali harus ana sampaikan bahwa hukum asal menasehati penguasa adalah dilakukan dengan terang-terangan, berdasarkan keumuman nash-nash Al-Quran dan Sunnah yang berbicara tentang amar makruf nahi ‘anil mungkar. Pendapat ini dipegang oleh para shahabat, dan juga dipahami oleh para ulama mu’tabar, melalui riwayat-riwayat yang mereka tuturkan. Jadi sebuah tuduhan dan kebohongan jka antum menuduh HT mengikuti ulama yang tidak bersanad ilmu! Malah, kami meragukan apa guru-guru antum itu punya sanad ilmu; atau jangan-jangan hanya belajar kitab-kitab doing! Ini terlihat betapa seringnya guru-guru antum memberi fatwa hukum yang justru memperkuat penguasa-penguasa sekarang, dengan cara menukil secara keliru pendapat ulama mu’tabar!

HTI: Kelemahan hadits riwayat Imam Ahmad. Nash-nash qath’iy telah menunjukkan kepada kita bahwa hukum asal nasehat itu harus disampaikan secara terang-terangan, dan tidak boleh sembunyi-sembunyi. Al Quran dan Sunnah telah menyebut masalah ini dengan sangat jelas.

Tanggapan: Qath’iy yang anda kira ternyata lebih lemah dari sarang laba-laba, karena dalil-dalil yang anda bawakan telah kita jelaskan kelemahannya dalam memahaminya..

Tanggapan Balik:

Pendapat antum itulah yang ringkih dan lapuk seperti rumah anai-anai! Dalil-dalil yang menunjukkan bahwa hukum asal mengoreksi penguasa itu secara terang-terangan, berdasarkan nash-nash Quran. Ana tidak menyebutkan semua tapi hanya sebagian kecil saja. Misalnya firman Allah swt

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”.[TQS Ali Imron (3):110]

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.[TQS At Taubah (9):71]

“Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”, Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)”.[TQS An Nahl (16):36]

“Telah dila’nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan Munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir (musyrik). Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka; dan mereka akan kekal dalam siksaan. Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi (Musa) dan kepada apa yang diturunkan kepadanya (Nabi), niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi penolong-penolong, tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik. .[TQS Al Maidah (5):78-81]

Pastilah antum akan mengatakan bahwa ayat-ayat ini hanya berbicara tentang amar makruf nahi ‘anil mungkar dan tidak menerangkan tatacara menasehati penguasa. Ana jawab, wahai akhiy, ayat-ayat di atas adalah ayat umum yang memerintahkan kaum Muslim untuk menyampaikan kebenaran kepada siapa saja tanpa ada batasan, baik penguasa, rakyat, laki-laki maupun wanita. Ayat di atas juga tidak membatasi cara untuk menyampaikan kebenaran itu, baik dengan terang-terangan maupun sembunyi.

Dalam sunnah, ana akan sampaikan beberapa hadits saja –meskipun sebenarnya banyak hadits–,

“Siapa saja melihat kemungkaran hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya, jika tidak mampu dengan lisannya, jika tidak mampu dengan hatinya..”[HR.Imam Muslim, Tirmidziy, Ibnu Majah, dan An Nasaaiy]

“Seutama-utama jihad adalah kalimat haq yang disampaikan di depan penguasa fajir”. [HR. Imam Ahmad, dalam Musnad Imam Ahmad]

“Tidaklah seorang Nabi yang Allah swt utus untuk umat sebelumku, kecuali ia memiliki hawariyyun dan shahabat-shahabat yang mengambil sunnahnya dan mengikuti perintahnya. Setelah itu, mereka diganti oleh orang-orang sesudah mereka mengatakan apa yang tidak mereka lakukan, melakukan apa yang tidak diperintahkan kepada mereka. Siapa saja yang jaahadahum (bersungguh-sungguh mencegah mereka) dengan tangannya, maka ia Mukmin. Siapa yang bersungguh-sungguh mencegahnya dengan lisannya, maka ia Mukmin, dan barangsiapa bersungguh-sungguh mencegahnya dengan hatinya, maka ia Mukmin; dan tidak ada lagi iman seberat biji sawipun di balik itu”. [HR. Imam Muslim] Imam Ahmad juga meriwayatkan hadits ini dengan syahid makna]

“Kami membai’at Rasulullah saw agar selalu mendengar dan mentaati baik dalam keadaan susah maupun ringan, dalam keadaan senang maupun benci, dan agar kami tidak mencabut kekuasaan dari pemiliknya, kecuali jika kamu melihat kekufuran nyata yang ada bukti bagi kamu di sisi Allah; dan agar kami mengatakan kebenaran di mana pun kami berada, tanpa kami takut celaan dalam menyampaikan kebenaran dari Allah”[HR. Imam Bukhari dan Muslim]

Inilah dalil-dalil jaliy yang menunjukkan bahwa hukum asal mengoreksi penguasa itu disampaikan dengan sungguh-sungguh dan terang-terangan, tanpa takut celaan orang-orang yang mencela.

Keumuman hadits-hadits ini tidak bisa ditakhshish oleh riwayat ‘Iyadl bin Ghanm Pasalnya, selain hadits itu dla’if, makna hadits Iyadl bin Ghanm hanya menunjukkan rukhshash dan al-irsyad. Tidak lebih.

Sesudah penjelasan ini, masihkah ada orang yang mengatakan bahwa mengoreksi penguasa itu harus sembunyi-sembunyi?

HTI: Namun, sebagian orang awam menyangka ada riwayat yang mengkhususkan ketentuan ini. Mereka berpendapat bahwa mengoreksi penguasa harus dilakukan dengan empat mata, karena ada dalil yang mengkhususkan. Mereka berdalih dengan hadits yang sumbernya (tsubutnya) masih perlu dikaji secara mendalam. Hadits itu adalah hadits yang riwayatkan oleh Imam Ahmad.

Imam Ahmad menuturkan sebuah hadits dan berkata:

حَدَّثَنَا أَبُو الْمُغِيرَةِ حَدَّثَنَا صَفْوَانُ حَدَّثَنِي شُرَيْحُ بْنُ عُبَيْدٍ الْحَضْرَمِيُّ وَغَيْرُهُ قَالَ جَلَدَ عِيَاضُ بْنُ غَنْمٍ صَاحِبَ دَارِيَا حِينَ فُتِحَتْ فَأَغْلَظَ لَهُ هِشَامُ بْنُ حَكِيمٍ الْقَوْلَ حَتَّىغَضِبَ عِيَاضٌ ثُمَّ مَكَثَ لَيَالِيَ فَأَتَاهُ هِشَامُ بْنُ حَكِيمٍ فَاعْتَذَرَ إِلَيْهِ ثُمَّ قَالَ هِشَامٌ لِعِيَاضٍ أَلَمْ تَسْمَعْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَابًا أَشَدَّهُمْ عَذَابًا فِي الدُّنْيَا لِلنَّاسِ فَقَالَ عِيَاضُ بْنُ غَنْمٍ يَا هِشَامُ بْنَ حَكِيمٍ قَدْ سَمِعْنَا مَا سَمِعْتَ وَرَأَيْنَا مَا رَأَيْتَ أَوَلَمْ تَسْمَعْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ وَإِنَّكَ يَا هِشَامُ لَأَنْتَ الْجَرِيءُ إِذْ تَجْتَرِئُ عَلَى سُلْطَانِ اللَّهِ فَهَلَّا خَشِيتَ أَنْ يَقْتُلَكَ السُّلْطَانُ فَتَكُونَ قَتِيلَ سُلْطَانِ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى

“Telah meriwayatkan kepada kami Abu Al Mughirah, dan dia berkata, “Telah menuturkan kepada kami Shofwan, dan ia berkata, “Telah meriwayatkan kepadaku Syuraih bin ‘Ubaid al Hadlramiy dan lainnya, dia berkata, “‘Iyadl bin Ghanm mendera penduduk Dariya, ketika berhasil dikalahkan. Hisyam bin Hakim pun mengkritik Iyadl bin Ghanm dengan kasar dan keras, hingga ‘Iyadl marah. Ketika malam datang, Hisyam bin Malik mendatangi ‘Iyadl, dan meminta maaf kepadanya. Lalu Hisyam berkata kepada ‘Iyadl, “Tidakkah engkau mendengar Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya manusia yang mendapat siksa paling keras adalah manusia yang paling keras menyiksa manusia di kehidupan dunia”. ‘Iyadl bin Ghanm berkata, “Ya Hisyam bin Hakim, sungguh, kami mendengar apa yang engkau dengar, dan kami juga menyaksikan apa yang engkau saksikan; tidakkah engkau mendengar Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa hendak menasehati penguasa (orang yang memiliki kekuasaan untuk memerintah), maka janganlah menasehatinya dengan terang-terangan, tetapi ambillah tangannya, lalu menyepilah dengannya. Jika ia menerima nasehat, maka baginya pahala, dan jika tidak, maka ia telah menunaikan apa yang menjadi kewajibannya untuk orang itu. Sesungguhnya, engkau ya Hisyam, kamu sungguh berani, karena engkau berani kepada penguasanya Allah. Lalu, tidakkah engkau takut dibunuh oleh penguasanya Allah, dan engkau menjadi orang yang terbunuh oleh penguasa Allah tabaaraka wa ta’aala”.[HR. Imam Ahmad]

‘Iyadl bin Ghanm adalah Ibnu Zuhair bin Abiy Syadad, Abu Sa’ad al-Fahri. Beliau adalah seorang shahabat yang memiliki keutamaan. Beliau termasuk shahabat yang melakukan bai’at Ridlwan; dan wafat pada tahun 20 H di Syams.

Hisyam bin Hakim bin Hazam bin Khuwailid al-Qurasyiy al-Asdiy adalah shahabat yang memiliki keutamaan, dan beliau adalah putera dari seorang shahabat. Beliau wafat pada awal-awal masa kekhilafahan Mu’awiyyah bin Abi Sofyan. Ada orang yang menduga bahwa beliau meraih mati syahid di Ajnadain. Beliau disebut di dalam Kitab Shahih Bukhari dan Muslim dalam haditsnya Umar tatkala ia mendengarnya membaca surat Al Furqan. Beliau wafat sebelum ayahnya meninggal dunia. Imam Muslim, Abu Dawud, dan An Nasaaiy menuturkan hadits dari beliau, sebagaimana disebutkan dalam Kitab At Taqriib.

Di dalam Kitab Tahdziib al-Kamal, Al Maziy berkata, “Diriwayatkan darinya:…dan ‘Urwah bin Az Zubair…hingga akhir. Adapun Syuraih bin ‘Ubaid al-Hadlramiy al-Hamashiy, dia adalah seorang tabi’in tsiqqah (terpercaya). Riwayatnya dari shahabat secara mursal, sebagaimana disebut dalam Tahdziib al-Kamal, “Mohammad bin ‘Auf ditanya apakah Syuraih bin ‘Ubaid al-Hadlramiy mendengar dari Abu Darda’? Mohammad bin ‘Auf menjawab, “Tidak”. Juga ditanyakan kepada Mohammad bin ‘Auf, apakah dia mendengar dari seorang shahabat Nabi saw? Dia menjawab, “Saya kira tidak. Sebab, ia tidak mengatakan dari riwayatnya, “saya mendengar”. Dan dia adalah tsiqqah (terpercaya)”.

Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Kitab At Taqriib mengatakan, “Dia tsiqqah (terpercaya), dan banyak meriwayatkan hadits secara mursal; karena tadlisnya. Ibnu Abi Hatim di dalam Kitab Al Maraasiil berkata, “Saya mendengar ayahku berkata, “Syuraih bin ‘Ubaid tidak pernah bertemu dengan Abu Umamah, al-Harits bin Harits, dan Miqdam. Ibnu Abi Hatim berkata, “Saya mendengar bapakku berkata, “Syuraih bin ‘Ubaid menuturkan hadits dari Abu Malik Al Asy’ariy secara mursal”.

Jika Syuraih bin ‘Ubaid tidak pernah bertemu dengan Abu Umamah Shadiy bin ‘Ijlaan al-Bahiliy ra yang wafat pada tahun 76 H dan Miqdam al-Ma’diy Karab ra yang wafat pada tahun 87 H, maka bagaimana bisa dinyatakan bahwa Syuraih bin ‘Ubaid bertemu dengan Hisyam bin Hakim yang wafat pada awal-awal pemerintahan Mu’awiyyah, lebih-lebih lagi ‘Iyadl bin Ghanm yang wafat pada tahun 20 Hijrah pada masa ‘Umar bin Khaththab ra?

Selain itu, Syuraih bin ‘Ubaid ra meriwayatkan hadits itu dengan ta’liq (menggugurkan perawi atasnya) dan di dalam hadits itu tidak ada satupun indikasi yang menunjukkan bahwa ia hadir dalam kisah itu, atau mendengar orang yang mengisahkan kisah tersebut. Dengan demikian, hadits di atas harus dihukumi sebagai hadits munqathi’ (terputus), dan tidak layak dijadikan sebagai hujjah.

Demikian pula hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad secara ringkas (mukhtashar) dari Ibnu ‘Abi ‘Ashim di dalam kitab As Sunnah, di mana Imam Ahmad berkata, “Telah meriwayatkan kepada kami ‘Amru bin ‘Utsman, di mana dia berkata,”Telah meriwayatkan kepada kami Baqiyah, dan dia berkata, “Telah meriwayatkan kepada kami Sofwan bin ‘Amru, dari Syuraih bin ‘Ubaid, bahwasanya dia berkata, “‘Yadl bin Ghanam berkata kepada Hisyam bin Hakim, tidakkah engkau mendengar sabda Rasulullah saw yang bersabda, “Barangsiapa hendak menasehati penguasa janganlah ia sampaikan dengan terang-terangan, akan tetapi hendaklah ia ambil tangannya, lalu menyepilah dengannya. Jika ia menerima maka ia akan mendapatkan pahala, dan jika tidak, maka ia telah menunaikan apa yang menjadi kewajibannya”.[HR. Imam Ahmad]

Baqiyyah adalah seorang mudalis. Walaupun Baqiyyah menuturkan hadits ini dengan sharih menurut versi Ibnu Abi ‘Aashim, tetapi, tetap saja tidak bisa menyelamatkan Baqiyyah. Pasalnya, ia adalah perawi yang suka melakukan tadlis dengan tadlis yang buruk (tadlis qabiih) –yakni tadlis taswiyah . Dikhawatirkan dari tadlisnya itu ‘an’anah [(meriwayatkan dengan ‘an (dari), ‘an (dari)] dari gurunya dari gurunya jika ditarik ke atas. Di dalam Kitab Al Majma’, Imam Al Haitsamiy berkata, “Yang benar, jalur darinya (Syuraih bin ‘Ubaid) hanya berasal dari Hisyam saja. Hadits ini diriwayatkan Imam Ahmad, dan rijalnya tsiqat (terpercaya). Akan tetapi, saya tidak mendapati Syuraih bin ‘Ubaid mendengar hadits ini langsung dari ‘Iyadl dan Hisyam, walaupun dia seorang tabi’un.

Catatan lain, Syuraih bin ‘Ubaid meriwayatkan hadits ini dengan ta’liq (menggugurkan perawi atasnya), dan di dalam hadits ini tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa ia hadir dalam kisah itu, maupun mendengar dari orang yang menceritakan kisah tersebut. Oleh karena itu, hadits ini harus dihukumi sebagai hadits munqathi’; dan tidak layak dijadikan sebagai hujjah.

Adapun dari jalur-jalur lain, misalnya dari jalur Jabir bin Nafir, maka setelah diteliti, ada perawi yang lemah, yakni Mohammad bin Ismail bin ‘Iyasy.

Jika demikian kenyataannya, gugurlah berdalil dengan hadits riwayat Imam Ahmad di atas.

Tanggapan: sayangnya anda tidak menyebutkan jalan lain, yaitu yang dikeluarkan oleh Ath Thabrani dalam Dalam Al Mu’jamul Kabiir: Haddatsana Amru bin Ishaq bin Zuraiq haddatsana abii (H) haddatsana ‘Imarah bin Wutsaimah Al Mishri dan Abdurrahman bin Mu’awiyah Al ‘Utabi keduanya berkata: Haddatsana Ishaq bin Zuraiq, haddatsana ‘Amru bin Al Harits dari Abdullah bin Salim dari Az Zubaidi haddatsna Al Fadl bin fadlalah mengembalikannya kepada ‘Aidz mengembalikannya kepada Jubair bin Nufair bahwa ‘Iyadl bin Ghanam..dst.

Sanad ini walaupun lemah karena Amru bin Al Harits dikatakan oleh Al Hafidz: Maqbul, demikian pula Al Fadl bin Fadlalah, namun jalan ini menguatkan jalan Muhammad bin Isma’il bin Ayyasy, sehingga naik kepada derajat hasan, dan bila digabungkan dengan sanad imam Ahmad : Telah meriwayatkan kepada kami Abu Al Mughirah, dan dia berkata, “Telah menuturkan kepada kami Shofwan, dan ia berkata, “Telah meriwayatkan kepadaku Syuraih bin ‘Ubaid al Hadlramiy dan lainnya, dia berkata, “‘Iyadl bin Ghanm.. dst. Maka naik kepada derajat shahih, adapun permasalahan Syuraih tidak mendengar dari Iyadl, tidak bermudlarat bila ternyata telah diketahui wasithahnya yaitu Jubair bin Nufair.

Tanggapan Balik:

Demikianlah, antum berusaha mati-matian menshahihkan hadits ‘Iyadl bin Ghanm dengan cara mencari syahid maupun mutaba’ahnya. Sayang usaha antum tersebut malah menjerumuskan antum untuk mencari-cari dalih, untuk memenuhi keinginan dan hawa nafsu antum., bukan untuk menegakkan hujjah yang lurus. Namun, demi menegakkan sunnah dan kebenaran, ana akan jelaskan kelemahan jalur dari Imam Thabaraniy. Kelemahannya hadits ini terlihat dari kenyataan berikut ini:

Pertama, hadits riwayat Imam Ahmad dari jalur Abu Mughirah, Shofwan, Syuraih bin ‘Ubaid telah terbukti kelemahannya, karena Syuraih tidak pernah bertemu dengan Hisyam bin Hakim (lebih-lebih lagi Iyadl bin Ghanm). Dengan demikian, hadits ini dihukumi sebagai hadits munqathi’, sehingga gugur sebagai hujjah.

Kedua, adapun tentang Jubair bin Nufair yang antum nobatkan sebagai “wasithah antara Syuraih bin ‘Ubaid dengan Iyadl bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim, sehingga tampak seolah-olah telah menyambungkan “keterputusan antara Syuraih bin ‘Ubaid dengan Iyadl bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim, maka perlu antum ketahui bahwa ternyata Jubair bin Nufair pun menuturkan hadits tersebut dengan ta’liq (menggugurkan perawi atasnya). Jubair bin Nufair adalah seorang tabi’un yang terkemuka. Imam Adz Dzahabiy dalam Tadzkiratu al-Huffaadz berkata, “.Beliau (Jubair bin Nufair) adalah seorang ulama terkemuka, haditsnya ada dalam kitab-kitab hadits seluruhnya, kecuali Shahih Bukhari, dan demikian itu karena kelemahannya (layyin al-hadits). Namun, kadang-kadang ia melakukan tadlis dari shahabat-shahabat besar”. Atas dasar itu, hadits dari Jubair bin Nufair pun munqathi’, dan tidak bisa menyelamatkan keterputusan antara Syuraih bin ‘Ubaid dengan ‘Iyadl bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim. Sebab, Jubair bin Nufair sendiri tidak menyaksikan langsung kejadiannya atau mendengarnya langsung dari orang yang meriwayatkan dari ‘Iyad bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim. Atas dasar itu, hadits yang antum katakan naik derajatnya itu, tetap tidak bisa selamat dari keterputusan (inqitha’). Dengan demikian, hadits itu harus dihukumi sebagai hadits munqathi’ dan tidak layak dijadikan sandaran hujjah.

Adapun hadits dari jalur Mohammad bin ‘Ayyasy, maka antum juga harus tahu Mohammad bin ‘Ayyasy adalah dla’ifu al-hadits (dla’if haditsnya). Di dalam Kitab Al-Jarh wa al-Ta’diil, Abu Hatim berkata, “Dia tidak mendengar apapun dari bapaknya”. Al Hafidz Ibnu Hajar dalam At-Taqriib berkata, “Mereka mencela dirinya karena ia menuturkan dari bapaknya tanpa pernah mendengarnya”. Dalam hadits ini tidak boleh dinyatakan bahwa ia dengan sharih menuturkan dari bapaknya (dengan lafadz haddatsanaa); sebab dia adalah dla’if, tidak tsiqqah”.

Ketiga, jalur dari Amru bin Ishaq bin Zuraiq haddatsana abii (H) haddatsana ‘Imarah bin Wutsaimah Al Mishri dan Abdurrahman bin Mu’awiyah Al ‘Utabi keduanya berkata: Haddatsana Ishaq bin Zuraiq, haddatsana ‘Amru bin Al Harits dari Abdullah bin Salim dari Az Zubaidi haddatsna Al Fadl bin fadlalah mengembalikannya kepada ‘Aidz mengembalikannya kepada Jubair bin Nufair bahwa ‘Iyadl bin Ghanam..dst.

Ibnu Zuraiq adalah waah. Imam Adz Dzahabiy berkata, “Ibnu Zuraiq adalah waah (lemah)”. Ishaq adalah ayah dari Amru, dan tentang dia, Al Hafidz berkata, “Shaduq yahammu katsiira (shaduq tapi banyak lemahnya), dan Mohammad bin ‘Aud menyebutkan bahwa dia itu berdusta”. Abu Hatim juga berkata tentang dia, “Syaikh la ba’sa bihi, hanya saja mereka mencelanya. Saya mendengar Yahya bin Ma’in memujinya dengan baik”. Dalam Tarikh Ibnu ‘Asaakir dan juga Tahdzibnya Ibnu Badran, disebutkan bahwa An Nasaaiy berkata, “Ishaq tidak tsiqqah jika meriwayatkan dari ‘Amru bin Harits”. Sedangkan hadits di atas Ishaq meriwayatkan dari ‘Amru bin Harits!!! Sedangkan Amru bin Harits, Ibnu Hibban dalam Tsiqahnya berkata, “Ia adalah mustaqim al-hadits”. Namun, Imam Adz Dzahabiy membantahnya dalam Al-Mizan, “Tafarrada bi ar-riwayah ‘anhu Ishaq bin Ibrahim bin Zuraiq dan maulanya, yang namanya ‘Ulwah, dan dia tidak tidak diketahui keadilannya”. Dengan demikian, yang meriwayatkan hadits dari dari Amru bin Harits hanyalah Ishaq dan maulanya Amru bin Harits yang majhul. Sedangkan Ishaq adalah waah (lemah) [lihat di atas]. Sedangkan Amru bin Ishaq bin Zuraiq al-Himshiy termasuk syaikhnya Imam Thabaraniy. Sayangnya tidak ada biografi atas dirinya, alias majhul.

Dengan demikian hadits dari jalur ini jelas-jelas lemah dan banyak ‘illatnya, yakni; (1) majhulnya Amru bin Ishaq bin Zuraiq al-Himshiy, syaikhnya Imam Thabaraniy, (2) dla’ifnya Ishaq bin Ibrahim bin Zuraiq yang sangat parah, (3) lemahnya (layyin) ‘Amru bin Harits, (3) lemahnya (layyin) al-Fadlil bin Fudlalah, (4) keterputusan (inqitha’) antara al-Fadlil dengan Ibnu ‘Aidz, (5) terputusnya Ibnu ‘Aidz dengan Jubair bin Nufair, (6) terputusnya Jubair bin Nufair dengan semua orang yang meriwayatkan dari ‘Iyadl bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim radliyallahu ‘anhumaa. Dengan demikian, jalur inipun gugur secara menyakinkan.

Adapun komentar Imam Al-Haitsamiy dalam Majma’ az Zawaid, “Rijaaluhu tsiqat wa isnaduhu muttashil”, maka harus dinyatakan bahwa komentar beliau ini tidak tepat dikarenakan alasan-alasan di atas.

Keempat, permasalahan yang sebenarnya hendak dibuktikan adalah sanad dari Syuraih bin ‘Ubaid atau Jubair bin Nufair ra. Dan telah dijelaskan bahwa Syuraih bin ‘Ubaid atau Jubair bin Nufair meriwayatkan dengan ta’liq (menggugurkan perawi atasnya). Tidak ada satupun lafadz yang menunjukkan kehadiran keduanya dalam kisah itu, atau mendengar diskusi antara Hisyam bin Hakim dan ‘Iyadl bin Ghanm; atau mendengar langsung dari orang yang menyaksikan atau mendengar dari Hisyam bin Hakim dan ‘Iyadl bin Ghanm. Oleh karena itu, riwayat tersebut dihukumi munqathi’ (terputus).

Semua riwayat dari Jubair bin Nufair dan Syuraih bin ‘Ubaid diketahui mursal dari qudama` ash-shahahat (shahabat-shahabat terkemuka), bahkan Syuraih meriwayatkan hadits secara mursal dari seluruh shahabat. Atas dasar itu, semua riwayat yang berasal darinya dihukumi inqitha’ (terputus).

Adapun riwayat mu’an’anah dari ‘Iyadl bin Ghanm, maka sudah dimaklumi bahwa ‘Iyadl bin Ghanm meninggal tahun 20 H pada masa kekhilafahan Umar bin Khaththab ra, dan Jubair bin Nufair tidak pernah mendengar dari ‘Iyadl bin Ghanm, sebagaimana disebutkan dalam biografinya di Kitab Tahdziib al-Kamaal karya Al-Maziy, dan at-Tadzkirah karya Husainiy. Selain itu, Jubair bin Nufair juga dikenal meriwayatkan secara mursal dari shahabat-shahabat besar. Dengan demikian, riwayat ini juga terputus (inqitha’).

Selain itu, ada cacat lain dari hadits tersebut dari sisi matan. Hadits-hadits lain justru menyakinkan kepada kita bahwa Hisyam bin Hakim tetap mengoreksi ‘Iyadl bin Ghanm dengan terang-terangan ketika berada di Himsh. Imam Thabaraniy meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Urwah bin az-Zubair bahwasanya Hisyam bin Hakim mendapati ‘Iyadl bin Ghanm , pada saat itu ia berada di Himsh, menjemur manusia dari al-Nabth di bawah terik matahari, dalam masalah penyerangan jizyah. Hisyam bin Hakim berkata, “Apa ini wahai ‘Iyadl bin Ghanm! Saya mendengar Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya Allah akan menyiksa orang-orang yang menyiksa manusia di dunia”. Hadits ini adalah hasan lidzatihi dikarenakan dikarenakan banyaknya hadits-hadits mutabi’ahnya. Selain itu, riwayat-riwayat lain juga menunjukkan bahwa Hisyam bin Hakim juga mengoreksi dengan terang-terangan, sebagaimana ia mengingkari penguasa Himsh yang tidak disebutkan namanya, atau terhadap ;Umair bin Sa’ad pada saat ia berada di Palestina atau di Himsh. Peristiwa ini terjadi setelah terjadinya diskusi antara dirinya dengan ‘Iyadl bin Ghanm pada saat penaklukkan Dariya., Ini bisa diketahui dari kronologi sejarah penaklukkan jazirah Syam. Seandainya peristiwa diskusi antara Hisyam bin Hakim dengan Iyadl bin Ghanm tentang “koreksi sembunyi-sembunyi” merupakan hukum asal mengapa shahabat jalil Hisyam bin Hakim tetap mengoreksi penguasa dengan terang-terangan!?

Walhasil, hadits-hadits yang antum ketengahkan itu seluruhnya gugur baik karena perawinya yang lemah (Mohammad bin ‘Iyasy), maupun terputusnya Jubair bin Nufair dengan ‘Iyadl bin Ghanm dan Hisyam bin Hakim.

Demikianlah, Allah telah memudahkan kita untuk menunjukkan kelemahan hadits riwayat Imam Ahmad tentang “sirriyat al-nashihah”. Oleh karena itu, argumentasi antum telah gugur di hadapan hujjah yang lurus dan benar. Semoga antum tertunjukki dan terentaskan dari kesalahan. Allahummasyhad, qad balaghtu al-haqq. Wallahu al-Haadiy al-Muwaffiq ila Aqwamith Thariiq.

Al Faqir ila Al-Allah Fathiy Syamsuddin Ramadhan An Nawiy.

Read Full Post »

Kalender Islam menggunakan peredaran bulan sebagai acuannya, berbeda dengan kalender biasa (kalender Masehi) yang menggunakan peredaran matahari.

Penetapan kalender Hijriyah dilakukan pada jaman Khalifah Umar bin Khatab, yang menetapkan peristiwa hijrahnya Rasulullah saw dari Mekah ke Madinah.

Kalender Hijriyah juga terdiri dari 12 bulan, dengan jumlah hari berkisar 29 – 30 hari. Penetapan 12 bulan ini sesuai dengan firman Allah Subhana Wata’ala:

”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS : At Taubah(9):36).

Sebelumnya, orang arab pra-kerasulan Rasulullah Muhammad SAW telah menggunakan bulan-bulan dalam kalender hijriyah ini. Hanya saja mereka tidak menetapkan ini tahun berapa, tetapi tahun apa. Misalnya saja kita mengetahui bahwa kelahiran Rasulullah SAW adalah di tahun gajah.

Abu Musa Al-Asyári sebagai salah satu gubernur di zaman Khalifah Umar r.a. menulis surat kepada Amirul Mukminin yang isinya menanyakan surat-surat dari khalifah yang tidak ada tahunnya, hanya tanggal dan bulan saja, sehingga membingungkan. Khalifah Umar lalu mengumpulkan beberapa sahabat senior waktu itu. Mereka adalah Utsman bin Affan r.a., Ali bin Abi Thalib r.a., Abdurrahman bin Auf r.a., Sa’ad bin Abi Waqqas r.a., Zubair bin Awwam r.a., dan Thalhan bin Ubaidillah r.a. Mereka bermusyawarah mengenai kalender Islam. Ada yang mengusulkan berdasarkan milad Rasulullah saw. Ada juga yang mengusulkan berdasarkan pengangkatan Muhammad saw menjadi Rasul. Dan yang diterima adalah usul dari Ali bin Abi Thalib r.a. yaitu berdasarkan momentum hijrah Rasulullah SAW dari Makkah ke Yatstrib (Madinah). Maka semuanya setuju dengan usulan Ali r.a. dan ditetapkan bahwa tahun pertama dalam kalender Islam adalah pada masa hijrahnya Rasulullah saw. Sedangkan nama-nama bulan dalam kalender hijriyah ini diambil dari nama-nama bulan yang telah ada dan berlaku di masa itu di bangsa Arab
.
Orang Arab memberi nama bulan-bulan mereka dengan melihat keadaan alam dan masyarakat pada masa-masa tertentu sepanjang tahun. Misalnya bulan Ramadhan, dinamai demikian karena pada bulan Ramadhan waktu itu udara sangat panas seperti membakar kulit rasanya. Berikut adalah arti nama-nama bulan dalam Islam:

MUHARRAM,
artinya: yang diharamkan atau yang menjadi pantangan. Penamaan Muharram, sebab pada bulan itu dilarang menumpahkan darah atau berperang. Larangan tesebut berlaku sampai masa awal Islam.

SHAFAR,
artinya: kosong. Penamaan Shafar, karena pada bulan itu semua orang laki-laki Arab dahulu pergi meninggalkan rumah untuk merantau, berniaga dan berperang, sehingga pemukiman mereka kosong dari orang laki-laki.

RABI’ULAWAL,
artinya: berasal dari kata rabi’ (menetap) dan awal (pertama). Maksudnya masa kembalinya kaum laki-laki yang telah meninqgalkan rumah atau merantau. Jadi awal menetapnya kaum laki-laki di rumah. Pada bulan ini banyak peristiwa bersejarah bagi umat Islam, antara lain: Nabi Muhammad saw lahir, diangkat menjadi Rasul, melakukan hijrah, dan wafat pada bulan ini juga.

RABIU’ULAKHIR,
artinya: masa menetapnya kaum laki-laki untuk terakhir atau penghabisan.

JUMADILAWAL
nama bulan kelima. Berasal dari kata jumadi (kering) dan awal (pertama). Penamaan Jumadil Awal, karena bulan ini merupakan awal musim kemarau, di mana mulai terjadi kekeringan.

JUMADILAKHIR,
artinya: musim kemarau yang penghabisan.

RAJAB,
artinya: mulia. Penamaan Rajab, karena bangsa Arab tempo dulu sangat memuliakan bulan ini, antara lain dengan melarang berperang.

SYA’BAN,
artinya: berkelompok. Penamaan Sya’ban karena orang-orang Arab pada bulan ini lazimnya berkelompok mencari nafkah. Peristiwa penting bagi umat Islam yang terjadi pada bulan ini adalah perpindahan kiblat dari Baitul Muqaddas ke Ka’bah (Baitullah).

RAMADHAN,
artinya: sangat panas. Bulan Ramadhan merupakan satu-satunya bulan yang tersebut dalam Al-Quran, Satu bulan yang memiliki keutamaan, kesucian, dan aneka keistimewaan. Hal itu dikarenakan peristiwa-peristiwa peting seperti: Allah menurunkan ayat-ayat Al-Quran pertama kali, ada malam Lailatul Qadar, yakni malam yang sangat tinggi nilainya, karena para malaikat turun untuk memberkati orang-orang beriman yang sedang beribadah, bulan ini ditetapkan sebagai waktu ibadah puasa wajib, pada bulan ini kaurn muslimin dapat rnenaklukan kaum musyrik dalarn perang Badar Kubra dan pada bulan ini juga Nabi Muhammad saw berhasil mengambil alih kota Mekah dan mengakhiri penyembahan berhala yang dilakukan oleh kaum musyrik.

SYAWWAL,
artinya: kebahagiaan. Maksudnya kembalinya manusia ke dalam fitrah (kesucian) karena usai menunaikan ibadah puasa dan membayar zakat serta saling bermaaf-maafan. Itulah yang mernbahagiakan.

DZULQAIDAH,
berasal dari kata dzul (pemilik) dan qa’dah (duduk). Penamaan Dzulqaidah, karena bulan itu merupakan waktu istirahat bagi kaum laki-laki Arab dahulu. Mereka menikmatmnya dengan duduk-duduk di rumah.

DZULHIJJAH
artinya: yang menunaikan haji. Penamaan Dzulhijjah, sebab pada bulan ini umat Islam sejak Nabi Adam as. menunaikan ibadah haji.

(sa/kaskus/bdm.am.ac/imerzone)

http://www.eramuslim.com/berita/tahukah-anda/arti-nama-nama-bulan-hijriyah.htm

Read Full Post »

Jakarta (ANTARA News) – Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Fayakhun Andriadi, menyatakan, Republik Indonesia sebagai Negara Berdaulat, ternyata harus tunduk kepada Singapura dalam kedaulatan di bidang `cyber` atau teknologi informasi (TI).

“Saya sependepat, bahwa saat ini RI sebagai Negara Berdaulat, ternyata tidak berdaulat di ranah `cyber` yang digunakan oleh anak bangsa sendiri,” katanya kepada ANTARA di Jakarta, Minggu.

Ia mengatakan itu, merespons pernyataan seorang pakar IT alumni sebuah perguruan tinggi ternama di Indonesia pada sebuah diskusi terbatas di Jakarta, akhir pekan lalu, yang mengungkapkan, RI benar-benar semakin didikte Singapura dan Malaysia dalam hal telekomunikasi di samping perbankan.

Sebagaimana berkembang dalam diskusi terbatas itu, khusus dalam soal IT, kita hanya jadi ladang empuk mengais dolar dan ringgit oleh dua negeri `jiran` tersebut.

Ini karena semua operator seluler dan internet berbasis di dua negeri jiran ini.

Akibatnya, tiap `voucher` pulsa apa saja, juga setiap kali satu WNI buka internet (`browse`), langsung kena `charge` yang terhisap otomatis ke sana.

“Artinya, mereka gemuk oleh kebodohan kita. Satu hal lagi, dengan keadaan seperti sekarang, maka informasi apa pun termasuk RAHASIA NEGARA (RHN) jadi telanjang di mata negeri `peanut` Singapura,” ujar Benni TBN, pakar IT yang menjadi salah satu pembicara dalam diskusi tersebut.

Golkar Desak Menkominfo

Dalam kaitan itulah, demikian Fayakhun Andriadi, Fraksi Partai Golkar (FPG) mendesak Menteri Negara Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), agar mampu berdaya upaya menegakkan kedaulatan bangsa Indonesia di ranah `cyber` milik bangsa sendiri.

“Ranah `cyber` yang dimaksud, tidak hanya meliputi `voice`, namun juga data dan data khusus. Jika tidak, tidak ada Rahasia Negara (RHN) yang tidak `telanjang` keluar,” ujarnya.

Sebelumnya, rekannya sesama anggota FPG, Paskalis Kossay secara terpisah mengkhawatirkan adanya dugaan RHN itu bocor ke luar via Singapura.

“Kita memang sudah ketinggalan dalam hal kemajuan dan penguasaan teknologi untuk berbagai aspek, utamanya di sektor teknologi informasi (TI). Kekhawatiran ini terus memuncak, apalagi banyak operator seluler dan internet kita memang dikendalikan dari dua negara itu,” ujar anggota Komisi I DPR RI (bidang Luar Negeri, Pertahanan Keamanan, Intelijen, Komunikasi dan Informatika) ini.

Berbicara melalui hubungan telefon dari Jayapura (sedang menjalankan masa reses dengan mengunjungi konstituen di daerah pemilihan), mantan Wakil Ketua DPRD Papua ini juga mengakui, banyak pihak yang sepertinya belum menyadari urgennya menguasai TI, terutama terkait dengan urusan RHN, maupun bisnis bernilai miliaran dolar.

“Saya kaget juga dengan info dari sebuah diskusi di Jakarta, bahwa seorang pakar IT yang alumni sebuah perguruan tinggi ternama di Indonesia mengungkapkan, bahwa RI benar-benar semakin didikte Singapura dan Malaysia dalam hal telekomunikasi di samping perbankan,” ungkapnya.


Singapura Kendalikan Jaringan

Sementara itu, dalam diskusi terbatas akhir pekan lalu, Benny TBN juga mengungkapkan, saat ini nyatanya lalulintas jaring optik kita dikendalikan oleh `traffic administrator` di Singapura.

“Karenanya semua jaringan internet dan seluler harus ditarik atau `dipaksa` melewati `persimpulan utama` di kota itu. Makanya, apalagi `RHN` yang tak mereka tahu. Sialnya lagi, satelit Indosat (dulu Palapa) jadi mayoritas milik Temasek (sebuah BUMN Singapura),” ungkapnya lagi.

Akibatnya, lanjutnya, selain kita jadi seperti `telanjang` dalam informasi apa pun, juga RI cuma berfungsi sebagai pelanggan seluler.

“Posisi ini jauh di bawah fungsi distributor seluler. Jadi, kita cuma `outlet`, tukang jual produk IT mereka. Dan yang jelas, banyak perusahaan `provider` kita cuma nama `doang perusahaannya itu milik RI dengan mayoritas saham dikuasai mereka,” ujarnya.

Merespons situasi serius ini, Paskalis Kossay mendesak para pihak berkompeten untuk segera melakukan tindakan konkret.

“Kita jangan cuma sibuk urus video porno dan konten TI, lalu tidak berjuang agar semua operator berbasis di sini. Mohon ini digumuli dan jadi atensi serius,” tegasnya.

Ia mengatakan, argumentasi para pakar TI itu terkesan bukan main-main, dan tidak berangkat dari argumentasi emosional, tetapi sangat rasional.

“Demi martabat dan kedaulatan NKRI, perlu segera tindakan konkret dan perbaikan ke depan secara bersama. Kami di Komisi I DPR RI tentu akan melaksanakan fungsi kewenangan kami sesuai aturan konstitusi,” tandasnya.

Salah satunya, menurut Paskalis Kossay, akan mengagendakan rapat dengan menghadirkan para pakar TI untuk mendapatkan info teranyar serta `akademis`, sekaligus merumuskan langkah-langkah konkret terbaik bagi kepentingan Negara. (M036/K004)

Read Full Post »

Baru-baru ini Gubernur Bank Indonesia, Darmin Nasution mengemukakan rencana redenominasi rupiah, yang mana uang Rp. 1.000,- menjadi Rp.1,-. Hal ini diperkuat dengan penjelasan Gubernur BI tentang tahapan-tahapan redenominasi rupiah hingga tahun 2020 mendatang. Berikut ini tahapan pemberlakuan redenominasi nilai mata uang rupiah

Tahun 2011-2012 Masa Sosialisasi
Masa menyiapkan berbagai macam hal seperti menyangkut akuntansi, pencatatan, sistem informasi. Bank Indonesia meyakini waktu dua tahun cukup untuk masa sosialisasi.

Tahun 2013-2015 Masa Transisi
Dalam masa ini, nantinya harga barang akan ditulis dalam dua harga yaitu terdiri atas rupiah lama dan rupiah baru. Misalnya, barang seharga Rp10.000 akan ditulis dalam dua harga yaitu Rp10.000 dan Rp10 (baru). Uang saat ini akan disebut rupiah lama, yang baru akan disebut rupiah baru.

Selama masa ini, masyarakat akan menggunakan dua mata uang yaitu rupiah lama dan rupiah baru. Begitu juga untuk pengembalian uang, boleh menggunakan keduanya. BI juga akan perlahan-lahan mengganti uang rusak rupiah lama dengan uang rupiah baru.

Tahun 2016-2018
Uang kertas sekarang (rupiah lama) akan benar-benar habis. BI akan melakukan penarikan uang lama.

Tahun 2019-2020
Kata-kata uang baru yang menandakan pengganti uang lama akan dihilangkan. Indonesia kembali pada rupiah seperti saat ini, namun nilai uangnya lebih kecil. Untuk mata uang kecil berlaku uang koin dan nilai pecahan sen akan berlaku lagi.

Sesungguhnya apakah kebijakan pemerintah terhadap redenominasi rupiah tersebut akan berdampak baik kepada sistem keuangan Negara ini ? Apakah justru akan membuat dampak buruk ?

Makna Redenominasi
Redenominasi adalah penyederhanaan nominal uang dengan menghilangkan nol. Uang Rp. 1.000,- menjadi Rp.1,- hanya dihilangkan angka nol nya saja. Adapun nilai dari uang tersebut tidak mengalami perubahan. Redenominasi berbeda dengan schenering. Schenering adalah pemotongan nilai uang.

Dampak Redenominasi Rupiah
Sesungguhnya kebijakan redenominasi rupiah tidak memiliki dampak positif yang signifikan bagi perekonomian Indonesia. Sebab, keuntungan dari redenominasi rupiah hanya dari segi pencatatan akuntansi saja menjadi lebih praktis, dimana masyarakat akan membawa uang tidak pernah banyak, tapi secara value (nilai) tidak ada perubahan antara nilai Rp. 1.000,- dengan Rp. 1,-.

Sementara yang dilakukan oleh Soekarno di jaman Orla adalah schenering (sanering), yaitu pemotongan nilai uang 1.000 menjadi 1. Hal ini disebabkan oleh karena hiper inflasi hingga 600%, seperti halnya negara Zimbabwe yang mencetak uang pecahan 1 milyar. Dampak yang dirasakan masyarakat adalah masyarakat semakin menderita karena uang yang ada di tangan mereka tidak bernilai. Sehingga pemerintah pada saat itu melakukan schenering untuk menghindari inflasi bertambah parah.

Untuk melakukan redenominasi rupiah, pemerintah akan mencetak uang kertas dan uang logam yang baru, dan menarik uang kertas dan logam yang lama. Perlu diketahui bahwa biaya mencetak uang tidaklah murah, sehingga jika dibandingkan antara dampak positif praktis dari segi akuntansi dengan besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk mencetak uang baru, maka hal ini tidaklah sebanding. Tetap saja rakyat dirugikan, sebab biaya pembangunan yang besar akan dipergunakan untuk biaya mencetak uang yang tidak memiliki keuntungan bagi sistem ekonomi Indonesia.

Pandangan Islam terhadap Redenominasi Rupiah
Kebijakan redenominasi rupiah ini sama sekali tidak akan menyelesaikan akar permasalahan sistem ekonomi di Indonesia. Akar permasalahannya ada pada mata uang dan sistem ekonomi yang harus dirubah. Untuk itu pemerintah harus merubah dari dua aspek tersebut.

Mata Uang Emas dan Perak
Mata uang kertas dan logam yang dipergunakan saat ini penuh dengan ketergantungan dengan nilai mata uang negara lain, yang ini akan membuat inflasi. Disamping itu mata uang kertas ini tidak memiliki nilai intrinsik. Sebab nilai mata uang sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Jika pemerintah menyatakan mata uang kertas tersebut berlaku, maka benda yang sejatinya kertas tersebut bisa dipergunakan sebagai alat tukar dengan apapun, termasuk alat-alat canggih seperti komputer, pesawat, dll. Namun jika pemerintah menarik uang kertas tersebut, maka uang tersebut tidak memiliki nilai kembali, hanya sebagai tumpukan kertas yang tak bernilai.

Yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah merubah mata uang kertas dan logam tersebut dengan mata uang emas (dinar) dan perak (dirham). Sebab mata uang emas selain memiliki nilai intrinsik, juga memiliki beberapa manfaat lainnya. Disamping telah dicontohkan oleh Rasulullah saw ketika sebagai kepala negara di Madinah, juga terhadap perkara-perkara lainnya berkaitan erat dengan emas, seperti diyat (denda). Seperti dalam hadits Rasulullah saw.

”Bahwa di dalam (pembunuhan) jiwa itu terdapat diyat berupa 100 unta… dan terhadap pemilik emas, (ada kewajiban) sebanyak 1.000 dinar.” (H.R. An-Nasa’i, dari Amru bin Hazim)

Hadits yang lain :

”Tangan itu wajib dipotong, (apabila) mencuri ¼ dinar atau lebih” (H.R. Imam Bukhari, dari Aisyah).

Juga firman Allah swt dalam surat At-Taubah ayat 34 :

وَٱلَّذِينَ يَكْنِزُونَ ٱلذَّهَبَ وَٱلْفِضَّةَ وَلاَ يُنفِقُونَهَا فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ

”Dan diantara orang-orang yang menimbun emas dan perak, serta tidak menafkahkannya di jalan Allah (untuk jihad), maka beritahukan kepada mereka (bahwa mereka akan mendapatkan) azab yang pedih.”

Taqiyuddin An-Nabhanni dalam kitabnya an-Nidzamu al-Iqtishadhi fi al-Islam menyatakan ada 5 keuntungan manfaat yang paling penting menggunakan sistem mata uang emas :
1. Sistem emas akan mengakibatkan kebebasan pertukaran emas, mengimpor dan mengekspornya, yakni masalah yang menentukan peranan kekuatan uang, kekayaan dan perekonomian. Dalam kondisi semacam ini, aktifitas pertukaran mata uang tidak akan terjadi karena adanya tekanan luar negeri, sehingga bisa mempengaruhi harga-harga barang dan gaji para pekerja.
2. Sistem uang emas, juga berarti tetapnya kurs pertukaran mata uang antar negara. Karena tetapnya kurs pertukaran mata uang tersebut, maka akan menyebabkan meningkatnya perdagangan internasional. Sebab, para pelaku bisnis dalam perdagangan luar negeri tidak takut bersaing. Karena kurs uangnya tetap, maka mereka tidak khawatir dalam mengembangkan bisnisnya.
3. Dalam sistem uang emas, bank-bank pusat dan pemerintah tidak mungkin memperluas peredaran uang kertas, karena secara umum kertas uang tersebut bisa ditukarkan menjadi emas dengan harga tertentu. Sebab, pemerintah-pemerintah tertentu khawatir jika memperluas peredaran uang kertas tersebut, justru akan menambah jumlah permintaan akan emas, sementara pemerintah sendiri tidak sanggup menghadapi permintaan tersebut. Oleh karena itu, untuk melindungi uang kertas yang dikeluarkan serta sikap hati-hati pemerintah terhadap emas, pemerintah tersebut akan melakukan penimbunan uang emas.
4. Tiap mata uang yang dipergunakan di dunia, selalu dibatasi dengan standar tertentu yang berupa emas. Dan pada saat itu pengiriman barang kekayaan dan orang dari satu negara ke negara lain, menjadi sedemikian mudah. Sehingga masalah potongan serta kelangkaan uang bisa dihilangkan.
5. Tiap negara akan menjaga kekayaan emas, sehingga tidak akan terjadi pelarian emas dari satu negara ke negara lain. Dan negara pun tidak akan memerlukan kontrol sekecil-kecilnya untuk melindungi kekayaannya. Sebab, kekayaan tersebut tidak akan ditransfer dari negara tersebut kecuali karena ada alasan yang menurut syar’i yakni adakalanya untuk membayar barang atau gaji para pekerja.

Kelima manfaat paling penting ini juga akan didapatkan dalam pemberlakuan mata uang perak. Rasulullah saw sendiri telah menjadikan jenis emas dan perak sebagai uang, baik yang dicetak ataupun tidak. Beliau sendiri tidak pernah mencetak uang tertentu tidak dengan ciri khas tertentu dan tidak berbeda-beda. Beliau saw. juga memotong perak yang tidak dicetak, tidak diukir dan terpercaya yang semuanya beliau pergunakan dalam melakukan muamalah. Akan tetapi satuan tersebut dinilai menurut beratnya, bukan jumlahnya, bukan pula dengan ukiran atau tidaknya. Potongan emas tersebut kadang-kadang ditentukan menurut berat dan besarnya telur. Kemudian beliau pergunakan dalam melakukan transaksi.

Jadi batasannya adalah dengan standar emas dan perak dan dengan berat masing-masing. Dimana, hak-hak Allah semisal zakat, dan hak manusia semisal hutang, serta harga yang dibeli semuanya berhubungan dengan dinar dan dirham, yakni berhubungan dengan emas dan perak yang sudah diperkirakan dengan timbangan tertentu.

Kondisi semacam ini berlangsung terus sejak Rasulullah sebagai kepala negara di Madinah, kemudian dilanjutkan pada masa khulafaur rasyidin hingga khilafah utsmani yang terakhir.

Sistem Ekonomi Islam
Bahwa salah satu akar permasalahan saat ini adalah diterapkannya sistem ekonomi kapitalis yang berbasis riba. Untuk itu, agar Indonesia bisa terbebaskan dari krisis, maka pemerintah harus mengganti sistem ekonomi kapitalis dengan ekonomi islam.

Dalam ekonomi islam, seluruh aktifitasnya didasarkan pada sektor riil. Transaksi antar masyarakat hanya dalam sektor riil, baik dari segi mudharabah, ijarah, dll. Peran pemerintah (khalifah) melalui kas negara yang disebut baitul maal juga dapat langsung ”menyentuh” masyarakat. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi didasarkan bukan pada prosentase, melainkan orang perorang.

Hal ini berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis, dimana pemerintah tidak mau menyentuh langsung kepada rakyat. Pemerintah hanya menunjuk lembaga keuangan yang disebut bank untuk dapat menyentuh langsung kepada masyarakat. Namun dalam perjalanannya, bank ini membutuhkan dana operasional, maka pihak bank kemudian mengambil bunga (riba) dari masyarakat untuk biaya operasionalnya.

Disamping menunjuk lembaga keuangan bank untuk dapat langsung ke masyarakat (meskipun dengan riba), pemerintah juga membuat lokalisasi perjudian (perdagangan sektor non riil), seperti bursa saham, bursa komoditi, dll. yang sesungguhnya ini menjadi penyebab terjadinya inflasi nilai mata uang, karena penuh dengan spekulasi.

Untuk itu, dalam memperbaiki perekonomian indonesia, pemerintah harus merubah dari akar permasalahannya yaitu dengan merubah sistem ekonomi. Dengan mengganti sistem ekonomi yang berbasis riba dan judi menjadi sistem ekonomi islam yang berbasis pada sektor riil.

Khatimah
Kebijakan redenominasi rupiah sama sekali tidak akan menyelesaikan ekonomi di Indonesia, melainkan justru akan menambah cost (biaya) pembangunan. Solusi yang ditawarkan pemerintah saat ini sangat jauh dari akar permasalahan perekonomian. Yang menjadi akar permasalahan adalah dengan perubahan sistem mata uang dan sistem ekonomi indonesia.

Selaku muslim, kita wajib menggunakan sistem ekonomi islam, sistem yang dibuat oleh pencipta manusia dan alam semesta. Pencipta yang tidak memiliki kepentingan sedikit pun terhadap perekonomian di dunia, Dialah Allah swt. Allah mewajibkan kepada kepala negara (khalifah) untuk menerapkan sistem ekonomi syari’ah berbasis sektor riil yang akan membawa kesejahteraan manusia, sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Allah mengharamkan sistem ekonomi kapitalis atau sistem ekonomi lainnya selain dari sistem Islam.

Kondisi ini terjadi dan akan terus terjadi jika kaum muslimin tidak terikat dalam satu negara Khilafah Islam. Negara yang menyatukan seluruh kaum muslimin di seluruh dunia yang akan menerapkan syari’at islam secara menyeluruh di segala bidang. Negara yang akan menjamin kesejahteraan masyarakat dilihat dari orang-perorang, bukan berdasarkan prosentase. Seperti pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz.

Wallahu a’lam.

Raden Mas Bejo.

Read Full Post »

Older Posts »